Paruman sulinggih yang digelar Pemkab Bangli. (BP/dok)

Oleh I Wayan Sariasa

Sulinggih pada hakikatnya adalah tempat duduk (lingga, linggih) bagi yang diutamakan, dimuliakan. Sulinggih dimaksud, posisinya tidak mutlak harus berada lebih tinggi dari muka bumi, seperti dalam bangunan bale pawedan. Sebagaimana juga keyakinan kita kepada Tuhan, dengan segala manifestasi-Nya beliau ada di mana-mana, bisa di atas kita sebagai Bapa Akasa, bisa di bawah kita sebagai Ibu Pertiwi.

Dalam manifestasi-Nya sebagai Dewata Nawa Sanggha, sembilan kekuatan penyangga keseimbangan alam semesta Beliau berada di timur, barat, utara, selatan, timur laut, barat laut, tenggara, barat daya, dan di tengah kita. Di mana pun keberadaan-Nya di udara, di darat, di laut, dan atau di tanah berlumpur sekalipun.

Beliau selalu disucimuliakan oleh umat ciptaan-Nya. Dalam religi Bali, hal itu sejak abad ke -15 oleh Mpu Dwidjendra yang kabhiseka Danghyang Nirarta, linggih Beliau yang sulinggih diekspresikan dalam wujud bangunan yang disebut Padmasana.

Secara etimologi, Padmasana berasal dari kata padma dan asana. Kata padma diartikan tidak lain merupakan sejenis tanaman teratai/tunjung, yang bunganya akan mekar bercahaya memancar semakin terang cemerlang di atas air jika padma dimaksud tumbuh di dalam lumpur tanah yang berair. Sedangkan asana adalah sikap duduk seorang yogi, tenang mengheningkan jiwa, tak terpengaruh oleh hiruk pikuk yang ada di luar dirinya, seakan-akan sang yogi berada di ruang kosong tak berbatas atau acintya.

Baca juga:  Belasan Warga Jepang "Mediksa"

Sulinggih juga dipandang sebagai status seseorang yang tadinya berpredikat walaka naik menjadi sulinggih setelah melalui prosesi sakral madwijati/madiksa/mawinten. Karma utama seseorang yang berstatus sulinggh bernilai niskama karma (tanpa pamrih), tidak hanya dalam hal muput yadnya, tapi juga dalam memberi wejangan dan atau dharma wacana yang mencerahkan umat, tidak menimbulkan pro-kontra dalam keumatan. Dharma wacana seorang sulinggih tidak membuat umat bagai memperoleh buah si malakama; dimakan mati bapa, tidak dimakan mati ibu.

Tanpa pamrih yang imanen dari karma seorang sulinggih, adalah tidak berharap sesuatu apa pun dan dari siapa pun atas karmanya di dunia, dan juga tidak berharap untuk disucikan oleh orang-orang yang ada di luar dirinya. Sulinggih dalam kesulinggihannya tidak mempermasalahkan apakah dirinya mapuja di atas tanah atau di atas Bale Pawedan, bahkan dirinya tidak menjadi rendah jika harus melakukan puja di atas tanah berlumpur sekalipun.

Baca juga:  Ketersediaan Pangan dan Pembangunan Pertanian

Sulinggih itu bagai bunga Padma dimaksud di atas, yang kesuciannya tak ternoda walau berada di atas lumpur tanah berair. Mapuja di atas bale pawedan dan atau di atas tanah, itu bukan hal penting bagi seorang sulinggih yang niskama karma. Jika secara transitif ada orang-orang di luar dirinya, atau para walaka mensuci-muliakan diri seorang sulinggih, itu adalah sebuah kesadaran para walaka dalam bertattwa, beretika, bertata cara dalam menjalani dan menjalin hubungan dengan sang sulinggih yang disucikan. Sulinggih maupun para walaka percaya bahwa setiap karma akan menghasilkan pahala bagi dirinya.

Selain niskama karma, seorang sulinggih juga selalu berpegang pada nilai dresta yang ada. Seperti misalnya nilai dresta pada Pura Dasar Buana Gelgel yang pada akhir tahun 2018 ini akan menyelenggarakan Karya Agung Homa Yadnya, yang dalam sejarahnya hal serupa pernah dilaksanakan sekitar 500 tahun yang silam. Sebagaimana diketahui, Pura Dasar Buana Gelgel adalah Dang Kahyangan, linggih Mpu Ghana yang disucimuliakan oleh umat, dibangun oleh Mpu Dwijaksara pada abad ke-12, disempurnakan dengan bangunan Padmasana oleh Danghyang Nirarta pada abad ke-15.

Baca juga:  Prioritaskan Layanan untuk Sulinggih

Pura dimaksud, secara catur dresta baik sastra dresta (sumber sastra; di lontar-lontar hingga tulisan-tulisan dalam buku zaman now), kuna dresta (nak mula keto sejak pra-Hindu), loka dresta (tempat yang diyakini sebagai dasar gumi), maupun desa dresta (tempat mensejarahnya Mpu Ghana menjalankan Yoga Semadi pada abad ke-9). Semua itu adanya di Gelgel.

Dresta itulah penegak dan pelurus dalam bersikap mensuci-muliakan Pura Dasar Buana Gelgel, tidak hanya oleh para sulinggih tapi juga oleh kita semua dalam konteks catur warna. Seseorang yang sudah berstatus sulinggih, tentunya tidak akan mau menodai kesulinggihannya dengan mengingkari nilai-nilai kesucian yang telah ditanamkan di Bali oleh brahmana suci zaman old sebelum abad ke-16. Nilai kesucian seorang sulinggih tidak harus di atas bale pawedan, tapi bagai bunga padma.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *