Warga melintas di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Terpadu Motamasin di Malaka, NTT. (BP/dok)

Oleh Dr. Dewa Gede Sudika Mangku, S.H., LL.M.

Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) yang mempunyai makna dan pengertian bahwa Indonesia terdiri dari gugusan pulau-pulau yang dalam hal ini tertuang di dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982. Di samping itu, Indonesia memiliki perbatasan dengan sepuluh negara tetangga baik di wilayah darat maupun di wilayah laut. Misalnya saja di wilayah darat Indonesia berbatasan dengan tiga negara yaitu: Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste, dan eksistensi Indonesia di kancah dunia internasional telah diakui dan diperhitungkan. Sebab, Indonesia merupakan salah satu pendiri organisasi regional ASEAN yang hingga saat ini masih kokoh berdiri dan eksis.

Melihat kondisi Indonesia saat ini tentu yang menjadi pokok perhatian kita ialah bagaimana kondisi masyarakat Indonesia yang bermukim dan tinggal di wilayah perbatasan, secara khusus di wilayah perbatasan darat baik secara sosial, budaya, dan ekonominya. Jika kita membandingkan dengan kehidupan di wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan di seluruh wilayah nusantara tentu sangat miris jika kita melihat kondisi kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan. Seperti di wilayah perbatasan darat antara Indonesia dan Timor Leste.

Kedua negara pernah membuat perjanjian ekonomi pada tahun 2013 yang bertajuk Arrangement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Democratic Republic of Timor-Leste on Traditional Border Crossings and Regulated Market’s (Arrangement 2003). Kesepakatan bersama ini dibuat untuk meningkatkan interaksi di antara kedua negara melalui pembukaan pasar bersama dengan harapan masyarakat Indonesia yang tinggal di wilayah perbatasan mampu meningkatkan perekonomianya dan transaksi jual beli di wilayah perbatas tersebut berjalan lancar.

Baca juga:  Konservasi Lingkungan Berbasis Sosio Kultural

Dalam pasal 1 ayat (1) Arrangement 2003 disebutkan bahwa wilayah perbatasan Indonesia yang terdiri dari kecamatan-kecamatan di perbatasan Indonesia atau Timor Leste yang merupakan bagian dari wilayah perbatasannya yang telah dibagi dalam Kabupaten Belu : Kecamatan Rehat, Lamaknen, Tasifeto Timur, Tasifeto Barat, Kobalima, Timor Tengah Utara. Kabupaten lnsana terdiri dari Miamafo Timur, Miamafo Barat, lnsana Selatan, Kabupaten Kupang, Amfoang, Alor (Sea Border), Alor Selatan, Pantar, South West Alor. Serta di seluruh wilayah perbatasan termasuk wilayah enclave Oecussi, yaitu: Distrik Bobonaro: Balibo, Maliana, Lolotoi; Distrik Covalima: Suai Kota, Futululic, Fatumean, Tilomar; Distrik Oecussi: Nitibe, Pante Makassar, Oesilo, Passabe. Akan tetapi, kesepakatan ini tidak berjalan baik malah ada beberapa pasar yang sepi dan tidak ada yang memanfaatkan kehadiran pasar tradisional tersebut.

Kemudian Indonesia pernah melalui Kementerian Perdagangaannya memerintahkan pemerintah daerah Nusa Tenggara Timur untuk membangun kembali pasar-pasar tradisional. Hal ini dimaksudkan untuk pengelolaan lalu lintas barang dan jasa dengan pengaturan porsi pelayanan yang tegas antara pedagang pasar perbatasan dengan pedagang antarnegara. Hal tersebut merupakan prioritas dalam peningkatan ekonomi kemasyarakatan di wilayah perbatasan salah satunya adalah melalui jalur perdagangan.

Ketujuh pasar tradisional itu masing-masing Pasar Metamasin, Pasar Batugade/Motaain dan Pasar Metamauk serta Pasar Turiskain di Kabupaten Belu dan Pasar Wini, Pasar Napan, dan Pasar Oelbinose di Kabupaten TTU, yang berbatasan langsung dengan Ambeno Distrik Oecussi, Timor Leste, akan tetapi kembali menemui jalan buntu sebab pasar yang didirikan tersebut sepi dari masyarakat perbatasan.

Baca juga:  Tantangan UMKM di Tahun 2020

Kemudian pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 18 tahun 2007 tentang Standardisasi Sarana, Prasarana, dan Pelayanan Lintas Batas Antar-Negara  dikemukakan bahwa pos lintas batas antarnegara dibagi menjadi dua klasifikasi, yaitu pos lintas batas tradisional dan pos lintas batas internasional. Tujuan dikeluarkanya peraturan ini ialah untuk memberikan kemudahan pada masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan darat antara Indonesia dan Timor Leste.

Sebab, sejarah antara masyarakat Indonesia yang tinggal di wilayah perbatasan dengan Timor Leste masih satu rumpun dan bersaudara. Dengan peraturan ini diharapkan mampu memberikan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi menjadi meningkat dan menaikkan tarap hidup masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan.

Akan tetapi, hal ini kembali menemui jalan buntu, serta kurang efektifnya peraturan tersebut sehingga belum mampu mengangkat derajat masyarakat Indonesia di wilayah perbatasan. Tingkat perekonomian di wilayah perbatasan belum beranjak naik malah sebaliknya. Melihat kondisi ini, konsep berpikir berkenaan dengan wilayah perbatasan telah diubah oleh pemerintah Indonesia dengan menyatakan bahwa pengelolaan wilayah perbatasan khususnya untuk meningkatkan perekonomian harus digunakan paradigma baru yang menjadikan wilayah perbatasan tidak lagi menjadi pagar belakang tetapi merupakan beranda depan atau halaman depan suatu negara. Dengan mengubah paradigma ini tentu membawa sedikit perubahan dengan memandang wilayah perbatasan Indonesia sebagai wajah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selama ini, kita telah menomorduakan masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan dengan hanya fokus membangun dan mengembangkan di wilayah pusat kota dan meninggalkan wajah kita yang sebenarnya. Untuk hal ini, pemerintah Indonesia wajib hukumnya belajar dan mencontoh negeri jiran Malaysia yang fokus membangun wilayah perbatasan dengan membangun tempat-tempat wisata yang mampu menarik daya tarik wisatawan asing untuk berkunjung dan berlibur ke wilayah tersebut. Dari sana mampu mendatangkan dan menghasilkan pundi-pundi uang untuk kelangsungan hidup masyarakat di wilayah tersebut.

Baca juga:  Peran Sentral Guru pada Era Digital

Pemerintah Indonesia dengan segala cara terus membangun wilayah perbatasan khususnya wilayah darat dengan membangun Pos Lintas Batas Negara. Tujuan dibentuknya Pos Lintas Batas Negara ini ialah untuk menghindari penyelundupan-penyelundupan baik orang maupun barang masuk ke wilayah yurisdiksi kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan begitu akan mampu memberikan pelayanan dan penghidupan bagi masyarakat di wilayah perbatasan. Serta mampu menggerakkan daya dukung kawasan perbatasan guna mewujudkan tertib hukum, efektivitas kontrol, dan penanganan secara terpadu atas kebutuhan dan permasalahan pelintas batas orang dan barang.

Dengan kehadiran Pos Lintas Batas Negara yang telah dibangun oleh pemerintah merupakan peluang bagi masyarakat di wilayah perbatasan untuk memanfaatkan semaksimal mungkin peluang yang telah ada di depan mata, tujuanya ialah untuk membantu peningkatan perekonomian masyarakat setempat. Terdapat Tujuh Pos Lintas Batas Negara terpadu yang dimaksud tersebut berada di daerah Aruk (Kabupaten Sambas), Entikong (Kabupaten Sanggau), Nanga Badau (Kabupaten Kapuas Hulu). Kemudian pos lintas batas negara Motaain (Kabupaten Belu), Motamasin (Kabupaten Malaka), Wini (Kabupaten TTU) dan Skouw (Kota Jayapura).

Dengan dibangunnya Pos Lintas Batas Negara ini, kita berharap pemerintah tidak hanya berhenti di tujuh Pos Lintas Batas Negara, akan tetapi terus membangun infrastruktur khususnya di wilayah perbatasan.

Penulis Dosen Ilmu Hukum, Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial, Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *