Kita sering membahas ketahanan ekonomi Bali yang bisa kita simpulkan sangat berbahaya. Lihat saja hampir semua kebutuhan krama Bali masih dipasok dari luar Bali. Perayaan Nyepi tahun ini bisa dijadikan ruang untuk introspeksi dalam menyikapi kemampuan ekonomi Bali.
Sektor pariwisata yang menjadi unggulan, harus bisa mengangkat sektor lain. Pertanian salah satunya. Sebab pertanian Bali belum memberi kontribusi pada ekonomi Bali.
Ini penting, jangan sampai kita hanya bergantung pada pariwisata. Sebab secara teori disebutkan, jika sebuah negara atau daerah hanya menggantungkan perekonomiannya pada satu sektor tertentu, maka ketahanan ekonominya sangat berisiko. Sangat dimungkinkan sebuah daerah atau negara akan kehilangan kemandirian dan sangat tergantung pada sektor satu itu saja.
Kita tentu masih ingat, ketika Bali mengalami tragedi bom, perekonomian kita nyaris tak berjalan normal akibat kita terlalu mengandalkan industri pariwisata. Mestinya kita memiliki industri alternatif lainnya seperti pertanian, perikanan, perkebunan dan industri kecil. Demikian pula ketika Gunung Agung erupsi, ekonomi Bali kian melemah. Sebab wisatawan takut datang.
Pariwisata juga menyebabkan karma Bali abai terhadap sektor pertanian. Demikian pula dalam sektor informal. Krama Bali lebih memilih bekerja di kapal pesiar, hotel, restoran atau sektor lain yang berhubungan dengan wisatawan.
Akhirnya sektor lain dikuasai orang luar. Lihat sektor informal. Krama Bali kalah jauh dengan krama pendatang. Lihat saja menjelang sore dan malam, UMKM di Bali dikuasai warga pendatang. Ini karena salahnya krama Bali yang tak mau mencoba usaha dan masih bermental priyayi tak mau susah-susah bekerja, namun ingin duit datang sendiri. Mereka mampu membangun ruko namun hanya untuk dikontrakkan. Jarang ada yang mau berwirausaha. Hanya krama Karangasem di Denpasar yang memiliki jiwa berjibaku lewat usaha kecil.
Ini juga pertanda ketahanan ekonomi Bali sangat berbahaya. Bali Post pernah memuat laporan bahwa Bali hanya tinggal satu generasi lagi. Setelah itu hilang ciri khas kebaliannya. Tantangan ini seharusnya cepat direspons krama Bali, jika tak ingin anak dan cucunya tergusur karena kalah dalam ekonomi. Tanah warisan sudah menjadi hak milik orang lain. Tentu kita tak mau menjadi pembantu. Untuk itu, kuasai sektor ekonomi di daerah sendiri dengan bekerja keras dan bekerja cerdas.
Padahal potensi karma Bali sangat potensial untuk maju. Orang Bali paling dulu bergaul dalam era globalisasi. Mereka paling pertama dan paling intens menjalani era global dengan orang asing. Demikian juga soal ekonomi kreatif. Krama Bali sering dijadikan contoh berkat kreativitasnya mereka bisa meraup dolar. Namun sering kali mereka kalah bersaing. Mereka cepat menyerah dan pasrah.
Untuk mengatasi masalah ini, pelaku ekonomi kreatif di Bali perlu bersatu bisa dalam bentuk komunitas. Dengan demikian kita dapat meningkatkan daya saing produk-produk Indonesia dipasar domestik maupun ekspor.