Foto sejumlah siswa sedang belajar sebelum pandemi Covid-19. (BP/dok)

Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.

Bimbel (bimbingan belajar) kembali mendapat sorotan. Salah satu bentuk kegiatan belajar ini memiliki sejarah panjang yang pada awalnya sebagai wujud dedikasi guru untuk membantu siswa dalam belajar sehingga sukses ujian. Guru-guru terpanggil secara sukarela memberi waktu tambahan demi siswa tercinta. Penuh dedikasi tinggi dan tulus. Gratis!

Ada beberapa jenis bimbel, seperti yang resmi dilaksanakan oleh sekolah untuk menambah waktu belajar siswa, dengan biaya dari dana BOS, melibatkan semua guru. Ada pula bimbel sekelompok mata pelajaran yang dijadikan materi ujian skala nasional. Yang lain adalah bimbel yang dikenal dengan istilah ‘’privat’’, guru dipanggil ke rumah siswa.

Bimbel memasuki tahap baru dengan munculnya berbagai bisnis bimbel di kota-kota, menempati ruko-ruko modern di pusat keramaian, kini meredup dengan munculnya bimbel online. Bimbel yang paling banyak dicurigai atau penuh dengan ‘’konspirasi” adalah yang diselenggarakan oleh guru bidang studi yang dinilai “sulit, bergengsi” dan bahasa asing, di teras rumahnya sendiri.

Citra buruknya adalah lewat bimbel ini, siswa memperoleh garansi untuk mengantongi nilai istimewa, juga karena rekayasa guru. Misalnya dengan membocorkan soal-soal tes, sehingga siswa yang ikut dijamin tahu ‘’rahasia’’ soal.

Ada kabar di kalangan siswa bahwa jika tidak ikut bimbel guru bersangkutan, jangan harap memperoleh nilai bagus. Hal ini terjadi karena siswa membayar mahal dan agar praktik bimbel ini diminati. Kabar lain yang berembus di kalangan siswa adalah guru seolah memaksa atau menggiring siswanya agar ikut.

Untuk mata pelajaran yang dianggap sulit dan bahasa asing, memang selalu memiliki peminat jika di-bimbel-kan. Karena itulah, bimbel berkembang menjadi lahan bisnis atau usaha ekonomi guru. Mereka menyelenggarakan bimbel, baik secara perseorangan maupun berkongsi dengan rekan-rekan guru lainnya. Ada pula yang menerima tawaran mengajar di usaha-usaha bimbel komersial.

Baca juga:  Penting, Peran Guru Wujudkan Indonesia Emas

Terlepas dari menjadi lahan bisnis atau usaha ekonomi yang cukup menjanjikan, bimbel sejatinya merupakan ironisme dunia pendidikan atau sebagai praktik kritis bahwa layanan pendidikan di sekolah tidak memuaskan sehingga siswa masih membutuhkan asupan bimbel.

Namun dari pihak guru, bimbel dipandang sebagai representasi semangat atau motivasi hebat siswa yang tetap membutuhkan waktu tambahan belajar karena waktu dan materi secara umum di sekolah dinilai masih kurang. Jika demikian halnya, bimbel bukan jalan keluar tetapi hal ini berurusan dengan pemerintah.

Rupanya guru-guru memahami minat belajar siswa yang sangat tinggi sebagai peluang untuk menambah penghasilan. Maka bimbel pun merebak.

Terkait dengan bimbel, maka di sekolah muncullah tipe guru hebat, yakni guru yang sukses bimbel karena terbukti telah mengantarkan siswa-siswanya meraih nilai maksimal. Seiring dengan perjalanan waktu dan daya dukung ekonomi keluarga siswa, ada indikator baru untuk mengukur kehebatan guru bimbel, yakni penampilan dan kendaraannya, yang sama artinya bahwa daya beli siswa dalam bimbel sangat menjanjikan.

Sisi lain kehebatan guru bimbel sempat diragukan karena ada praktik curang. Siswa yang mengikuti bimbel memperoleh palayanan ‘’istimewa’’ yakni menerima tes yang sengaja dibocorkan oleh guru bimbel. Hal ini dilakukan demi meningkatkan kepercayaan siswa. Sehingga pada setiap tahun, jumlah siswa di bimbelnya terus bertambah.

