Desa adat/pakraman di Bali sudah teruji menjadi otonomi pemerintahan desa yang serbalengkap. Di sini ada pendukung adat Bali, dengan ketentuan dan aturan serta sanksi yang lengkap juga.
Desa pakraman pun ada trias politikanya yakni lembaga legislatif sering disebut sabha desa, lembaga eksekutif dikenal dan dijalankan prajuru dengan pimpinan bendesa dan lembaga yudikatif sering disebut kertha desa. Makanya pas kalau desa adat di Bali sering disebut sebuah republik kecil yang hidup sepanjang zaman.
Perpanjangan tangan desa pakraman adalah banjar adat. Nah, di sinilah ujung tombak pelayanan dan dapurnya makrama banjar. Semua masalah sering diselesaikan di tingkat banjar sehingga tak sampai ke desa pakraman. Uniknya lagi, tak ada tanah/wilayah di Bali yang tak masuk desa pakraman.
Bukan rahasia lagi, semua program pemerintah letak kunci suksesnya ada di desa/banjar adat. Namun sayang, desa adat dan banjar adat bisa dikatakan seakan-akan menjadi korban pembangunan.
Mestinya, banjar dan desa adat inilah yang terbanyak mendapatkan bantuan pemerintah. Coba bayangkan di tingkat banjar, posisi klian dinas/klian dusun/kepala lingkungan tak ada apa-apanya jika tak didukung banjar adat.
Justru pejabat ini sering nebeng jika ada program kedinasan di rapat-rapat banjar. Praktis kadus dan kaling ini hanya menjadi penikmat gaji buta. Bahkan, ada yang nakal memungut iuran penduduk pendatang atau sibuk menjadi calo tanah.
Para kadus dan kaling ini digaji besar oleh pemerintah daerah. Ini sebuah ketidakadilan yang diterima oleh prajuru banjar dan desa adat.
Kini, sejumlah daerah juga sudah memberi honor bagi prajuru adat, namun tetap tak setinggi yang diterima kadus. Padahal, banjar dan desa adat hanya mendapat pekerjaannya atau orang Bali menyebut maan tuyuhné gén.
Coba kita bayangkan, andaikata kita disuruh memilih kadus atau prajuru banjar. Krama Bali akan memilih prajuru adat. Semua program pemerintah bisa dijalankan lewat prajuru adat. Sebaliknya, kadus tak bisa berbuat tanpa dukungan banjar dan prajuru banjar/desa adat.
Nah, kita di Bali sudah duluan ragu memilih ketika disodorkan menentukan pemerintahan desa itu diwakili desa dinas atau desa adat. Sekarang baru kita merasakan hasilnya, dengan dana desa Rp 1 miliar, kita belum menikmati hasilnya.
Nasi sudah menjadi bubur. Agenda pembangunan yang datang tidak boleh lagi menjadikan desa adat sebagai korban pembangunan. Tak boleh lagi ada upaya memaksa masyarakat adat melepaskan tanah leluhurnya. Mereka kemudian terusir, ditangkap, rumahnya dibakar, dan tak jarang pula harus mendekam di dalam penjara karena mempertahankan kehidupan.
Pemerintah harus membangkitkan semangat kemandirian desa adat. Program pembangunan harus berpihak kepada masyarakat adat merupakan salah satu faktor kebangkitan gerakan masyarakat adat kontemporer di Indonesia.
Makanya sangat pas dibentuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun 1999. Sebab, gerakan masyarakat adat sejalan dengan gerakan hak asasi manusia. Jika sekarang desa adat memiliki lahan untuk pemberdayaan ekonominya itu wajar terjadi agar mereka bisa hidup sepanjang zaman. Jangan sampai desa adat menjadi sebuah kenangan bagi kita dan anak cucu kita.