Serangkaian Banyupinaruh, Minggu (20/8) digelar melukat massal dan pelepasan tukik di Pantai Yeh Gangga. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Dewasa ini, melukat saat Banyu Pinaruh yang jatuh setiap 6 bulan sekali (210 hari), yaitu pada Redite (Minggu) Pahing Wuku Sinta yang merupakan rangkaian Hari Raya Saraswati telah menjadi tradisi di kalangan Umat Hindu, khususnya di Bali. Umat datang ke pantai, ke tempat-tempat mata air suci, seperti Pancuran, Danau, dan sebagainya.

Ritual yang telah menjadi tradisi dan berkembang di tengah masyarakat ini tentu harus mendapat perhatian dan pelurusan makna serta tujuan ritual Banyu Pinaruh tersebut oleh semua kalangan. Baik dari rohaniawan, pemuka dan tokoh adat, PHDI, Pemerintah Daerah, serta seluruh Umat Hindu. Sehingga, pelaksanaan ritual Banyu Pinaruh dapat dilaksanakan berdasarkan Sastra, Tatwa, dan Agama.

Untuk itulah, Pinandita Sanggraha Nusantara (PSN) Korda Denpasar akan menggelar ritual “Gangga Pratistha” pada Banyu Pinaruh, Minggu (14/10). Kegiatan ini akan digelar di Pantai Mertasari, Sanur mulai pukul 06.00 Wita hingga 09.00 Wita.

Ida Mangku I Dewa Gede Ambara Putra Manacika, menjelaskan bahwa “Gangga Pratistha” mengandung pengertian menstanakan spirit Bhatari Gangga sebagai sosok surgawi yang memiliki kekuatan penyucian dalam wujud Sungai Suci Gangga yang mampu melebur sehananing mala, papa, dan petaka manusia di Bumi. Dengan kekuatan kesucian Gangga dapat mewujudkan keseimbangan Bhuana Agung alam semesta dan Bhuana Alit, yaitu tubuh manusia yang diyakini sebagai representasi dari Bhuana Agung yang memiliki kekuatan spirit Ilahi yang terselubung oleh kekuatan maya duniawi.

Baca juga:  Tambahan Warga Bali Tertular COVID-19 di Atas 60 Orang, Korban Jiwa Kembali Dilaporkan

Ritual “Gangga Pratistha”, dikatakan bukanlah hal yang baru digelar di Bali. Ritual ini telah dilaksanakan 10 tahun lalu oleh Ida Pedanda Gede Bang Buruan Manuaba. Bahkan, pada tahun lalu ritual ini juga telah digelar di Pantai Watu Klotok, Klungkung yang dipuput oleh 33 Wiku Sulinggih dari semua Wangsa yang ada di Bali. “Ritual Gangga Pratistha tujuannya untuk meningkatkan Sradha Bakti umat, sekaligus momen introspeksi diri, mulat sarira untuk membangun kesucian diri dan batin agar bangkitnya kesadaran jati diri kelahiran sebagai manusia, terpeliharanya sifat-sifat kedewataan atau Manawa Madawa dalam diri,” jelas Mangku Ambara Putra beberapa waktu lalu.

Baca juga:  Diberhentikan dari DPD RI dan Diminta Berkemas, Arya Wedakarna Tunggu Keputusan MA

Mentradisinya pelaksanaan ritual Gangga Pratistha yang semakin massif, dikatakan sangat baik untuk mewariskan tradisi-tradisi Weda kepada generasi muda milenial. Di samping juga sebagai daya tarik wisata yang tiada duanya di dunia, sebagai destinasi wisata baru (spiritual tourism).

Apalagi, tatanan konsepnya disatukan dengan seni dan Budaya Bali, sehingga akan menjadi sebuah event spiritual yang layak untuk dinikmati. Wisatawan tidak hanya sebagai penonton tetapi juga bisa terlibat dalam prosesi ritual ini dengan ikut melakukan Penglukatan Agung Gangga Pratistha. “Ini akan menjadikan Bali sebagai inspirasi dunia dalam hal kedamaian, kesucian, keharmonisan yang tak terbantahkan. Di samping juga untuk mewariskan nilai-nilai tradisi Weda kepada kuam milenial,” tandasnya.

Ida Pandita Mpu Jaya Acarya Nanda, mengatakan bahwa “Gangga Pratistha” yang mengandung makna suatu usaha untuk menstanakan kekuatan spirit Dewi Gangga sebagai Dewi yang memiliki kekuatan penyucian dan peleburan mala, papa dan dosa, sangat baik jika dilakukan pada hari Banyu Pinaruh. Sebab, Banyu Pinaruh mempunyai makna untuk membangkitkan kesadaran Brahman dalam diri melalui kekuatan Tirta Amrita yang merupakan air suci Brahma.

Baca juga:  Kasus Dugaan Hepatitis Akut di Indonesia Bertambah Belasan, Hampir 50 Persen Meninggal

Dengan harapan, umat yang mengikuti ritual ini bisa bertindak terpuji dan bisa kembali pada jati diri masing-masing, terutama bagi generasi milenial agar “eling” pada diri masing-masing. “Bagi generasi milenial, jangan ritual ini hanya dijadikan pencitraan belaka, seperti melakukan selfie, tetapi bagaimana ritual ini bisa dijadikan sebuah simbol untuk meningkatkan spirit untuk berfikir, bersikap dan bertindak sesuai tatwa agama,”pesan Acarya Nanda.

Apalagi, dikatakan, mewariskan keteladanan yang baik untuk dijadikan tradisi mulia oleh generasi penerus tidaklah mudah. Apalagi, kepada generasi milenial yang dewasa ini diwarnai arus transformasi informasi yang pesat, cenderung memilih jalur yang serba cepat, instan, dan meninggalkan suatu proses yang baik dan benar, sering menabrak tata nilai keluhuran untuk mencapai sesuatu tujuan yang sifatnya materialistik semu. (Winatha/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *