Potret dunia pendidikan tinggi kita dewasa ini tampaknya masih mencari bentuk. Tiap saat, kebijakan pendidikan tinggi berubah. Misalnya saja dua bulan lalu, menteri menyampaikan bahwa satu universitas diwajibkan memiliki minimal sepuluh program studi dan tiap prodi minimal diampu enam dosen.
Saat ini, kebijakan itu tak jadi dilakukan diganti dengan menambah program vokasi yakni diploma dengan syarat dosen minimal lima orang. Begitulah seterusnya. Termasuk soal masa pensiun dosen dari 65 tahun menjadi 70 tahun semuanya ada kepentingan politik. Belum lagi soal dana penelitian bagi dosen juga sarat nuansa politiknya.
Dari besarnya dana riset, kata Menristekdikti Mohamad Nasir, juga naik terus. Lima tahun lalu, biaya riset RI hanya 0,08 persen, setelah Jokowi memimpin terus naik dan 2017 mencapai 0,25 persen. Naiknya juga luar biasa yakni 0,17 dalam rangka melahirkan unicorn dan start up baru. Sementara di polteknik sistemnya disederhanakan lagi dengan aturan meme (multi entry multi exit) agar tak ada mahasiswa yang DO.
Nah, jika politik dipakai untuk memajukan anak bangsa sangatlah bagus. Seperti dana penelitian bagi mahasiswa dan dosen, namun juga harus diikuti dengan sejauh mana implementasinya selama ini bagi masyarakat dan dunia industri. Ini yang belum ada yang mengontrol. Makanya banyak penelitian doktor dan profesor hanya di atas kertas, namun jarang diterapkan di dunia kerja.
Kemenristekdikti mulai tahun ini menyerderhanakan peraturan. Tujuanya semua perguruan tinggi (PT) bisa bergerak cepat guna menghasilkan makin banyak PT yang bermutu dan terjangkau. Pelayanan pun dipersingkat dari berbulan-bulan menjadi hanya 15 hari. Nah, kalau yang begini baru namanya politik positif.
Kalau melihat kondisi di daerah, data menunjukkan dari 172 PTS di Bali, NTB, dan NTT, 76 persen sudah terakreditasi, yang belum adalah prodi baru. Hanya, dari Akreditasi Institusi Perguruan Tinggin (AIPT) baru terakreditasi 43 persen padahal 2019 adalah masa akhir AIPT. Ini menunjukkan kualitas PT kita memerlukan political will dari pemerintah agar mereka setara dan sejajar. Dengan demikian, baru kita bisa me-maping SDM Indonesia. Misalnya dengan menggelontorkan dana untuk kelengkapan sarana dan prasarana, droping dosen berkualitas dan lain-lain.
Ketika kini SDM di PT kini ditarik ulur untuk memenangkan capres di Pilpres 2019, harus dicermati secara cerdas. Kampus sebagai ajang ilmiah apa boleh dipakai ajang untuk dukung-mendukung dan mendatangkan capres tertentu? Jawabanya ada dua yakni boleh dan tidak.
Ada pihak yang menyatakan biarkan saja kampus dikunjungi capres untuk promosikan diri, asalkan dalam bingkai adu program dan visi. Sementara pihak lain mengatakan kampus harus steril dari kepentingan politik termasuk mendatangkan capres. Cukup civitas akademika memilih capres mana yang pro dunia pendidikan, guru, dan dosen.
Jika dilihat kondisi daerah Bali, Gubernur Wayan Koster sudah menebarkan politik positif dalam bidang pendidikan. Dia menawarkan kolaborasi penanganan pendidikan tinggi di Bali sekalipun tanggung jawab pendidikan tinggi ada di pusat.
Kedua, dia menawarkan penelitian dosen yang tematik dan disinergiskan dengan program pemerintah. Misalnya kerja sama Pemprov Bali dengan Fakultas Pertanian, dalam ide sederhananya dia ingin mengajak mahasiswa Fakultas Pertanian turun ke desa, menggarap masyarakat petani, meneliti, dan langsung diterapkan ke petani.
Ini yang dia sebut penelitian tematik. Demikian juga dengan kerja sama bidang lainnya, agar jangan lagi, kata Koster, hasil penelitian dosen hanya masuk laci.
Nah, good will dari pemerintah ini harus menjadi tantangan perguruan tinggi di Bali. Mau serius atau santai saja?