Dadong Soring tinggal di gubuk reot sebatang kara. (BP/dok)

Oleh Adi Nugroho

SDG’s (Sustainable Development Goal’s) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) adalah program yang oleh UN (United Nasion) atau PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) dicanangkan untuk dilaksanakan di seluruh negara anggotanya, termasuk Indonesia. Dalam SDG’s tersebut, ada 17 tujuan dan 169 target yang harus dikerjakan oleh seluruh pemerintah negara anggota PBB, termasuk pemerintah daerah di wilayah masing-masing negara tersebut.

Sebagai kelanjutan dari MDG’s (Milenium Development Goal’s) yang berakhir pada 2015 lalu, warga dunia menyadari, kemudian mengajak berbuat secara bersama-sama untuk mewujudkan sesuatu yang selama ini tidak kunjung gamblang terdefinisikan sebagai tujuan hidup umat manusia.

Ada berbagai indikator untuk mengukur progress pembangunan tersebut. Mulai dari ukuran ekonomi (GDP/PDB), Indeks Pembangunan Manusia (IPM), ukuran pemerataan/ketimpangan, inflasi, neraca transaksi, devisa, pengangguran, kemiskinan, indeks kebahagiaan dan seterusnya. Program pembangunan kemudian dikerjakan di seluruh pemerintahan/negara dengan disertai upaya mendapatkan nilai indikator pada tingkatan yang disyaratkan.

Tidak sedikit pemerintah yang mampu mewujudkan capaian nilai indikator pembangunan tersebut pada tingkatan yang memuaskan secara koheren dan, menjadikan negaranya sebagai negara yang mencapai kemakmuran secara definisi. Tetapi tidak sedikit pula pemerintahan negara yang hingga kini belum berhasil mencapainya, termasuk Indonesia di dalamnya.

Bagus pada capaian indikator pertumbuhan ekonominya tetapi belum pada ukuran neraca transaksinya. Tidak atau belum koheren capaiannya.

Demikian dan seterusnya yang dilakukan dan dicapai oleh setiap negara. Betapa pun kemudian disadari bahwa di negara yang telah mencapai tingkat kemakmuran, pun tidak jarang dijumpai keberadaan orang miskin. Orang yang (katakanlah) tertinggal dari segala upaya pembangunan menuju kemakmuran, dari yang homeless sampai yang hopeless.

Baca juga:  Mei 2023, Bawang Merah Sumbang Inflasi Tertinggi

Lalu, sudah benarkah kita manusia menempatkan kemakmuran sebagai tujuan hidup bersama? Atau, sudah benarkah paket indikator pembangun yang kita gunakan sejauh ini? Tidak mudah menjawab kedua pertanyaan ini. Tidak pula untuk diperdebatkan.

Yang pasti, situasi itu kemudian meggugah kesadaran baru warga dunia bahwa; apa pun yang akan diusahakan seyogianya tidak membiarkan ada seorang pun tertinggal, “No One Left Behind”. Dan, itulah inti dari gerakan SDG’s atau TPB yang kalau dikerjakan dengan benar, diperhitungkan akan tercapai pada tahun 2030. Yaitu ketika semua orang, sekali lagi semua atau seluruh individu manusia di seluruh pelosok dunia, berkecukupan.

Mulai dari tidak ada seorang pun yang menderita kelaparan, terbebas dari kemiskinan, dilanjutkan dengan tercukupi kebutuhan asupan gizinya. Berlanjut lagi pada terjaganya derajat kesehatannya, lalu terperhatikan tingkat pendidikannya dan seterusnya hingga 169 target seperti disebutkan di atas.

Lalu apakah dengan itu kemudian tujuan pembangunan perlu diubah atau disesuaikan? Agaknya juga tidak. Karena upaya yang sudah ditempuh sudah terlalu jauh dan terlalu mahal untuk ditanggalkan. Sementara di sisi lain, sudah cukup banyak negara yang berhasil mencapai kemakmurannya menggunakan panduan paket indikator tersebut.

Karenanya, PBB kemudian merekomendasikan kepada seluruh negara anggotanya untuk terus mengerjakan program pembangunan “konvensional” dengan memberi tekanan lebih pada upaya mewujudkan tercapainya no one left behind. Setingkat apa pun derajat kemakmuran yang dicapai masing-masing negara melalui program pembangunannya, dituntut untuk membawa serta seluruh warga bangsanya keluar dari berbagai penderitaan yang tidak perlu, yang secara ringkas sering dicirikan sebagai bentuk kemiskinan.

Baca juga:  Zonasi dalam Rasio Murid Guru

Beruntung Indonesia yang tinggal menyisakan 9,66 persen atau 25-an juta jiwa dan Bali yang menyisakan 3,91 persen atau 168-an ribu jiwa penduduk yang dikategorikan miskin (September 2018). Sekalipun secara definisi mereka yang dihitung sebagai penduduk miskin tersebut tidak serta merta menyiratkan kelaparan ataupun kekurangan gizi, akan tetapi dari konteks upaya mewujudkan no one left behind, merekalah kelompok yang selayaknya ditempatkan sebagai sasaran amatan. Dan sekali lagi, kita beruntung karena jumlah mereka relatif sudah tidak terlalu banyak lagi.

Dikaitkan dengan anjuran PBB dalam SDG’s bahwa untuk mengerjakannya pemerintah dianjurkan untuk tidak bekerja sendiri, mengajak dan memberi ruang kepada berbagi potensi masyarakat (dunia usaha, akademisi, media, dan filantropi), maka kiranya tidak terlalu mustahil untuk diwujudkannya. Tinggal dicari caranya, pembagian tugasnya, sinergitasnya. Tentu saja semuanya harus didasarkan pada kesepakatan dan kerelaan bersama untuk masing-masing menyumbangkan pengorbanannya.

Di sisi lain, angka 9,66 persen secara nasional dan apalagi di Bali yang tinggal 3,91 persen, adalah besaran yang bisa jadi sudah “mentok” untuk ukuran kemiskinan di suatu wilayah. Dalam banyak kesempatan, angka tersebt disebut sebagai hard rock poverty atau “keraknya kemiskinan” yang tidak mudah dijangkau dengan program pembangunan ekonomi konvensional yang umum.

Tidak pula perlu dicari siapa jati diri mereka satu per satu. Sebab, sebagai bagian dari perekonomian makro, mereka akan silih berganti bertukar tempat antara yang sudah terhitung sebagai penduduk miskin dengan mereka yang sedikit lebih baik keadaan ekonominya. Karena perekonomian makro di setiap wilayah bergerak dinamis dan memberikan pengaruh yang dinamis pula kepada seluruh yang terlibat di dalamnya. Mereka yang tingkat perekonomiannya berada di sekitar garis kemiskinan adalah yang paling rentan keluar atau masuk kategori miskin.

Baca juga:  Budaya Kerja Masa Kini

Pemerintah tidak boleh dibiarkan bekerja sendiri seperti selama ini. Kita, masyarakat, dari berbagai arah punya berbagai kelebihan kemampuan untuk turut serta menyumbangkan sesuatu untuk maksud tidak membiarkan siapa pun tertinggal dalam kesengsaraan. Sekali lagi tidak harus dengan mencari jati diri mereka penduduk miskin satu per satu. Tetapi melalui bidang kompetensi kita masing-masing.

Yang pengusaha, kembangkanlah usahanya sedemikian rupa sehingga bisa memberi kesempatan bekerja kepada semakin banyak penduduk, sambil mereka meningkatkan derajat kemakmurannya. Yang akademisi, buatlah penelitan untuk mengurai potensi penyebab kemiskinan dan mengurai pula program yang bisa dicobakan untuk menanggulanginya.

Media seperti sudah banyak dilakukan dengan memberitakan berbagai ragam kemiskinan, latar belakang dan ancamannya serta dengan turut menyebarkan berbagai penelitian akademik. Filantropi dengan kelebihan dan kedermawanannya kiranya juga bisa merancang sebentuk program yang berkesinambungan.

Pemerintah memang tidak seyoginya bekerja sendiri untuk maksud tersebut. Ada banyak pihak di luar pemerintahan yang menyimpan potensi untuk digerakkan. Akan tetapi tetap saja dibutuhkan kehadiran pemerintah untuk bisa memanggil seluruh potensi dan mengorganisasinya menjadi program yang sinergis.

Kembali pada pertanyaan yang diajukan di awal; Sudah pernah mendengar SDG’s? Seyogianya semua sudah. Lagi pula sudah sejak 2015, rencana aksi global ini digelorakan. Sudah empat tahun, jangan menunggu lebih lama lagi. Karena dalam SDG’s ada panggilan kepada rasa tanggung jawab kita atas saudara kita yang tertinggal.

Penulis, Kepala BPS Provinsi Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *