Tradisi Mapeed digelar dalam peringatan Hari Puputan Margarana. (BP/Dokumen)

TABANAN, BALIPOST.com – Hari peringatan Puputan Margarana yang jatuh setiap tanggal 20 November tidak hanya diperingati dalam bentuk upacara bendera tetapi juga dalam bentuk upacara agama. Dalam proses upacara Dewa Yadnya ini ada yang namanya Tradisi Mapeed.

Para ibu-ibu membawa haturan saji berupa buah-buahan atau canang gebogan yang disusun tinggi dan dibawa di atas kepala. Para ibu-ibu yang merupakan warga Desa Adat Klaci ini berjalan dari balai banjar menuju Taman Pujaan Bangsa (TPB) Margarana sebagai bentuk perjalanan suci. Haturan saji berupa canang gebokan dalam tradisi Mapeed ini adalah bentuk syukur warga Desa Adat Klaci terhadap jasa para Pahlawan.

Tidak ada yang mengetahui kapan tepatnya tradisi Mapeed ini dilakukan. Tetapi menurut Bendesa Pekraman Klaci, Nyoman Suamayasa dari sejak ia lahir, tradisi ini sudah ada. “Saya lahir tahun 1967. Bahkan sejak dulu sudah ada. Tidak ada yang tahu kapan pastinya tradisi ini dilaksanakan,” ujarnya.

Baca juga:  Delta Plus Belum Ada di Indonesia, Terbanyak Varian Ini Ditemukan

Dalam membawa canang gebogan yang dibawa oleh ibu-ibu PKK desa adat Klaci secara beriringan dan berbaris menuju TPB Margarana, kata Suamayasa melibatkan masing-masing KK yang ada di Desa Adat Klaci. Saat ini ada 209 KK yang terdata di desa adat Klaci.

Sehingga jumlah gebogan pun ada 209 buah. “Jumlah KK ini lah yang menghaturkan saji. Tetapi yang berjalan beriring ini diluar pemangku dan sariti. Karena mereka bertugas saat upacara berlangsung sehingga haturan sajinya sudah diletakkan di dalam TPB terlebih dahulu,” jelasnya.

Baca juga:  Pariwisata Bali Sudah Terpuruk Enam Bulan, Segini Hilangnya Pendapatan Per Bulannya

Setelah menghaturkan canang gebogan yang dibawa beriringan, ibu-ibu PKK Desa Adat Klaci ini kemudian menarikan Tari Rejang Renteng. “Memberikan persembahan berupa tarian ini menambah ayah-ayahan sekaligus meningkatkan semangat ibu-ibu dalam haturan bakti kepada beliau yang berstana di tempat ini,” jelas Suamayasa.

Ia menambahkan upacara agama yang digelar dalam memperingati Puputan Margarana cukup unik. Sebab, jika upacara agama di Bali biasanya dilakukan setiap enam bulan sekali, maka upacara keagamaan di TPB Margarana dilakukan setiap satu tahun sekali atau setiap tanggal peringatan Puputan Margarana yaitu tanggal 20 November.

Persiapan dalam upacara agama ini dilakukan jauh-jauh hari tepatnya tanggal 17 November dari menyiapkan upakara, melaksanakan upacara pecaruan, melasti sampai akhirnya Ida Sesuun melinggih dan Ngantep Pujawali yang ditetapkan pada pukul 13.00 Wita, Selasa (20/11). Meski pendanaan terbatas, tetapi kata Suamayasa, selalu ada berkah dari Ida Sesuunan bagi warga Desa Adat Klaci sehingga selalu bisa menunaikan tugas dan kewajibannya dengan baik.

Baca juga:  Disayangkan, Kepatuhan Terapkan Prokes 3M Alami Penurunan

Ia melanjutkan tradisi mepeed yang dilakukan setiap tahun dalam upacara peringatan ini memberikan makna  bahwa warga Desa Adat Klaci yaitu terlepas dari korban perang bisa melawan dan bangkit dari trauma dan menunjukkan semangat bakti  dan syukur kepada pengorbaan para Pahlawan. “Daerah desa adat Klaci dulu hancur karena perang Puputan. Semua warganya mengalami trauma yang mendalam. Tetapi bisa bangkit dan semangat dalam beryadnya. Inilah makna dari tradisi Mapeeed,” jelasnya. (Wira Sanjiwani/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *