buah
Buah manggis dikemas sebelum diekspor. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Lahirnya Pergub No.99 Tahun 2018 dinilai sejalan dengan Perda Provinsi Bali No.3 Tahun 2013 tentang Perlindungan Buah Lokal Bali. Terpenting sekarang adalah penegakan dan pelaksanaan Pergub tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan, dan Industri Lokal Bali tersebut.

Kalau perlu, gubernur agar memberikan insentif untuk desa adat atau setiap bendesa yang mengeluarkan perarem terkait pemanfaatan produk lokal khususnya buah lokal. “Kami betul-betul mengharapkan gubernur sungguh-sungguh untuk menegakkannya,” ujar Wakil Ketua DPRD Bali, I Nyoman Sugawa Korry saat menghadiri Pembukaan Musrenbang Provinsi Bali di Wiswasabha Utama, Kantor Gubernur Bali, Selasa (8/1).

Menurut Sugawa Korry, produksi buah lokal petani mesti diupayakan agar bisa terserap. Baik untuk konsumsi, yadnya, pariwisata, maupun ekspor. Kebutuhan untuk pariwisata dan yadnya khususnya, bisa diatur melalui peraturan yang mewajibkan pemanfaatannya.

Semisal untuk yadnya, bisa diatur lewat perarem desa adat. “Setiap bendesa, setiap desa adat, desa pakraman, kalau mampu mengeluarkan perarem yang mewajibkan masyarakat untuk beryadnya itu menggunakan buah lokal, jangan ragu-ragu gubernur menyiapkan insentif yang bersumber dari APBD. Kami akan dukung,” kata salah satu inisiator Perda tentang Perlindungan Buah Lokal Bali ini.

Baca juga:  Badan Jalan Raya Gubeng Surabaya Amblas

Sugawa Korry pun mempersilakan gubernur untuk menentukan besaran insentifnya. Apakah Rp 25 juta atau Rp 30 juta agar dianggarkan dalam APBD. Dengan harapan, terjadi peningkatan permintaan buah lokal sehingga harga akan naik dan membuat petani bergairah.

Petani tentu akan lebih giat berproduksi dan memelihara tanamannya. Selanjutnya, pemerintah bisa berperan dengan memberikan subsidi pupuk, subsidi bibit unggul, dan sebagainya. “Bagaimana pasar ini diserap oleh masyarakat. Kita tidak boleh menyetop impor buah karena aturan dunia. Tetapi kalau masyarakat membatasi dirinya melalui desa adat, boleh itu. Inilah yang harus didorong oleh pemerintah melalui Pergub 99,” jelas Politisi Golkar ini.

Sugawa Korry menambahkan, ekonomi Bali lebih lentur dan kuat saat didukung oleh UMKM dan koperasi, dibandingkan hanya beberapa usaha besar saja. Oleh karena itu, lebih penting merekayasa dan menguasai pasar agar ada kenaikan harga dibandingkan menentukan harga beli produk lokal minimum 20 persen di atas biaya produksi. “Saya lebih percaya dengan hukum pasar. Pasar memang tidak bisa diatur, yang kita lakukan menciptakan permintaan yang lebih besar. Pasar yang harus direkayasa, bukan harga, bukan ongkos,” tandas politisi dengan gelar Doktor di bidang ekonomi ini.

Baca juga:  Pariwisata Membaik, Badung Rancang Kenaikan Target Pendapatan

Gubernur Bali Wayan Koster mengatakan, Pergub 99 utamanya mempertemukan antara sektor pariwisata dan pertanian. Dalam hal ini, untuk mengatasi ketimpangan struktur perekonomian Bali yang 68 persen ditopang sektor pariwisata atau tersier.

Sedangkan sektor primer dan sekunder hanya menopang 30 persen saja. Sementara sektor pariwisata terbilang sensitif. Begitu ada peristiwa bom atau bencana alam seperti erupsi Gunung Agung akan langsung turun. “Jadi, struktur ini harus kita ubah. Maka kami membuat Pergub No.99 Tahun 2018, mempertemukan antara sektor pariwisata dengan pertanian. Sektor pariwisata harus menjadi lokomotifnya sektor pertanian. Pariwisata tidak boleh maju cepat sendiri meninggalkan pertanian,” jelasnya.

Dengan begitu, lanjut Koster, para petani termasuk nelayan dan pelaku industri kerajinan mendapatkan sesuatu yang bermanfaat dari pariwisata. Tidak seperti sekarang, hasil pertanian termasuk buah-buahan lokal tidak dinikmati oleh wisatawan.

Baca juga:  Belasan Kasus Positif COVID-19 Baru Masih Didominasi Transmisi Lokal

Itu sebabnya, harga selalu anjlok di musim panen. Padahal seharusnya tidak ada cerita petani di Bali itu miskin. “Sekarang dengan Pergub, hotel, vila, restoran, katering, wajib membeli produk pertanian, perikanan, dan industri lokal Bali dan harganya minimum 20 persen di atas biaya produksi. Sudah diatur dalam Pergub, jadi petaninya sudah pasti untung,” ujarnya.

Koster meminta Dinas Pertanian segera menentukan biaya produksi per hektar per tahun dari setiap komoditas yang dihasilkan. Kemudian, produk pertanian yang dibeli dari petani harus tunai. Kalau tidak bisa tunai, harus dibeli lewat Perusda sebagai penyangga yang memediasi antara petani dengan hotel, restoran, vila, dan katering. “Jadi nanti Perusda yang membeli ke petani cash. Perusda tidak profit oriented, hanya nyari selisih sedikit supaya bisa gaji pegawai saja,” imbuhnya.

Untuk modal, Koster menyebut Perusda dapat meminjam terlebih dahulu ke Bank BPD Bali. “Tidak usah pakai uang APBD,” pungkasnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *