Oleh Dwi Yustiani, S.ST.
Inovasi memang tiada hentinya dan tiada letihnya membuat berbagai perubahan dalam segala lini kehidupan. Termasuk dalam bidang pariwisata yang merupakan urat nadi masyarakat Bali pada khususnya.
Berbagai cara telah ditempuh pemerintah untuk mempertahankan pariwisata Bali, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Mengurangi kemacetan, menjaga kelestarian, bahkan yang hangat dibahas adalah adanya ranperda mengenai kontribusi wisatawan untuk pelestarian lingkungan alam dan budaya Bali. Mungkinkah hal ini terjadi?
Banyak yang menyerukan bahwa pariwisata Bali telah jenuh. Pemusatan pariwisata yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat dunia hanya di Bali bagian selatan. Terbukti dengan tingginya perolehan pajak daerah dari Kabupaten Badung yang mencapai Rp 3,31 triliun. Delapan puluh enam persen dari pendapatan asli daerah Badung berasal dari pajak daerah seperti pajak hotel dan restoran, pajak reklame, dan lainnya.
Tidak seberuntung Kabupaten Badung, kabupaten lain seperti Kabupaten Jembrana memiliki komposisi pajak daerah hanya 33,8 persen dari PAD-nya. Pengembangan pariwisata di Bali secara matematis haruslah lebih optimal.
Kemerataan pembangunan sarana dan prasarana pariwisata perlulah ditingkatkan. Sehingga hal tersebut mampu mengatasi kejenuhan wisata yang kini bagi sebagian pihak sedang terjadi di pulau seribu pura ini.
Namun, alasan di balik itu bukanlah masalah kejenuhan. Pemerintah membentuk 10 Bali Baru karena memandang dan melihat kinerja pariwisata Bali yang patut dicontoh dan diaplikasikan ke pulau lain yang sudah barang tentu akan mampu menyedot perhatian dunia dan pada akhirnya akan mampu meningkatkan devisa negara.
Menurut data organisasi pariwisata dunia United Nation World Tourism Organization (UNWTO), jumlah turis internasional mencapai 1,4 miliar orang, meningkat 6 persen dari tahun 2017. Ini merupakan peningkatan terkuat kedua setelah peningkatan 7 persen pada tahun 2017.
Bagaimana dengan Indonesia? Target kedatangan wisman yang ditetapkan pada tahun 2018 oleh Kementerian Pariwisata sebanyak 17 juta wisman. Badan Pusat Statistik merilis data wisman yang masuk ke Indonesia mencapai 15,8 juta wisman.
Walaupun tidak mencapai target, dibandingkan tahun 2017, jumlah wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia baik melalui pintu laut maupun udara mencapai 12,58 persen. Tentu ini merupakan prestasi yang patut dibanggakan karena menargetkan pariwisata sebagai penghasil devisa terbesar.
Bagaimana dengan Bali sebagai trend setter pembentukan 10 Bali Baru? Selama tahun 2018, tercatat 6,1 juta wisman berkunjung ke Bali. Ini merupakan rekor baru yang dicapai Bali, yang sebelumnya hanya menembus angka 5 juta wisman. Target Kementerian Pariwisata bahwa 40 persen dari total wisman nasional disumbang oleh wisman yang datang ke Bali hampir tercapai.
Walaupun pada tahun sebelumnya gejolak bencana alam sempat membuat down kondisi pariwisata, Bali kembali bangkit dengan berbagai inovasinya yang kemudian mampu menggenjot kedatangan wisman ke Bali. Namun selama tahun 2018, wisman yang mendominasi datang ke Bali yaitu wisatawan dari Tiongkok, walaupun mengalami penurunan dibandingkan tahun 2017.
Yang patut diperhatikan adalah wisatawan dari India yang jumlahnya naik signifikan bahkan terbesar sepanjang 2018 mencapai 29,75 persen. Ini bisa saja menjadi tanda bahwa ada baiknya strategi peningkatan wisman diimbangi dengan menganalisis perilaku wisatawan. Sebagai contoh banyaknya wisatawan India apakah bisa diadakan festival yang berbau India, seperti contoh yang terjadi di Singapura, dengan membentuk kawasan Little India.
Berbagai upaya ditempuh oleh pemerintah untuk meningkatkan kunjungan wisman ke Bali. Mulai dari mengadakan berbagai festival seperti Festival Nusa Penida, Festival Buleleng, bahkan Nusa Dua Festival. Bahkan, dari segi ketermudahan akses seperti mengurangi kemacetan, pemerintah bisa mengoptimalkan pengaturan jam sekolah, karena secara kasatmata kemacetan juga disumbang oleh hampir samanya jam sekolah dan jam kantor.
Salah satu inovasi lain yang sedang hangat dibahas saat ini adalah pungutan sebagai kontribusi wisatawan untuk pelestarian lingkungan alam dan budaya Bali. Sebenarnya, beberapa negara telah melaksanakan beberapa kebijakan pungutan terhadap wisman yang masuk ke negaranya.
Yang santer baru-baru ini terdengar adalah ditetapkannya aturan Sayonara Tax (International Tourist Tax) pada setiap wisman dan wisdom yang keluar dari Jepang, yang baru diberlakukan mulai tanggal 7 Januari 2019. Setiap turis maupun warga negaranya yang keluar meninggalkan Jepang baik melalui jalur darat dan jalur laut dikenakan pungutan 1.000 yen, kecuali anak berumur di bawah 2 tahun dan ketetapan lainnya.
Namun sebenarnya, tidak hanya Jepang yang melakukan kebijakan tersebut. Kroasia, Selandia Baru, Malaysia bahkan lebih dulu menetapkan kebijakan pajak turis. Ada yang membebankan pajak tersebut pada biaya akomodasi, dan banyak juga yang membebankan pajak turis pada harga tiket pesawat.
Apabila Bali mampu menetapkan kebijakan tersebut tentunya harus dibarengi dengan pengaturan regulasi yang tepat, tata cara dan prosedur yang telah dimatangkan tentu saja Bali akan mampu menerima pendapatan tambahan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pariwisata.
Tidak perlu khawatir karena penetapan kebijakan ini akan berdampak kepada penurunan jumlah wisman. Sebenarnya, beberapa hal patut dipertimbangkan terkait kebijakan ini. Pertama, dari aspek hukum penerimaan daerah yang berasal dari pajak dan retribusi telah diatur dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Dalam aturan tersebut, pajak daerah yang dibebankan kepada daerah kabupaten/kota hanyalah pajak hotel dan restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, serta pajak mineral bukan logam, sementara pajak yang dikelola oleh pemerintah provinsi antara lain pajak kendaraan bermotor, bea balik nama, pajak bahan bakar, pajak air permukaan, dan pajak rokok. Apabila Bali menerapkan pajak turis, apakah sekiranya akan bertentangan dengan undang-undang di atas, karena hal ini bisa saja menjadi inspirasi bagi daerah lain untuk membuat hal serupa.
Kedua, dari aspek kuantitas, membayar sepuluh dolar dengan dapat melihat atraksi budaya yang tentu sangat original dan autentik tentu memberikan kepuasan tersendiri kepada wisatawan, mengingat perilaku wisatawan saat ini mengarah ke berbasis leisure. Milenial cenderung menyukai sesuatu yang autentik, unik, dan langka. Karena setiap momen akan dibagikan dalam media sosial yang mereka miliki. Sinonimnya instagramable.
Ketiga adalah aspek sistemik. Tata cara pemungutan pajak turis harus matang untuk diformulasikan. Mengingat subjek pajak di sini bukanlah usaha atau badan, melainkan orang perorangan.
Misalkan akan mencontoh Malaysia yang menetapkan pajak turis yang dibebankan kepada akomodasi, tentu akan meningkatkan rate sewa kamar. Mengingat persaingan usaha hotel di Bali sungguh sengit, maka sekiranya dari aspek pengusaha juga harus dipikirkan, jangan sampai banyak usaha akomodasi yang mengalami pailit hanya karena kenaikan harga sewa kamar.
Dan yang keempat adalah promosi. Supaya kebijakan tepat sasaran, maka hal yang sangat diperlukan guna tercapainya target kebijakan itu adalah promosi. Bagaimana wisatawan akan paham bila kebijakan ini tidak disosialisasikan dengan matang. Media promosi di era digital ini sangatlah mudah. Dan siapa pun dapat mengakses.
Yang terpenting saat ini adalah kecepatan. Kecepatan promosi akan memudahkan segalanya. Karena era digital yang bergerak sangat cepat dan akan cepat berubah. Dengan segala macam tantangan yang akan dihadapi saat kebijakan ini dilaksanakan tentu akan menimbulkan pro dan kontra.
Sinergitas, baik antaralembaga pemerintah yang terkait maupun dengan pihak swasta harus dipupuk. Merumuskan sesuatu inovasi berskala besar sangatlah memerlukan pemikiran yang jernih dan supporting masing-masing pihak.
Penulis, Statistisi pada Badan Pusat Statistik Provinsi Bali