MANGUPURA, BALIPOST.com – Indonesia sejatinya memiliki banyak ragam kuliner. Tidak terkecuali di Bali yang kulinernya justru berpotensi menjadi pendukung sektor pariwisata.
Wisatawan domestik dan mancanegara perlu untuk lebih banyak disuguhkan kuliner Bali agar semakin dikenal dan mendunia. “Kita ketahui, delegasi IMF-World Bank kemarin pada saat mereka datang ke kabupaten-kabupaten di Bali, semua disuguhi dengan kuliner khas Bali. Jadi kita tunjukkan bahwa apa yang kita miliki, kuliner yang kita miliki semua enak dan bisa dinikmati oleh semua orang yang datang ke Bali,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, A.A. Gede Yuniartha Putra disela-sela GRACE 2018 di Kuta, Badung, Sabtu (13/10).
Menurut Yuniartha, kuliner Bali harus terus dimunculkan kepada para wisatawan agar masakan Bali bisa dikenal di seluruh dunia. Apalagi, kuliner Bali umumnya tidak mengandung zat kimiawi dan sangat organik.
Kelebihan ini bisa ditonjolkan karena wisatawan cenderung menyukai hal-hal yang sifatnya organik atau kembali ke alam. “Inilah yang sebenarnya banyak disukai oleh para wisatawan. Jadi, ini yang harus kita tunjukkan. Seperti orang Bali membuat kue-kue khas Bali, pewarnanya tidak menggunakan zat kimia. Tapi bahan-bahan yang tersedia di alam seperti daun suji untuk pewarna hijau,” jelasnya.
Ketua Indonesia Food and Beverages Executive Association (IFBEC) Bali, I Ketut Darmayasa mengatakan, tantangan kuliner Bali untuk go international sebetulnya terletak pada branding saja. Kuliner Bali dikatakan belum memiliki branding, padahal dari segi rasa tidak kalah dengan makanan di luar negeri.
“Belum dicoba saja. Makanya saya bilang kalau itu dibranding dengan baik dan setiap hotel mewajibkan untuk jualan produk lokal, pasti mereka (wisatawan, red) akan mencoba. Mereka datang ke Bali kan ingin juga untuk mencoba sesuatu dari Bali. Kita saja yang belum memperlihatkan atau memperkenalkan kepada mereka,” ujarnya.
Sementara itu, Chef Komang Adi Arsana dari BPP ICA (Indonesian Chef Association) mengatakan, penyajian kuliner untuk pariwisata Bali selama ini sudah menggunakan bahan baku lokal. Bahan baku impor kini sudah mulai disubstitusi dengan bahan-bahan lokal.
Itu sebabnya, dalam GRACE 2018 juga diisi dengan lomba Bali Best Creative Asian Fusion Food, Minggu (14/10) ini. “Di samping kita melihat apakah rekan-rekan chef di Bali itu cukup pintar untuk mengatur strategi karena impor kan mahal. Makanya kita cari alternatif lain,” ujarnya.
Terkait green restaurant, lanjut Adi, sebetulnya menyangkut restoran yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Dalam hal ini, tidak menggunakan bahan-bahan yang dilarang.
Selain itu, menggunakan plastik yang bisa didaur ulang (recycle) dan tidak lagi memakai sedotan plastik. Tapi ketika restoran hendak memakai sedotan bambu, ternyata menemui kendala pada produksi sedotan bambu itu sendiri. “(Sedotan, red) bambu, pekerjanya tidak ada. Karena orderannya banyak, perajinnya tidak ada,” katanya. (Rindra Devita/balipost)