Masalah alat peraga kampanye (APK) yang dianggap mengotori wajah kota sebenarnya bukan hal baru. Tetapi sejatinya harus diakui kali ini memang jauh lebih baik dibandingkan pemilu tahun-tahun sebelumnya.
Sebelum adanya ketentuan atau peraturan soal waktu serta zonasi pemasangan APK, sudah jauh-jauh hari oknum kandidat banyak yang mencuri start kampanye. Mereka ini memasang baliho fotonya dimana-mana. Ibaratnya tidak ada sejengkal tanah pun dari tempat, terutama yang dianggap startegis disisakan. Jadi benar-benar hingar-bingarnya sudah sangat jauh-jauh hari. Jauh sebelum gong kampanye ditabuh, mereka mereka ini dengan kekuatan finansialnya sudah mejeng duluan diman-mana.
Sekarang ini kalau membandingkan, mengapa hal itu masih saja terjadi? Kembali kepada peraturan. Sejatinya panglimanya adalah peraturan, hukum, undang-undang serta UUD. Terkait pemilu sudah ada peraturan yang dibuat KPU, ada Bawaslu, ada Panwaslu yang bekerja sama dengan perangkat pemerintah setempat. Kalau ada yang melanggar, yang diberangus, jangan diberi toleransi. Banyak oknum caleg, partisan parpol yang nakal. mereka mencari-cari kesempatan serta kelengahan atau mungkin “keengganan” aparat untuk menegakkan peraturan. Jadinya yang bisa kita lihat, spanduk, baliho, dan APK lainnya dipasang dimana-mana. melanggar zonasi dan waktu ketentuan pemasangan.
Jadi, secara etika sudah salah. Secara estetika, wajah kota pun menjadi kumuh. Jangan bicara soal masa kampanye dulu. Mari kita lihat contoh yang juga sering terjadi. Ketika sebuah partai politik mengadakan hajatan di Bali, maka sudah jauh-jauh hari umbul-umbul, bendera, baliho dan semacamnya terpasang di tempat startegis dan sepanjang jalan protokol. Nah, ketika hajatan itu sudah selesai, dapat kita lihat bersama alat-alat itu masih terpasang sampai berhari-hari, bahkan berbulan-bulan sehingga hancur oleh angin, hujan serta teriknya sinar matahari. Adakah yang peduli soal ini? Maaf, nyaris tidak ada.
Oke, kita jangan dulu bicara soal kampanye atau kegiatan partai politik. Kita bicara soal kegiatan iklan, reklame dan sebagainya di jalan-jalan. Banyak oknum nakal yang mengotori wajah kota dengan seenaknya. Pasang baliho dimana-mana. Papan iklan dimana-mana, pohon dipaku, tiang listrik ditempeli iklan, lampu traffic light ditempeli agenda jual beli serta pemasaran.
Pemandangan ini sangat jamak. Siapa yang peduli, nyaris juga tidak ada. Karena buktinya hal-hal itu masih terpasang berhari- hari, berminggu-minggu, berbulan- bulan bahkan tahunan sampai hancur sendiri.
Sedihnya kita punya aturan. Punya perangkat untuk menertibkan aturan itu, tetapi kenyataannya, mengapa hal ini masih sering terjadi dan selalu berulang? Mestinya ketika kita saat ini berada di era milenial maka gaya kampanye model kolonial mesti diganti. Gunakan media sosial dengan segala macam efek positifnya.
Sekaligus mengajarkan bagaimana cara bermedsos yang baik dan benar. Ke depan model-model kampanye ini juga mestinya mulai dipikirkan oleh penyelenggara pemilu. Kita sudah di zaman internet, milenial, 4.0 atau apapun istilahnya.
Jangan lagi menggunakan gaya serta cara-cara kuno yang tidak ramah lingkungan dan mencederai hukum. Itu saja.