Wisatawan mengunjungi Tanah Lot. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Budaya telah menjadi branding pariwisata Bali. Keindahan alam dan kentalnya budaya Bali membuat pariwisata Bali berkembang pesat. Bahkan, Bali sering dinobatkan sebagai destinasi pariwisata terbaik di dunia. Oleh karena itu, Bali tidak perlu branding pariwisata halal.

Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Wilayah Bali Dr. Drs. Ec. I Putu Anom, B.Sc., M.Par. mengatakan, pariwisata Bali sudah eksis sejak tahun 1970-an. Bahkan jauh sebelum itu sudah banyak wisatawan mancanegara maupun domestik yang berkunjung ke Bali karena keindahan alam, penduduknya yang ramah-tamah, toleransi tinggi dan memiliki keunikan budaya Bali yang bersumber dari nilai-nilai luhur agama Hindu.

Sejak tahun 1974 Bali telah menetapkan branding Budaya Bali sebagai ikon pariwisata Bali. Industri pariwisata Bali beserta semua stakeholder pariwisata didukung masyarakat sudah terbiasa dan telah profesional meng-handle wisatawan dari berbagai daerah, negara maupun dari berbagai etnis dan agama.

Hampir tidak ada komplain, karena perbedaan tersebut, karena para pelaku pariwisata telah dibekali pemahaman lintas budaya. “Jangankan wisatawan yang hanya beberapa hari atau sekitar dua minggu sampai satu bulan tinggal di Bali, penduduk Bali yang non-Hindu pun sudah hidup berdampingan secara damai dan rukun di Bali, termasuk menjalankan tata cara hidup dan beribadah sesuai keyakinannya masing-masing,” ujar mantan Dekan Fakultas Pariwisata Unud asal Desa Kapal, Mengwi, Badung ini.

Baca juga:  Tampil di Ardha Candra, "Busur Hujan" Jadi Andalan Navicula

Oleh karena itu, Bali tidak lagi memerlukan branding pariwisata halal dan sebagainya. Sebab, industri-industri pariwisata, baik hotel, restoran, rumah makan, biro perjalanan, pemandu wisata dan lain sebagainya sudah profesional meng-handle wisatawan dengan tetap memperhatikan dan menghormati agama atau keyakinan yang dianut wisatawan.

Hal senada disampaikan akademisi yang juga pemerhati pariwisata, Dr. I Nengah Laba, M.Hum. Menurut Laba, rencana pengembangan pariwisata halal di Bali lengkap dengan sarana-prasarananya sangat kurang pantas apabila dibandingkan dengan konsep dan filosofi pariwisata budaya yang sudah berjalan di Bali.

Jika urgensinya untuk peningkatan pendapatan, argumen ini kurang relevan dan tidak mendasar. Sebab, bisa jadi tamu dari Timur Tengah yang datang ke Bali memang ingin melihat budaya Bali dan alamnya, bukan untuk mendapatkan atmosfer pariwisata halal.

Baca juga:  Mahayastra Menang Telak di "Kandang"

Menurutnya, pariwisata di Bali dengan basis sosio-budaya dengan topangan keramahtamahan masyarakatnya sudah terbukti menjadi daya tarik bagi wisatawan. Jika konsep dan filosofi pariwisata halal dikembangkan, secara langsung ataupun tak langsung dapat menenggelamkan tata-titi sosio-religi budaya masyarakat Bali yang menjadi magnet utama kedatangan wisatawan.

Pendiri Denpasar Institute ini menjelaskan, pegiat pariwisata, pemilik hotel dan restoran serta para pelaku perhotelan di Bali memiliki komitmen untuk menjaga roh pariwisata budaya, apalagi ini sudah jelas tertuang secara legal formal dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali.

Pariwisata Budaya

Wakil Ketua I DPP Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) I Made Ramia Adnyana, S.E., M.M., CHA. mengatakan, penyelenggaraan kepariwisataan budaya Bali dilaksanakan berdasarkan pada asas manfaat, kekeluargaan, kemandirian, keseimbangan, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan, adil dan merata, demokratis, kesetaraan dan kesatuan yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu dengan menerapkan falsafah Tri Hita Karana. ‘’Branding Bali sudah sangat jelas. Jadi pariwisata halal sangat tidak sesuai untuk Bali,’’ tegasnya.

Sebagai praktisi pariwisata yang sudah bertahun-tahun berkecimpung di dunia pariwisata, menurutnya, posisi Bali sudah sangat jelas mengusung pariwisata budaya sebagai rohnya yang bernapaskan Hindu dan sesuai Perda No. 12 Tahun 2012 tentang Pariwisata Budaya. “Walaupun dalam praktiknya kita menyediakan segala keperluan untuk wisata ini seperti arah kiblat, sajadah dan Alquran di kamar masing-masing. Ini sudah berjalan bertahun-tahun di Bali,” ungkapnya.

Baca juga:  Kejutan Dr Aqua Dwipayana Untuk Penjual Lontong Binaan Danlanud I Gusti Ngurah Rai

Hal ini tidak terlepas dari bentuk pelayanan secara profesional sesuai kebutuhan pasar yang digarap. Industri pariwisata selalu melakukan market profile untuk menganalisis kebutuhan tamu sesuai pasar.

Contohnya jika menyasar tamu Jepang maka dia harus menyiapkan kamar twin, bathtub, informasi hotel dalam bahasa Jepang dan staf yang bisa berbahasa Jepang. Demikian juga market Cina harus disiapkan sesuai kebutuhan pasar Cina.

Jadi terkait branding Bali sudah pasti Pariwisata Budaya. Bali is the island of gods yang artinya Bali sebagai tempat berkumpulnya para dewa sesuai dengan filosofi agama Hindu. Sudah sangat jelas, pariwisata Bali mengusung pariwisata budaya dan tidak ada masalah. “Lalu kenapa diubah menjadi pariwisata halal?” tanyanya. (Winatha/Citta Maya/balipost)

 

BAGIKAN

1 KOMENTAR

  1. Memang Bali tidak perlu branding pariwisata halal, tetapi kenyataannya di lapangan, ayam betutu saja sudah didikotomi oleh penjualnnya, dengan cara memberi label “ayam betutu halal”. Memang terkadang praktek perkembangannya lebih cepat dari teori, jadi berhentilah berteori, mari berpraktek untuk menolak dikotomi halal dan tidak halal, yang jelas Bali mengembangkan Pariwisata Budaya.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *