Koster bersalaman dengan sejumlah guru saat resepsi HUT PGRI dan peringatan Hari Guru 2018, Senin (26/11/2018). (BP/dok)

Gubernur Bali Wayan Koster tampak gembira bisa bertemu dengan para guru di Bali pada puncak resepsi Hari Guru Nasional (HGN) 2018 dan HUT ke-73 PGRI, Senin (26/11) lalu di Ksiarnawa. Saat itu, dia bernostalgia memperjuangkan UU Guru dan Dosen sejak menyusun draf hingga lobi-lobi politik dan birokrasi.

Maka akhirnya, para guru menikmati namanya tunjangan sertifikasi yakni satu kali gaji pokok. Demikian juga dosen dengan serdos dan guru besar yang paling gembira yakni menikmati tunjangan kehormatan tiga kali gaji pokok. Maka jadilah guru lebih sejahtera dibandingkan pada era 1980-an.

Ketika pemerintah menuntut guru berkualitas, sangat wajar dimulai dari perekrutan guru yang berkualitas pula. Namun nyatanya hanya sedikit yang memenuhi standar. Dilematisnya, di lapangan banyak sekolah masih kekurangan guru.

Baca juga:  Inovasi Pembelajaran dan Aspirasi Guru

Akhirnya, pemerintah lagi mengalah dengan meloloskan mereka yang meraih ranking tertinggi di kelompoknya. Jika dikaji secara ilmiah, kita perlu pertanyakan yang salah peserta perekrutan calon guru atau alat evaluasinya.

Artinya, jika alat evaluasi sudah diuji standar validitasnya, seharusnya menghasilkan kajian sesuai kurva normal. Atau justru memang kualitas SDM kita yang rendah. Ini perlu kita duduk bersama.

Pernah ditulis di rubrik ini bahwa dulu orang bercita-cita menjadi guru adalah mereka yang berotak cerdas atau pintar. Makanya hampir semua jabatan sosial di masyarakat penggeraknya adalah guru. Profesionalisme guru benar-benar teruji saat itu. Ini disebabkan calon guru lebih awal diseleksi masuk SPG atau SGO bagi calon guru olahraga dan TGA. Profesionalisme pedagogiknya benar-benar teruji karena didukung minat dan bakat. Mereka juga profesional di depan kelas, berwibawa, dan berpengaruh.

Baca juga:  Usulan Bupati Gede Dana Direspons Pusat, 2024 Karangasem Dapat Formasi 172 CPNS

Dekade berikutnya turunnya kebijakan pembatasan pengangkatan guru PNS. SPG dan sejenisnya dihapus. Namun, pemerintah memberi kebebasan lulusan nonkependidikan menjadi guru. Cukup mereka mengikuti program Akta IV selama enam bulan. Di sinilah terjadi penumpukan produksi guru yang justru banyak dari non-LPTK.

Kini, guru angkatan 1965-an sudah menjalani pensiun. Ditambah guru kini mengincar gaji tunjangan profesi. Belum plus insentif di tiap daerah. Maka sekali lagi, wajar kalau kini pemerintah menuntut guru berkualitas. Jangan salahkan pemerintah ketika guru sudah sejahtera dan bermartabat kini pemerintah ingin menagih kualitas guru.

Baca juga:  Antara "City Tour" dan Desa Wisata

Jangan salahkan juga sistem yang membuat calon tes CPNS dari guru banyak yang gagal karena memang tidak memenuhi syarat kompetensi dasar menjadi guru. Untuk itu, PGRI harus berbuat tak hanya mengampanyekan kesejahteraan guru dan anggotanya, namun menuntut guru profesional.

Kata Gubernur Wayan Koster, pekerjaan menjadi guru adalah mulia, banggalah menjadi guru karena guru yang berhati akan dimuluskan dalam segala hal. Artinya, kalau menjadi guru jadilah guru yang sejati yakni mengajar dengan hati.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *