Presiden Joko Widodo (kedua kiri) bersama Ibu Negara Iriana Joko Widodo (kedua kanan), Wakil Presiden Jusuf Kalla (kiri) dan Ibu Mufidah Jusuf Kalla (kanan) dalam suatu kesempatan. (BP/dok)

Oleh Sriwiyanti, S.Psi.

Hidup seorang perempuan adalah pengorbanan. Wajar, jika pada acara ICW (International Council of Woman) di Yogyakarta pada awal September lalu, Presiden Jokowi berpesan untuk menyebut perempuan sebagai ibu bangsa bukan lagi ‘emak-emak’ hingga muncul banyak anekdot tentang ‘the power of emak-emak’, yang sejatinya melanggar aturan tapi bisa dikemas lucu dan menggelitik.

Tidak mudah menjadi perempuan berprestasi di dalam dan di luar rumah, sebab, langkah seorang perempuan selalu terikat oleh hal-hal domestik. Saya pribadi sangat kagum pada perempuan yang bisa optimal dalam dua dunia yang jauh berbeda, keluarga dan karier. Sebuah pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan intelektual dan emosional yang tinggi.

Perdebatan tentang ibu bekerja dan ibu rumah tangga nampaknya tidak akan pernah mempunyai titik temu. Karena kedua belah pihak membutuhkan satu sama lain untuk bisa mengklaim kebenaran pribadi. Seorang ibu rumah tangga membutuhkan ibu bekerja untuk dijadikan contoh penelantaran anak atau keluarga yang tidak terurus, sehingga posisinya di lingkungan sosial menjadi aman. Sedangkan ibu bekerja, membutuhkan ibu rumah tangga untuk dijadikan oposisi, supaya ia bisa membuat kesimpulan bahwa ibu rumah tangga yang stressful dengan rutinitas bisa berdampak buruk bagi anak dan keluarga. Kedua belah pihak nampaknya merasa aman dengan berlindung di balik kesalahan orang lain.

Baca juga:  Hendak Mancing, Arjawa Temukan Mayat di Tepi Sungai Yeh Ino

Ada pun definisi perempuan ibu bangsa yang dimaksud oleh presiden ialah, perempuan yang mampu mendidik anak-anak sebagai penerus bangsa, menjaga mentalitas bangsa, menjaga moral keluarga dan masyarakat, menjaga alam untuk anak cucunya serta menggerakkan perekonomian keluarga dan masyarakat.

Barangkali kita perlu menyepakati bagaimana seorang ibu bangsa bersikap dan bertindak, sebab jika hanya dilihat dari femininitas, tentu busana dan gaya bicara serta pembawaan Menteri Kelautan yang tangguh dan perkasa tidak mencerminkan ibu bangsa. Padahal, tak ada yang meragukan kontribusi beliau perihal kelautan dan perikanan. Bukankah memakan ikan jadi sedemikian familiar, murah dan mudah setelah beliau menjabat. Lalu kata-kata “tenggelamkan!” menjadi begitu melekat pada sosok ibu Susi Pudjiastuti yang tegas.

Lantas, bagaimana sikap-sikap yang tercermin pada perempuan ibu bangsa?

Pertama, seorang perempuan ibu bangsa harus memiliki jiwa yang kuat, tidak mudah mencari kambing hitam ketika dihadapkan masalah, tidak lantas mencari pembenaran untuk sesuatu yang benar-benar dilakukan. Tapi, sigap mencari problem solving yang tepat, dengan analisis yang akurat. Kemampuan semacam itu disebut locus of control internal, sebuah teori yang dikemukakan oleh seorang tokoh psikologi sosial bernama Julian Rotter, di mana seseorang mampu mengambil kendali atas sebuah masalah, bukan melemparnya pada orang lain.

Baca juga:  Akuaponik, Solusi Mandiri Pangan Keluarga Hadapi Pandemi COVID-19

Keberhasilan dan kegagalan ditentukan oleh diri sendiri, bukan sibuk menyalahkan lingkungan atau faktor eksternal lain. Jadi, jelaslah bahwa perempuan ibu bangsa tidak akan menghabiskan waktu untuk stalking akun media sosial tertentu, lalu mencari-cari aib dan mendaulat dirinya sebagai haters, hingga kolom komentar dipenuhi oleh ujaran kebencian.

Kedua, motivasi yang tinggi. Perempuan ibu bangsa harus menjadi pemimpin, minimal untuk diri pribadi. Sebab, musuh terbesar seseorang adalah dirinya sendiri.  Sering kali yang membuat individu tidak produktif bukan karena saingan, tapi karena kemalasan. Oleh karena itu, perempuan harus bisa melakukan hal-hal yang konstruktif dan inovatif. Jangan sampai kita termasuk pada individu tipe X yang dijelaskan oleh Mc Gregor dalam teori motivasinya, di mana individu tipe X ini tidak mampu berinisiatif dan kreatif, mereka hanya menunggu untuk dikendalikan dan dipaksa oleh pihak lain, misalnya pemimpin di rumah tangga atau atasan di tempat kerja.

Baca juga:  Ekonomi Kerthi Bali, Membangun Bali Era Baru

Ketiga, coping stress yang efektif. Merupakan kemampuan menghadapi sumber stres yang muncul dalam kehidupan. Pada saat ini, banyak kasus perempuan yang terlibat narkoba, seks bebas, hingga jasad yang ditemukan di hotel. Fenomena semacam ini berawal dari ketidakmampuan menghadapi masalah, sebab sumber masalah utama tidak terselesaikan dengan baik. Keempat, mental pembelajar. Seorang yang benar-benar pintar dan bijak tidak pernah merasa pintar, karena ketika ia belajar selalu menemukan sesuatu yang tidak diketahui.

Terlebih jika perempuan ibu bangsa diharapkan menguasai seluruh aspek keilmuan, mulai dari mengatur perekonomian, mendidik anak, menjaga lingkungan, hingga menjaga moralitas bangsa. Sungguh sebuah tugas mahaberat yang melibatkan banyak disiplin ilmu. Sudah saatnya, perempuan saling memberi dukungan, bukan sibuk membuat perbandingan.

Penulis tinggal di Jalan Adi Sucipto, No 6 Sungai Raya Dalam, Pontianak

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *