DENPASAR, BALIPOST.com – Kantor Konsulat Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di Denpasar turut menjadi sasaran aksi demo terkait kaum muslim Uighur, Minggu (23/12) lalu. Kendati tak separah aksi di Jakarta yang sampai diwarnai pembakaran bendera Tiongkok, namun Konsul Jenderal (Konjen) RRT di Denpasar, Mr. Gou Haodong tetap merasa perlu untuk memberikan penjelasan.
Pihaknya menegaskan bahwa segala isu mengenai kaum muslim Uighur yang memicu kemarahan umat muslim tanah air termasuk di Bali adalah tidak benar.
“Rakyat Indonesia, termasuk saudara-saudari Muslim, punya rasa keadilan yang kuat, hal itu tentu bagus. Di dunia sekarang ini, rasa keadilan justru sangat berharga. Akan tetapi peristiwa yang terjadi sekarang dan di Jakarta pada Jumat lalu, sangat menyedihkan hati saya,” ujarnya saat memberikan keterangan pers di kantornya, Kamis (27/12).
Menurut Gou Haodong, Tiongkok merupakan negara multisuku dan multiagama. Hak-hak kebebasan beragama dan kepercayaan warga negara Tiongkok dijamin Undang-undang Dasar. Pemerintah Tiongkok berdasarkan peraturan dan perundang-undangan, memberikan perlindungan kepada setiap warga negaranya, termasuk muslim suku Uighur di Xinjiang untuk menjalankan kebebasan beragama dan kepercayaan.
Isu-isu tidak menyenangkan seperti Tiongkok merusak masjid, menganiaya kaum muslim dan melarang kegiatan agama merupakan pemberitaan negatif dari media massa barat. Termasuk mengenai dugaan pelanggaran HAM dan penahanan 2 juta umat muslim Uighur, semua itu tidak benar.
“Anda (Saudara-saudari muslim, red) telah ditipu orang. Rumor yang sangat mengerikan itu adalah kebohongan, adalah pembuatan fitnah, dan malah bukan fakta,” imbuhnya.
Gou Haodong menjelaskan, di Xinjiang, Tiongkok terdapat 10 suku bangsa, 14 juta penduduk yang mayoritas umat Islam, serta 24,4 ribu Masjid yang kemungkinan lebih banyak bila dibandingkan jumlah masjid per kapita di Indonesia.
Umat Islam di Xinjiang bahkan bisa membaca Kitab Alquran dalam 4 bahasa termasuk bahasa Uighur. Disinilah penting untuk lebih mengenal tentang Tiongkok, khususnya Xinjiang. Seperti baru-baru ini, delegasi NU NTB berkunjung ke Tiongkok. Kemudian, salah seorang pengurus Asita Bali yang sudah berkali-kali datang ke Tiongkok dan acapkali bersembahyang di masjid Tiongkok.
“Juga ada ribuan putra-putri Indonesia yang belajar di Tiongkok, mereka lebih mengenal tentang Tiongkok. Cobalah anda tanya kepada mereka. Baik kaum Muslim, maupun kaum Katolik, kaum Kristen, Kaum Buddha di Tiongkok, semua merupakan anggota dari keluarga besar Bangsa Tionghoa,” jelasnya.
Gou Haodong menambahkan, 56 suku bangsa di Tiongkok selama ini hidup rukun dan bersama-sama membangun negerinya. Kalau tidak, Tiongkok tidak mungkin meraih keberhasilan seperti sekarang. Sebab, negara yang menganiaya umat beragama tidak akan mungkin menjadi tentram, damai, bahkan berkembang. Negeri tirai bambu juga tidak akan mungkin bisa mengirim jutaan warga negaranya untuk bertamasya ke Bali dengan gembira. Oleh karena itu, rumor mengenai kaum muslim Uighur mestinya tidak pantas ditanggapi hingga berhasil menyulut kemarahan umat muslim di Indonesia.
“Hubungan persahabatan Indonesia dan Tiongkok bersejarah panjang dan berkembang terus, hal ini sangat menggembirakan. Tetapi ada orang yang tak mau menerima hal ini. Ada orang yang justru memanfaatkan ketidaktahuan publik Indonesia, khususnya kaum Muslim Indonesia tentang Tiongkok, dengan sesuka hatinya membina fitnah dan berhasil mendorong peristiwa seperti hari ini,” ujarnya sedih.
Gou Haodong tak menampik, di Xinjiang belakangan ini memang sering terjadi serangan teroris. Sama seperti Bali ketika menjadi sasaran aksi kaum ekstemis agama lewat ledakan Bom Bali I pada 2002 dan Bom Bali II pada 2005, ataupun serangan bom oleh teroris di Surabaya. Tiongkok pun telah mengambil serangkaian langkah deradikalisasi. Di sebagian daerah di Xinjiang, sejumlah penduduk masih kurang menguasai bahasa mandarin, kesadaran dan ilmu pengetahuan hukum terbatas, keterampilan kerja mereka pun tidak memadai untuk mendapatkan kerja sehingga sangat rentan akan penghasutan dan instigasi oleh terorisme dan ekstremisme.
“Berdasarkan situasi ini, pemerintah daerah menyediakan program pelatihan dan pendidikan vokasi gratis kepada sebagian orang yang terdampak oleh pemikiran ekstremisme. Konten pelajarannya adalah bahasa mandarin, ilmu pengetahuan hukum, keterampilan kerja dan pendidikan deradikalisasi,” jelasnya.
Hingga saat ini, tindakan antiteroris komprehensif di Xinjiang telah mendapat hasil nyata. Selama 21 bulan ini, tak pernah terjadi serangan teroris dan kekerasan di Xinjiang, jumlah perkara tindak pidana dan gangguan keamanan umum menurun secara drastis. Kondisi keamanan umum di Xinjiang membaik signifikan, penyebaran ekstremisme keagamaan terkendali efektif. Stabilitas sosial pun mempercepat pembangunan ekonomi. Indonesia diharapkan lebih memahami dan mendukung tindakan yang diambil pemerintah Tiongkok untuk memerangi terorisme dan ekstremisme, menjaga stabilitas sosial dan keamanan masyarakat di Xinjiang.
“Sebagai dua negara penting di Asia dan Dunia, Indonesia dan Tiongkok bergandeng tangan pasti akan bersumbang besar terhadap kedamaian dan pembangunan Asia maupun dunia,” tandasnya. (rindra/balipost)