korupsi
Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh I Nyoman Darta

Di tengah ramainya diskusi tentang calon presiden, ada usulan membersihkan politisi. Masih banyaknya politisi yang tertangkap tangan korupsi, memunculkan ide untuk memutus hak politik dari politisi bersangkutan. Pengadilan sudah memutus beberapa politisi yang melakukan korupsi tersebut. Tetapi tidak semua politisi yang korup diperlakukan demikian.

Banyak pihak yang mendukung ide KPK ini demi memberikan efek jera kepada politisi bersangkutan dan politisi lainnya yang mungkin akan terjun di dalam pemeritahan. Efek jera ini sangat diperlukan ke depan.

Cara demikian, apabila berhasil akan jauh lebih memudahkan bagi negara dan pemerintah untuk menghadapi realitas politik di masa depan. Artinya, jika politisi sudah kapok dengan sikapnya itu, maka tidak akan banyak lagi pengadilan akan bekerja hanya untuk mengadili politisi yang tidak tahu malu ini.

Tetapi ada satu pendapat penting bahwa pemberian hukuman tambahan tersebut merupakan cara untuk melindungi masyarakat. Artinya, melindungi masyarakat dari ketidakmampuannya menghambat laju politisi yang suka korupsi tersebut.

Secara sosial pendapat ini benar dan memang seperti inilah yang seharusnya dilakukan oleh pengadilan untuk membantu masyarakat. Dari sini terbuka, fakta bahwa rakyat sesungguhnya hilang kendali atas upaya untuk menetapkan pilihannya, bahkan jauh-jauh hari sebelum menjatuhkan pilihan. Inilah yang harus dibantu oleh pengadilan.

Secara sosial, bantuan ini dipentingkan karena masyarakat kini masih banyak mendapat tantangan. Dari sisi pengetahuan soal calon anggota legislatif, sebagian masyarakat tidak kuasa mencari jejak yang paling jujur dari calon anggota legislatif tersebut. Ini disebabkan karena begitu banyaknya calon anggota legislatif yang ditawarkan sebagai akibat dari begitu banyaknya partai politik yang bertarung.

Baca juga:  Kasus Korupsi Dana PNPM di Rendang, 1 Tersangka Lagi Ditetapkan

Bagi generasi yang sudah berumur di atas 50 tahun, penggunaan gawai tidak dapat dilakukan secara maksimal kerena bukan menjadi budaya mereka, apalagi yang lebih dari itu umurnya. Tidak banyak generasi ini yang mempunyai keahlian melek gawai. Kalaupun kemudian mencari informasi melalui interaksi antarteman, juga tidak akan mungkin mampu mencari sampai pada tingkat kejujuran sang calon anggota legislatif. Tidak mungkin pula mencari informasi secara rinci seluruh calon anggota legislatif di televisi atau media cetak.

Bagi generasi yang lebih baru, yang lahir pada dekade tujuhpuluhan dan delapanpuluhan, aktivitas mereka sebagai generasi yang paling produktif sesuai dengan tingkat usianya, akan membuat perhatian mereka tidak banyak terhadap sikap dan kejujuran dari calon politisi ini. Generasi milenial yang lahir pada dekade sembilanpuluhan dan sesudahnya, memang menguasai teknologi digital. Tetapi mereka  mempunyai kecenderungan abai terhadap hal yang berbau politik.

Boleh dikatakan ini sebagai problem dari negara demokrasi di Indonesia. Dengan catatan, dari sini dapat dikatakan bahwa demokrasi di Indonesi harus dibantu lagi. Sebuah negara demokrasi haruslah mempunyai aparat yang bersih. Artinya, mereka yang menjalankan kemanusiaan itu sebagai pihak yang paling awal dalam politik pemerintahan (anggota legislatif, bupati, gubernur, dsb) haruslah orang bersih.

Sebab, merekalah yang membuat kebijakan dan peraturan saat menjalankan kekuasaan. Disinilah problem yang terjadi pada masyarakat banyak di Indonesia. Karena itulah maka diperlukan bantuan dan perlindungan kepada masyarakat untuk melakukan pilihannya.

Seharusnya partai politiklah pihak yang paling awal untuk memberikan bantuan dan perlindungannya, karena semua politisi direkrut dari partai politik. Tetapi, seperti yang sudah terlihat di mana-mana, partai politik sudah gagal dalam menjalankan fungsi rekrutmennya. Sejak awal sudah terlihat hal ini.

Baca juga:  Ibu, Sang ’’Wonder Women’’

Dengan sudut pandang itulah, apabila ada usulan untuk memutus hak politik bagi politisi yang korup, merupakan salah satu pemikiran yang positif. Penting diungkapkan bahwa tidak adanya hukuman berupa efek jera kepada politisi yang korup, membuat selalu ada pengulangan korupsi oleh politisi Indonesia, bahkan oleh politisi yang baru terjun ke dunia politik.

Munculnya usulan di tengah kampanye ini merupakan cara yang baik untuk menyadarkan dua pihak, yaitu politisi dan masyarakat. Bagi politisi, usulan yang dilakukan pada saat sedang kampanye mempunyai manfaat mengurangi cara mereka untuk mengompas dalam mencari dukungan. Korupsi pada konteks politik mempunyai nilai yang sama dengan kolusi dan nepotisme.

Akibatnya, ketika wacana korupsi itu diungkapkan secara massal di media massa, masyarakat akan ingat dengan kolusi dan nepotisme. Para politisi sekarang sebagian sangat tidak kreatif. Cara untuk mencari massa masih tetap seperti dulu, yaitu memberikan “bantuan” kepada masyarakat.

Bantuan ini adalah sebuah pembentukan kolusi dengan masyarakat,  karena dengan cara itu akan ada kerja sama antara politisi dengan oknum di masyarakat untuk meloloskan dirinya sebagai politisi. Dengan hubungan seperti itu juga pada akhirnya akan dibangun juga budaya nepotisme, yaitu kerabat baru dan saudara yang baru dengan tujuan-tujuan politik.

Kolusi dan nepotisme seperti ini bukan saja berupa fenomena yang dihadapi, tetapi justru dibangun dan dikembangkan lagi. Sangat berbahaya apabila hal ini dibangun. Padahal kita ingin menghilangkan fenomena yang sudah ada. Kolusi dan nepotisme merupakan modal untuk melahirkan korupsi lagi.

Baca juga:  Benteng Terakhir Lawan Korupsi

Wacana penghilangan hak politik akan mampu memberikan penyadaran kepada politisi untuk berhenti melakukan jual beli suara di masyarakat. Cara seperti ini sangat mahal dan berpotensi mengulang-ulang korupsi.

Bagi masyarakat, wacana pemotongan hak ini akan memperkuat dorongan mereka untuk memilih politisi yang jujur. Pemutusan hak politik sesungguhnya menjadi tujuan dari masyarakat banyak terhadap pilitisi yang suka melakukan penyuapan dalam melakukan pilihan.

Tidak semua masyarakat suka dengan berbagai suapan, entah berupa bantuan semen, perbaikan tempat sembahyang, atau pun perbaikan jalan. Tetapi kesepakatan pimpinan dan lobi dari politisi sering membuat rakyat tidak dapat berkutik terhadap hal seperti ini. Rakyat tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan pemotongan tersebut. Karena itulah wacana penghilangan hak politik ini memberikan bantuan untuk membangun penyadaran bagi masyarakat untuk memilih politisi yang bersih.

Dengan demikian, disamping menghukum sang koruptor, pengadilan juga sebaiknya menghukum dengan cara menghentikan hak politiknya. Biarkan politisi berpikir ulang setelah menjalani hukuman.

Bukan tidak mungkin politisi koruptor yang sudah dipotong hak politiknya akan berbelok menjadi budayawan atau bahkan menjadi agamawan. Dengan menjadi budayawan mereka akan menyadari kesalahannya dan menyebarkan kepada masyarakat untuk tidak berbuat demikian. Apalagi misalnya mereka menjadi agamawan. Tentu mereka akan mampu memberikan masukan yang baik kepada masyarakat untuk tidak berbuat demikian.

Banyak yang harus dikerjakan untuk memberantas korupsi. Perilaku buruk ini sudah terlalu lama terjadi di Indonesia. Perilaku yang sudah lama ini susah diubah. Dan cara untuk mengubah itu adalah dengan semakin sering mengingatkan.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *