Kunjungan wisatawan ke Tanah Lot, Tabanan. (BP/dok)

Oleh I Made Ramia Adnyana, S.E.,  M.M., CHA.

Menyikapi isu akan produk yang dijual murah di toko online untuk pasar Tiongkok perlu diluruskan. Dikotomi antara kualitas dan kuantitas sebetulnya tidak perlu terjadi sepanjang kita paham arti serta maknanya.

Mana yang seharusnya dipilih? Banyak yang beranggapan bahwa kualitas seharusnya berada di atas kuantitas dan sebaliknya. Namun, sebenarnya yang mana seharusnya didahulukan? Kualitas atau kuantitas?

Itu memang pertanyaan yang menarik tetapi sering kali kita tidak selalu mendapatkan jawaban yang tepat. Coba saja kita tengok dunia pariwisata Bali dan Indonesia. Bagaimana pendapat Anda?

Kepariwisataan bisa menjadi aset dan modal untuk peningkatan kualitas daerah. Baik peningkatan mutu pengolahan produk perdagangan, peningkatan mutu pendidikan, peningkatan pendapatan daerah, dan lain-lainnya. Akan tetapi, untuk mencapai tujuan pariwisata, pemerintah dan lembaga-lembaga yang terkait dengan kepariwisataan perlu memberi pemahaman kepada masyarakat tentang apa dan bagaimana pariwisata itu, seberapa banyak memberikan keuntungan kepada masyarakat dan daerah.

Target 20 juta wisatawan pada tahun 2019 yang dicanangkan pemerintahan Jokowi – JK merupakan target yang tidak muluk-muluk mengingat Indonesia sebagai negara yang besar. Sudah sepantasnya mencapai target tersebut sebab kita membandingkan country to country.

Negara tetangga seperti Thailand sudah mampu melampaui 30 juta wisatawan, Malaysia lebih dari 27 juta wisatawan dan Singapura lebih dari 20 juta wisatawan setiap tahunnya. Sekilas memang tidak ada yang salah dari peningkatan kuantitas tersebut sebab jumlah sangat berimplikasi terhadap jumlah pendapatan. Akan tetapi, bagaimanapun juga peningkatan devisa berperan dalam kesejahteraan masyarakatnya.

Mengenai kuantitas memang selalu berkaitan dengan angka atau jumlah, entah itu jumlah wisatawan yang datang ke Indonesia terutama ke Bali, berapa pendapatan yang dihasilkan pertahunnya untuk mengakomodasi pelancong internasional dan nasional. Kuantitas memang bicara mengenai hal-hal yang pasti dan jelas. Namun, pemerintah dan para pelaku industri perlu mengantisipasi akan dampak negatif yang dihasilkan dari kesuksesan secara kuantitas.

Baca juga:  Aset dan DPK Perbankan Menurun

Di satu sisi, perlu diperhatikan aspek kualitas secara mendalam agar ketika kuantitas sudah tercapai maka kualitas sudah mesti berjalan secara beriringan. Ketika aspek kualitas diabaikan maka akan terjadi mass tourism ini yang kita amati terjadi di Bali pada saat ini. Peningkatan kunjungan wisatawan ke Bali naiknya sangat signifikan namun tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas.

Banyak faktor yang menyebabkan ini terjadi yaitu: masih tumpang tindihnya program empat pilar kepariwisataan yaitu: 1. Destinasi kepariwisataan, 2. Pemasaran kepariwisataan, 3. Industri kepariwisataan dan, 4. Kelembagaan/SDM kepariwisataan. Pemasaran yang kenceng mesti diimbangi dengan pembangunan infrastruktur di destinasi wisata karena ini berkaitan dengan accessibility, kemudian peningkatan SDM yang memiliki kompetensi seperti pegawai, hotel, para guide, sopir taksi, pelayan toko, pelayan restoran, dan industri pariwisata yang juga harus dibenahi secara menyeluruh melalui standardisasi produk-produk pariwisata agar lebih berkualitas.

Pariwisata memang jenis industri cukup unik. Industri ini masih tergantung pada alam. Bagaimana Indonesia tanpa destinasi-destinasi wisata seperti pantai-pantai di Bali, Candi Borobudor di Magelang, Jateng, fauna yang eksotis yang tersebar di sekitar Indonesia? Tentu saja industri pariwisata tidak akan berkembang dengan cepat tanpa “it” faktor yang ada di negeri ini.

Maka eksploitasi tidak dapat dihindari dan fenomena ”Bali Dijual Murah” pun terjadi. Sungguh disayangkan jika mengingat betapa kayanya Pulau Dewata.

Bali selama ini dikenal sebagai destinasi yang kaya akan pantai yang eksotis dan tempat yang sempurna untuk melihat sunset di dunia internasional. Ketika mendengar “Bali”, mindset seseorang tak jarang langsung tertuju pada Pulau Penuh Pantai atau destinasi wisata yang instagramable, tempat yang tepat untuk dijadikan background photoshoot misalnya. Atau tempat yang murah untuk berwisata. Tentu saja Bali lebih dari sekadar tempat “jalan-jalan” karena ada banyak hal yang ditawarkan Pulau Dewata.

Baca juga:  Urbanisasi dan Beban Ibu Kota

Banyak ahli budaya berpendapat bahwa diperlukan adanya batasan yang jelas terkait dengan penerapan target-target tersebut di beberapa destinasi wisata agar destinasi wisata tersebut dapat berkelanjutan, karena sekali destinasi tersebut rusak maka tidak bisa dimungkiri kemungkinan ditinggalkan oleh wisatawan tidak bisa dihindari.

Mereka melihat pariwisata sangat tergantung terhadap keberlanjutan sumber daya yang ada dan jumlah kunjungan wisatawan yang berlebihan sangat berpotensi untuk mengancam keberlanjutan sumber daya tersebut. Penetapan kapasitas daya dukung harus diterapkan untuk membatasi jumlah pengunjung yang datang demi keberlanjutan pariwisata.

Apa yang sebenarnya terjadi? Eksploitasi alam dan buddy ini diakibatkan oleh minimnya kesadaran pelaku pariwisata terhadap pentingnya kualitas. Berbanding dengan kuantitas, kualitas industri pariwisata hampir berada dalam taraf yang mengkhawatirkan. Seperti yang sudah diketahui, pariwisata di Bali berdampak pada budaya. Kualitas pariwisata di Bali bisa dikatakan mengecewakan karena meskipun pendapatan di pariwisata di Bali semakin hari kian meningkat, nyatanya banyak warisan budaya lokal tidak mendapatkan perhatian seharusnya.

Saat ini, keberhasilan pariwisata tidak lagi ditentukan oleh banyaknya jumlah orang berkunjung ke sebuah destinasi wisata, tetapi ditentukan seberapa besar benefit yang didapatkan baik oleh wisatawan maupun para pelaku pariwisata di destinasi wisata. Jumlah kunjungan yang besar tidak lagi berbanding lurus dengan jumlah pendapatan yang didapatkan. Jumlah wisatawan mungkin kecil tapi pendapatan besar. Tapi apakah ini menguntungkan secara ekonomi?

Baca juga:  Secret Garden Village

Konsep quality tourism yang sudah diterapkan di negara-negara maju, di mana untuk beberapa destinasi wisata yang memiliki keunikan dan memberikan pengalaman yang luar biasa membatasi jumlah pengunjung tetapi menerapkan harga yang tinggi. Konsep ini sepertinya bisa dikatakan sebagai alternatif jika kita memang menginginkan kualitas diterapkan di industri. Beberapa destinasi wisata harus mendapatkan perlakuan khusus untuk kepentingan perlindungan sumber daya.

Jika berhenti di sini, maka akan didapatkan hasil sebagai berikut: kuantitas di dunia pariwisata berkaitan dengan jumlah atau angka yang besar dan berdampak negatif dan kualitas sebaliknya tidak fokus terhadap jumlah atau tangka. Kualitas berkaitan dengan keseimbangan. Konsep kualitas ini memang menarik karena tidak mengindahkan nilai-nilai budaya.

Pelestarian budaya memang jarang diperhitungkan dalam industri ini. Kualitas wisatawan sebenarnya bisa diukur lewat beberapa indikator. Di antaranya adalah indikator kesejahteraan, penurunan tingkat pengangguran, gini ratio atau tingkat kesenjangan, tingkat belanja wisman, hingga lama tinggal wisman yang terdampak oleh pariwisata (Kompas.com).

Mengutip tulisan dari Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Mancanegara Kementerian Pariwisata Prof. Dr. I Gde Pitana, M.Sc.: target kuantitas dan kualitas wisatawan mancanegara adalah dua hal yang penting. Itu berarti tak perlu ada dikotomi (perbedaan) antara kuantitas dan kualitas wisatawan. Kedua hal ini sulit untuk dipisahkan. Keduanya saling berkaitan. Kita memang tidak bisa bilang mengejar salah satunya karena keduanya berkaitan. Ketika kita berbicara mengenai kuantitas, memang tidak bisa dipisahkan dengan kualitas.

Penulis, Mahasiswa Doktor Pariwisata Universitas Udayana Angkatan VIII, Wakil Ketua Umum DPP IHGMA, Wakil Ketua PHRI Badung Bidang Komunikasi & Informasi, Wakil Ketua BPPD Badung

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *