Banyak cara dilakukan oleh tokoh agama zaman dulu untuk menanamkan tatwa atau ajaran agama kepada umatnya. Salah satunya dalam bentuk seni sastra berupa epos Ramayana dan Mahabharata, melalui media seni seperti pertunjukan arja dan drama gong atau wayang kulit, namun ada juga dalam bentuk kegiatan yang menyenangkan.
Ogoh-ogoh pun dulu dalam rangkaian Nyepi belum kentara karena atraksi ogoh-ogoh hanya dikenal saat umat Hindu di Bali menggelar upacara ngaben tingkatan sedang dan utama.
Ogoh-ogoh saat upacara ngaben identik dengan Sang Hyang Rareangon. Kini, pawai ogoh-ogoh wajib ada serangkaian hari raya Nyepi. Hal ini tidaklah salah karena setiap ada pecaruan dan segehan agung di catus pata desa sifatnya adalah nyomia butha kala.
Makanya kita perlu mengkritisi pelaksanaan pawai ogoh-ogoh di sejumlah kabupaten di Bali yang diadakan sebelum hari pangerupukan. Biasanya sehari sebelum Nyepi ini semua desa pakraman, banjar, hingga keluarga melaksanakan prosesi pacaruan.
Di tingkat rumah tangga dilaksanakan segehan agung atau magobok, di tingkat banjar pecaruan eka sakta, dan di desa pakraman hingga panca sakta. Upacara pecaruan pun dilakukan siang hari atau saat sandikala setelah Ida Batara kabeh di desa selesai masucian di Pura Musen atau sumber air. Dimulai dari keluarga dengan natab beyakaonan, dilanjutkan ke tingkat banjar dan desa.
Di desa pakraman biasanya dipusatkan di catus pata desa adat setempat. Rangkaian pacaruan inilah dilanjutkan dengan mengarak ogoh-ogoh dengan maksud me-nyomia-kan sifat butha kala dari dalam diri. Dulu ditandai dengan memukul kulkul hingga pagi hari.
Sosok ogoh-ogoh pun sengaja dipilih yang menyeramkan sebagai simbol sifat marah, benci, dengki, dan loba yang harus dihindari dalam menjalani kehidupan pada tahun baru. Kini, ogoh-ogoh di Bali berkembang pesat.
Bukan saja sebagai implementasi tatwa agama, namun sudah menjadi bagian dari kreasi seni krama Bali. Saatnya krama banjar dan sekaa terunanya menunjukkan kehebatan dalam membuat ogoh-ogoh. Nama para unagi banjar pun makin tersohor.
Fenomena ini sangat menarik diulas karena tatwa nyomia butha kala sudah dipahami bersama, tinggal memolesnya dalam bentuk karya seni. Makanya di Denpasar dan sejumlah kabupaten lainnya, ogoh-ogoh dilombakan di setiap desa adat.
Mengapa di desa adat? Ini langkah yang dilakukan Pemkot Denpasar untuk meghindari kepadatan penonton pawai ogoh-pgoh di patung Caturmuka. Jika kini disebar ke semua desa pakraman, tentu kepadatan penonton terbagi dan arus lalin lancar.
Kedua, H-30 pangerupukan, anggota STT berlomba untuk membuat tabuh baru dan kreasi fragmen tari sesuai tema ogoh-ogoh. Ini lagi sekali sebuah edukasi seni yang mengakar dan bermanfaat bagi generasi Bali mendatang yang kuat akar budayanya.
Coba bayangkan, Nyepi tanpa ogoh-ogoh? Semua banjar di Bali akan sepi tak ada suara gamelan dari anak-anak yang latihan menabuh dan menari. Tak ada suara kuuk dan kiik dari anak muda Bali yang sedang asyik merampungkan ogoh-ogohnya di tempekan, gang, atau balai banjar.
Hanya, patut dibindari jangan sampai dibarengi dengan perilaku mabuk-mabukan. Di sinilah pentingnya pengawasan dari krama panglingsir banjar atau prajuru banjar.
Ketiga, secara ekonomis, pembuatan ogoh-ogoh juga mengandung unsur manajemen dari mereka untuk mereka. Anak muda memiliki ruang untuk memanajemen sebuah event. Mereka membuat baju kaus seragam dengan identitas banjar. Baju kaus Rp 50.000 dijual Rp 75.000. Keuntungannya dipakai untuk membiayai pembuatan ogoh-ogoh dan lomba.