DENPASAR, BALIPOST.com – “Aku pakai cicilan untuk beli handphone ini. Cara memperoleh cicilannya gampang banget, cuma perlu sehari aja. Gak pake ribet deh,” demikian komentar seorang konsumen, Maya, yang membeli handphone dengan mengajukan kredit kepada salah satu perusahaan financial technology (fintech) yang bekerjasama dengan e-commerce dalam memasarkan produknya.
Maya agaknya sudah merasakan mudahnya mengajukan cicilan lewat Fintech yang mudah, cepat, dan tidak ribet. Beda dengan bank konvensional yang jika mengajukan kredit harus memiliki agunan dan survey kelayakan kredit terlebih dulu sebelum kredit cair. Masih banyak Maya yang lain di Indonesia yang menggunakan Fintech untuk kredit barang maupun memulai usaha. Fintech dianggap sebagai solusi yang mampu memberikan cara cepat bagi para kaum milenial yang umumnya tak mau banyak birokrasi dan belum memiliki akses ke perbankan.
Tidak heran jika kemudian, Fintech tumbuh bak jamur di musim hujan. Banyak bermunculan perusahaan Fintech yang berdiri sendiri dan memberikan layanan keuangan, misalnya saja Modalku, HaloMoney, UangTeman, Doku, dan masih banyak lagi. Kondisi ini menjadi tantangan sekaligus kesempatan baru bagi para pemain industri keuangan, baik bank maupun nonbank.
Merujuk data di laman Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diakses Selasa (17/7), tercatat 64 perusahaan fintech yang berbasis pinjam-meminjam atau peer to peer lending (P2PL) resmi terdaftar. Berdasarkan statistik Bank Indonesia (BI), volume transaksi fintech juga terus mengalami peningkatan. Tahun 2017, nilai transaksi fintech telah mencapai US$18,65 miliar (Rp 251,78 triliun) naik 24,17% dari tahun 2016 sebesar US$15,02 miliar (Rp 202,77 triliun).
Dari data OJK, hingga Juni 2018, volume pembiayaan fintech sekitar Rp 7 triliun. Jumlah tersebut naik 173,4% year to date (ytd), dimana akhir Desember 2017 pembiayaan mencapai Rp 2,56 triliun.
Di Indonesia sendiri, perusahaan yang memanfaatkan Fintech baru muncul beberapa tahun belakangan. Beda dengan Amerika Serikat, Cina, maupun Inggris, yang sudah lebih 10 tahun membangun industri Fintech. Jika dilihat dari segmennya, hampir sekitar 60 persen Fintech yang beroperasi di Indonesia bergerak di bidang pinjaman, sedangkan 30 persen bergerak di bidang pembayaran.
Para milenial yang telah memiliki pekerjaan merupakan target market mereka. Sebab, para milenial ini sudah familiar dengan penggunaan teknologi keuangan dan tak bisa lepas dari gadgetnya.
Bisnis keuangan digital ini tumbuh sepuluh kali lipat dalam satu tahun terakhir. Bahkan saking tingginya laju pertumbuhan industri Fintech ini, Asosiasi Fintech dibentuk pada 2015. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga sudah mengeluarkan satu regulasi terkait Fintech yakni POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Kepala Sub Bagian Perizinan Fintech, Direktorat Pengaturan, Pengawasan, dan Perijinan Fintech, OJK Alvin Taulu pada acara Fintech Days 2018 di The Trans Resort Seminyak, Jumat (26/10) mengatakan, sebuah penelitian yang dikeluarkan oleh IMF dan Bank Dunia belum lama ini, menemukan, terdapat kebutuhan pembiayaan di sektor UMKM sebesar 165 miliar dollar (lending gap) di Indonesia yang belum dapat terpenuhi. Melalui industri fintech, diharapkan lending gap itu bisa dijembatani. Ia bahkan yakin dengan sinergi yang kuat antarsemua pelaku kepentingan di sektor fintech, Indonesia sebagai sebuah digital paradise bisa terwujud.
Ia mengatakan fintech bisa memberikan akses keuangan pada segmen masyarakat yang tidak terlibat dalam sektor keuangan formal. “Pada dasarnya kami di OJK sangat mendukung peran para pelaku fintech dalam memberikan produk dan layanan keuangan yang sesuai dengan kebutuhan dan gaya hidup masyarakat zaman sekarang. Tugas kami hanyalah memastikan bahwa industri tumbuh dengan sehat dan mengedepankan perlindungan konsumen. Sebagai sebuah industri yang masih sangat baru, sangatlah penting untuk membangun kepercayaan konsumen,” ujarnya.
Kepercayaan Konsumen
Bicara soal kepercayaan konsumen, khususnya dalam sektor kredit. Fintech mematok bunga yang relatif lebih tinggi dari industri keuangan tradisional dan industri keuangan nonbank (IKNB). Kondisi ini pun diakui konsumen. “Memang bunganya lebih tinggi dibandingkan jika kredit ke bank. Tapi penerapan bunga yang agak tinggi ini sepadan dengan kemudahan yang diperoleh dan cepatnya proses kredit,” kata Susyani, salah satu konsumen fintech.
Bunga tinggi ini merupakan salah satu persoalan yang harus diselesaikan OJK sebagai badan regulator dan pengawasan fintech. Bahkan guru besar ekonomi Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas), Prof. Gede Sri Darma mengutarakan kekhawatirannya, fintech akan dicap lintah darah digital terkait belum adanya aturan suku bunga.
Menurutnya acuan suku bunga pinjaman adalah dari suku bunga simpanan. Semakin mendekati nol suku bunga simpanannya, maka selisih suku bunga kredit yaitu 1 – 2 persen. Sehingga suku bunga di atas 2 atau 3 persen dinilai tinggi.
Kepala OJK Bali Nusra Hizbullah mengatakan, suku bunga fintech memang belum diatur seperti bank umum. Sehingga beberapa fintech memberikan suku bunga tinggi. Suku bunga yang tergolong tinggi menurutnya adalah yang melebihi suku bunga yang diatur atau diperbolehkan LPS. “Kalau suku bunga bank kan mengikuti suku bunga penjaminan LPS. Sementara fintech belum dijamin LPS,” sebutnya.
Terkait ini, memang diakui ada konsumen yang mengeluhkan. Maka dari itu, OJK mengimbau fintech agar tidak memberi bunga terlalu tinggi. Selain itu, OJK juga mengimbau masyarakat agar berhati-hati mengambil pinjaman dari fintech.
Lalu seperti apa upaya OJK untuk mencegah fintech menjadi “lintah darat milenial” ini? Di 2018, OJK akan meluncurkan sejumlah kebijakan lagi untuk mengatur agar konsumen atau nasabah terlindungi. Kebijakan itu salah satunya, guiding principles bagi Penyelenggara Layanan Keuangan Digital. Aturan ini mencakup mekanisme pendaftaran dan perizinan serta penerapan regulatory sandbox (suatu ruang untuk melakukan uji coba terbatas pada produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis penyelenggara fintech) dan kebijakan tentang crowdfunding (metode penggalangan dana lewat online).
Ketua Harian Asosiasi Fintech Indonesia, Kuseryansah mengatakan, saat ini sudah bergabung 167 start up. Sebanyak 74 diantaranya adalah peer to peer lending yang sudah teregister, ada 40-an mobile payment, aggregator, dan lainnya.
Ia mengatakan asosiasi punya concern yang kuat agar usaha fintech bisa berjalan dengan sustainable.
Untuk itu asosiasi turut serta untuk membuat dan menawarkan code of conduct dari pelaku peer to peer (ptp) lending. Ini menjadi acuan asosiasi bagi penyelenggara fintech tentang hubungan dengan konsumen, hubungan dengan sesama pelaku usaha. Code of conduct ini, katanya, menjadi patokan dari pelaku ptp untuk melakukan self governance atau self regulatory, dalam bentuk yang sangat sederhana.
Asosiasi juga membuat komite etik sebagai acuan untuk mengoperasionalkan dari code of conduct itu. Sebab, pelaku usaha yang satu tidak mungkin memberi sanksi pada pelaku usaha yang lain.
Di tengah era disrupsi seperti saat ini, perlu ada aturan yang jelas dan tidak memberatkan untuk fintech dalam menjaga pertumbuhannya. Sehingga, fintech bisa berkembang dengan sehat dan konsumen Indonesia bisa menikmati pesatnya laju pertumbuhan fintech. Jangan sampai regulasi dikeluarkan begitu ada kasus yang sifatnya bisa berimplikasi buruk bagi pertumbuhan ekonomi nasional. (Diah Dewi)