Karena ada transaksi antara guru dan siswa, suasana belajar di bimbel berbeda jauh dengan suasana belajar di sekolah formal. Jauh lebih santai dan akrab. Siswa memperoleh perhatian dan perlakuan yang sangat manusiawi. Kenyamanan dalam bimbel muncul dan siswa benar-benar menjadi subjek. Guru bimbel memosisikan dirinya sebagai pembimbing yang ramah, sabar, dan bersemangat.

Baca juga:  Galungan, Waspadai Tren “Negakin” Dharma

Hubungan guru bimbel dan siswanya tidak dijumpai di kelas-kelas formal yang bahkan berbalik sama sekali dengan kelas-kelas bimbel. Guru menunjukkan kuasa dan siswa adalah objek.

Hal ini terjadi karena guru mengembangkan suatu paradigma tertentu mengenai dirinya dan siswa. Paradigma hubungan ini bisa sangat simpatik dan bisa pula antipati. Tentu tidak bisa diabaikan ada kekuatan transaksi (uang) dalam bimbel yang memosisikan guru sebagai hamba siswa.

Pada kegiatan belajar formal, guru abai bahwa negara membayar jasa profesinya lewat gaji dan tunjangan. Gaji yang mereka terima adalah imbalan sebagaimana yang diterima dalam transaksi bimbel. Dalam hal inilah, guru harus realistis dan adil. Guru tidak boleh memandang rendah gaji yang dibayar oleh negara dan lebih menjunjung tinggi uang bayaran yang diterima lewat bimbel.

Karena itu, guru harus mengutamakan pekerjaan mengajar di kelas pemerintah. Di dalam kelas-kelas inilah, mereka berkarya dan melakukan inovasi sehingga suasana belajar ala di bimbel yang dengan mudah mereka mampu ciptakan, juga menjadi keseharian suasana di kelas formal. Dasar pikirannya adalah karena inilah pekerjaan pokok guru dan bukan di bimbel.

Secara lebih luas tentu kenyataan bimbel yang masih terjadi saat ini perlu dibicarakan secara terbuka. Data pelaksanaan bimbel yang dilakukan oleh para guru harus dikumpulkan untuk bahan dalam memahami kelanjutan bimbel dan sumbangan kepada pemerintah dalam mengambil suatu kebijakan. Mungkin akan ada larangan tegas, atas alasan apa pun, seorang guru dilarang menyelenggarakan bimbel dan mengajar di ruko-ruko.

Baca juga:  Bimbel "Online," Alternatif Media Literasi

Jikapun praktik bimbel masih ada di kalangan siswa, semua itu adalah murni kehendak siswa tanpa melibatkan guru. Dengan demikian, peran guru tidak terkontaminasi oleh kepentingan memperoleh bayaran tambahan.

Dengan menyerahkan sepenuhnya bimbel kepada para siswa, maka itu adalah hak siswa yang telah mendapat dukungan keluarganya dalam rangka memperoleh tambahan materi pelajaran, suasana lain dalam belajar, cara-cara guru dalam mengajar. Tentunya sangat membantu kualitas belajar siswa yang tidak hanya bergantung kepada guru-guru di sekolah tetapi menerima gara-gara baru dalam belajar, termasuk pula dengan berlangganan ruang kelas-ruang kelas virtual daring.

Pemerintah telah memenuhi kesejahteraan guru namun oknum guru masih juga kekurangan dan menciptakan berbagai peluang untuk memperoleh bayaran dari siswa, walaupun hal ini ada di luar sekolah dan sama sekali tidak terkait. Namun, tidak bisa dihindari terjadinya peluang-peluang yang membedakan sikap guru antara siswa yang ikut bimbel dan yang tidak.

Maka demi aman dan fokus, guru tidak perlu lagi menyelenggarakan bimbel. Hal ini harus direlakan demi kebersihan pikiran guru dalam menghadapi semua siswa di kelasnya. Jika guru ingin membantu siswa untuk sukses dalam tes, maka ikhtiar ini harus dilakukan secara terbuka dan melembaga sehingga memberi kemaslahatan yang lebih luas dan berkeadilan di kalangan semua siswa yang diajarnya.

Penulis, dosen Undiksha Singaraja

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *