Barnet memberikan makan pada penyu yang ditangkar. (BP/may)

DENPASAR, BALIPOST.com – Generasi kelahiran 1990-an mungkin tak banyak tahu rasa daging penyu. Sebelum tahun itu, daging penyu marak diperjualbelikan, diolah menjadi makanan seperti sate dan lawar penyu.

Makanan olahan dari penyu ini pada awalnya diperkenalkan oleh nelayan Bugis yang dekat dengan Raja Badung. Setelah dicoba, ternyata sate dan lawar penyu enak dan diminati masyarakat di Denpasar dan Badung. “Penyu diiolah dan diisi bumbu ternyata enak. Kenikmatan penyu terkenal di seluruh Denpasar dan Badung, akhirnya semua pakai daging penyu,” tutur Made Winarta (43), pengelola konservasi penyu, di Pantai Sindhu, Sanur ditemui Minggu (10/3).

Baca juga:  Puluhan Peserta Ikuti Lomba Ogoh-ogoh Mini Ramah Lingkungan

Belakangan UU tentang pelestarian penyu mulai digaungkan pemerintah. Penyu menjadi satwa yang dilestarikan dan dilindungi. Masyarakat mulai menghentikan kegiatan mengonsumsi daging penyu.

Meski demikian, sampai sekarang masih ada oknum yang menjual daging penyu. Ini pula yang disesalkan pria asal Sanur ini. “Nah itu dia. Hukum masih bisa dibeli, padahal UU konservasi penyu sudah ada. Kalau memang tegas, ya … tidak akan ada lagi,” ungkap pria yang akrab disapa Barnet ini.

Baca juga:  Pascapembongkaran Blokir TPA Peh, Warga Inginkan Jalan Diaspal

Dulu sepanjang Pantai Sanur, banyak populasi penyu bertelur. Namun hilang karena diburu untuk dimakan. Dari sanalah ia mengawali upaya pelestarian penyu itu. Ia berkoordinasi dengan Balai Konservasi dan Kelian Banjar Sindu Kaja, kemudian bersama kawan-kawannya memulai penangkaran penyu.

Tercatat 80-an ekor penyu sedang ditangkar di sana. Jika kondisi alam memungkinkan, penyu tersebut akan dilepas ke alam. Namun penyu yang masih berusia 5 bulan sampai setahun akan tetap dirawat di sana.

Penyu yang bertelur di konservasi ini pun jumlahnya semakin banyak. Termasuk penyu sisik yang termasuk penyu langka juga bertelur di sana.

Baca juga:  Bali Tidak Terapkan PPKM Darurat

Selain manusia, kini tantangan yang harus dihadapi penyu adalah lingkungan. Kata Barnet, pantai dan alam sudah tercemar sampah plastik. “Saya berapa kali menemukan bangkai penyu di sini. Plastik paling banyak membunuh penyu karena dikira ubur-ubur,” ungkapnya.

Dengan adanya konservasi penyu ia berharap masyarakat menyayangi penyu. Selain itu juga menambah pesona wisata di Sanur. Wisatawan ketika makan malam juga dapat menikmati pemandangan penyu yang naik ke daratan ketika malam. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *