desa
Rumah Adat Desa Sidatapa yang dibangun dengan konsep Tri Mandala. (BP/sos)
DESA Sidatapa, Kecamatan Banjar, tak hanya terkenal dengan kerajinan bambunya. Namun, desa Bali Aga ini juga memiliki rumah adat yang pola pembangunannya sangat unik, yakni dengan konsep Tri Mandala.

Desa Sidatapa berlokasi dekat dengan desa Bali Aga lainnya, yakni Tigawasa, Pedawa dan Cempaga. Desa tua ini memiliki potensi pertanian yang cukup baik. Panoramanya indah. Demikian juga dengan sektor usahanya cukup berkembang. Hampir seluruhnya menggeluti usaha kerajinan bambu, salah satunya sokasi.

Saat berkunjung ke desa ini beberapa waktu lalu, hal menarik terlihat pada bangunan warga. Sebagian besar di pekarangannya masih terdapat rumah adat yang masih terpelihara baik ditengah pesatnya arsitektur bangunan modern yang bernuansa minimalis.

Baca juga:  Lima Bulan Putus, Pembangunan Jembatan Tukad Medaum Dianggarkan 2019

Saat diperhatikan, rumah ini terlihat unik, yakni dibangun membelakangi jalan. Bentuknya pun mirip antara yang satu dengan lainnya. Temboknya masih menggunakan tanah. Hal itu semakin menambah kesan klasik dan bernuansa tradisional.

Salah satu tokoh masyarakat, Nyoman Kader menuturkan rumah adat tersebut sudah menjadi warisan leluhur. Pembangunannya yang membelakangi jalan, sesuai cerita zaman dulu, itu salah satu cara untuk melindungi dari serangan binatang buas. Dibalik fungsinya itu, rumah ini juga memiliki design Tri Mandala layaknya pura. Nista Mandala atau bagian luar sebagai tempat menerima tamu maupun kerabat.

Selain itu juga digunakan tempat istirahat. Sementara untuk aktivitas pemilik rumah, salah satunya memasak dilakukan di Madya Mandala (bangunan tengah). Di bagian ini juga terdapat tungku api sebagai simbol Dewa Brahma.

Baca juga:  Bersaing Secara Internasional, SDM Pariwisata Didorong Berinovasi

Suasana berbeda terlihat di Utama Mandala. Selain posisinya paling tinggi, bagian ini memiliki fungsi berkaitan dengan spiritual. Pemilik rumah melakukan pemujaan leluhur dan Dewa Tri Murti di tempat ini. Didalamnya juga terdapat Taksu dan Pelangkiran.

“Dengan seperti ini, warga tidak perlu lagi membuat pelinggih penunggun karang
(penunggu rumah) seperti di daerah Bali lainnya,” ucapnya.

Pemujaan di rumah adat ini dilakukan pada hari-hari tertentu, misalnya Galungan, Kuningan, Pagerwesi dan Purnama atau Tilem. Dilihat dari sisi kontruksi, rumah ini memiliki 12 tiang penyangga yang terbuat dari kayu, yang disebut bale gajah tumpang salu. Bale dimaknai tempat berlindung, gajah melambangkan ilmu pengetahuan, tumpang salu bermakna tiga bagian. “Kalau 12 tiang penyangga itu sebagai simbol kekuatan dalam menjalani hidup,” ucap Kader.

Baca juga:  Monumen Lintas Laut Jawa-Bali, Kenang Pertempuran Laut Pertama yang Heroik 

Ditengah menjamurnya pembangunan rumah modern, rumah adat ini masih tetap dipertahankan, terutama orang warga yang tinggal didusun yang belum terjamah keramaian. Itu sebagai salah satu bentuk penghormatan terhadap leluhur.

Sementara itu, Perbekel Sidatapa, Putu Gede mengatakan selain rumah adat, desanya juga memiliki tarian sakral layaknya Desa Cempaga. Warisan leluhur ini masih terus dilestarikan. “Tati sakral juga punya. Kerajinan bambu juga masih bertahan,” pungkasnya. (sosiawan/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *