Oleh Ribut Lupiyanto
Atmosfer Pemilu 2019 baik Pileg maupun Pilpres mulai memanas. Kontestasi Pilpres dirasa lebih mendominasi dinamika politik karena hanya diikuti dua pasangan klasik (el classico). Hal ini menyebabkan munculnya gesekan dan polarisasi yang ekstrem antarkubu dan pendukungnya.
Perang opini dan sosialisasi peta dukungan terus menghiasi media massa dan media sosial. Sayangnya, dinamika tersebut terasa masih miskin dari adu gagasan sebagai esensi demokrasi.
Fenomena yang terjadi justru praktik kotor yang menodai dan menyebabkan degradasi kualitas demokrasi, misalnya kampanye hitam (black campaign). Kampanye hitam sebagian besar diawali dan didasari oleh gosip-gosip politik yang berseliweran liar.
Gosip politik adalah wajar dan niscaya dalam dinamika pesta demokrasi. Kahlil Gibran dalam puisinya berujar “Jika engkau mengabarkan rahasiamu kepada burung, jangan salahkan burung jika berkicau kepada angin. Dan angin mengembuskannya ke seluruh dunia“. Gosip politik menurut Stein disebut pula sebagai grapevine.
Grapevine dimaknai sebagai metode pemberian laporan rahasia dari orang ke orang yang tidak dapat diperoleh melalui saluran biasa, karena isi pesan grapevine senantiasa diwacanakan ke publik melalui komunikasi informal (face to face communication). Gosip politik tidak hadir baru saja.
Pada zaman Majapahit dan Mataram sudah ada orang-orang yang dibayar khusus oleh istana untuk mengembuskan kabar-kabar tertentu, guna memengaruhi alam pikir rakyat. Pujangga, brahmana, penyair, atau sekadar kecudan telik sandi (informan, intelijen) adalah para pengabdi penguasa untuk menyerap atau justru mengembuskan kabar-kabar tertentu.
Gosip politik era kini semakin cepat menarik perhatian publik seiring kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Futurolog, John Naisbitt dalam bukunya Megatrends 2000 menyatakan siapa yang menguasai informasi dan komunikasi dipastikan akan menguasai dunia. Pola pergerakan gosip politik dapat dipahami melalui kajian komunikasi massa (Biaro, 2012).
Pertama, pertarungan politik terkunci pada soal persepsi. Persepsi menyingkirkan faktor-faktor lain, seperti kebenaran, faktualitas, dan validitas. Kedua, gosip akan menggelembung dalam kontestasi politik, karena memang direproduksi secara sistematis, intensif, dan dalam kemasan sebaik-baiknya. Ketiga, melekat dalam identitas gosip itu sendiri yang senantiasa blur (samar). R
ekayasa gosip politik adalah senjata multifungsi yang berguna untuk menutupi, mengelabui, dan mengalihkan. Di antara dua kubu kontestan tidak ada yang kebal gosip politik. Semua terkena serangan gosip dengan bervariasi bentuk dan ketajamannya.
Mayoritas gosip politik mengarah ke calon presiden (capres), baik Jokowi maupun Prabowo. Jokowi terkena badai gosip seputar pencitraan, keturunan Tionghoa dan PKI, ijazah palsu, terlahir non-Muslim, dicukongi konglomerat besar, dan banyak lagi. Prabowo tidak kalah banyak diterpa gelombang gosip. Misalnya dugaan kewarganegaraan ganda, utang perusahaan Prabowo dan gaji pekerjanya 5 bulan belum dibayar, tuduhan penghilangan paksa aktivis 1998, penyiksaan pejuang prokemerdekaan di Timor Timur, dan lainnya.
Komunikonten (2019) melaporkan salah satu risetnya yang mengamati dua video gosip terhadap Jokowi dan Prabowo. Gosip Jokowi yang dipilih berjudul “Saksi Hidup PKI Ibu Jokowi” dibuat 2016.
Ditonton sebanyak 2.888.751 kali, disukai 3.100 akun, dan tidak disukai 1.900 akun. Sedangkan video gosip Prabowo dipilih judul “Inilah Fakta Ternyata Prabowo Keturunan Cina dan Beragama Kristen”. Video yang dibuat sejak 29 Januari 2018 ini ditonton 3.161.021 kali, disukai 10.000 akun, dan tidak disukai 3.800 akun.
Saling serang gosip terus naik eskalasinya. Hingga kini, gosip politik terus berseliweran di tengah-tengah dinamika politik nasional yang memanas. Hal yang dikhawatirkan adalah terus berlangsungnya perang gosip politik yang mengarah hoax dan menurunkan kualitas demokrasi. Debat capres menjadi ajang harapan untuk membuktikan adanya perang gagasan dan program.
Revitalisasi Demokrasi
Perang gosip politik memuncak dalam Pilpres 2019 ini. Atas kondisi ini, demokrasi Indonesia mengalami kondisi darurat. Gosip politik yang terbiarkan dan justru dimanfaatkan akan menjadi bola panas yang merusak iklim kompetisi demokrasi. Semua pihak penting melakukan refleksi terkait fenomena perang gosip politik demi perbaikan di masa mendatang.
Pertama, bagi elite politik penting untuk menetralisasi hadirnya gosip politik. Parpol dan politisi mesti memberikan pendidikan politik bagi tim sukses maupun pendukungnya dalam hal etika komunikasi dan strategi pemenangan. Gosip politik apalagi kampanye hitam jangan justru dimasukkan sebagai strategi kontestasi demokrasi.
Kedua, bagi pengamat dan media penting tidak melakukan provokasi dan tidak memberikan informasi tanpa validitas. Setiap informasi meskipun menarik mesti didalami melalui investigasi jurnalistik. Sosialisasi visi dan misi justru lebih penting untuk dikritisi dan didiskusikan dalam ruang-ruang jurnalisme media.
Ketiga, bagi publik penting mencerna secara cermat dan bijak terhadap setiap informasi yang datang. Penyakit era virtual seperti sekarang adalah mudah menyebarkan berita melulai forward, retweet, atau copy paste. Publik penting melakukan penyaringan informasi melalui perbandingan ke berbagai sumber, konfirmasi terhadap subjek informasi, atau lainnya.
Hadirnya gosip politik hingga kampanye hitam dapat menjadi batu sandungan dan bom waktu bagi degradasi demokrasi. Gosip politik tidak memiliki peran berarti dalam kontestasi demokrasi. Sebaliknya justru dapat menjadi bumerang yang akan menggerogoti dukungan publik. Semoga gosip politik akan terminimalisasi ke depan dalam perjalanan demokrasi bangsa Indonesia.
Penulis, Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA); Blogger