Bali memiliki adat istiadat yang sangat kuat. Ini semua dibentengi oleh desa pakraman.Tradisi, seni, dan budaya yang menjadi aset masyarakat Bali, juga menjadi aset bangsa Indonesia yang harus kita pelihara dengan sungguh-sungguh. Namun, selama ini upaya untuk melestarikan adat istiadat, tradisi, seni dan budaya sepenuhnya dijalankan desa adat di Bali dengan cara swadaya.
Pernyataan Gubernur Bali Wayan Koster dalam acara tatap muka dan ramah tamah Presiden dengan tokoh masyarakat Bali itu patut menjadi renungan bersama. Koster pun meminta Presiden Joko Widodo mempertimbangkan alokasi anggaran dalam APBN bagi desa adat di Pulau Dewata. Sebab menurutnya, tantangan desa adat ke depan semakin dinamis dalam era global. Diperlukan kontribusi negara untuk turut memelihara lingkungan alam, tradisi, seni, dan budaya Bali.
Lebih dari itu, krama Bali selama ini dikenal serbakalem dikatakan demikian sejak 73 tahun Indonesia merdeka belum pernah wakil Bali di Senayan dan gubernurnya menuntut hak dana khusus untuk pelestarian budaya. Padahal krama Bali luar biasa mahalnya mengeluarkan dana untuk menjalankan budaya, tradisi, dan agamanya. Lagi-lagi kita (baca krama Bali) tak pernah menuntut apa-apa. Semua pejabat pemerintahan yang datang ke Bali hanya memberikan pujian bahwa Bali hebat tradisi dan budayanya. Kita tak menyadari pemilik travel asal Bali dan menjual Bali dari luar negeri.
Kini saatnya, Bali mendapatkan haknya berupa dana APBN untuk mengawal dan menjaga adat dan budayanya. Banyak pihak menilai hal ini wajar diminta Bali karena tradisi, adat, seni dan budaya yang dimiliki Bali, berkontribusi menghasilkan sumbangan devisa yang besar kepada negara melalui sektor pariwisata.
Hanya, perlu kita jabarkan siapa yang mengelola dan akan menerima dana tersebut di tingkat bawah. Jangan sampai dana ini lagi dikorupsi secara berjenjang. Rakyat Bali yang menjadi pelaku adat dan budaya Bali hanya mendapatkan sampahnya dan beban menjalani budaya dan agama serta adat Bali.
Boleh juga Koster berkeinginan membangun pusat kebudayaan Bali. Di dalamnya terdapat panggung terbuka, museum tematik, gedung seni multifungsi, dan sarana lainnya secara terintegrasi. Fasilitas itu untuk mewadahi seni budaya yang ada di Bali. Dukungan dari pemerintah pusat juga diharapkan untuk mewujudkan pusat kebudayaan itu. Rencana ini cukup strategis namun seharusnya kita jangan melulu fokus membangun secara fisik, yang lebih penting adalah membangun SDM Bali, perlu lebih banyak melahirkan seniman cilik dan seniman muda. Jangan sampai terjadi taman budaya bertebaran, yang mengisi tidak ada.
Kedua, kita di Bali jangan sampai lagi keliru menerapkan adat dan kearifan lokal yakni amis ke cenik. Artinya, di antara krama kita saling menyudutkan. Tak boleh lagi ada krama kasepekang hanya gara-gara tak ikut sangkep dan kerja bakti atau pasukadukan karena alasan yang sebenarnya bisa diterima akal.
Jika terlalu keras menjalankan sanksi adat, krama Bali semakin banyak yang pindah kepercayaan. Saatnya, krama Bali saling mendukung dan memberdayakan warga sendiri. Jangan sampai kita dikagumi orang, tapi warga kita tertekan. Kearifan lokal harus lebih banyak memberikan solusi dan problem solving, baru pas disebut desa pakraman yang arif.
Mutlak berjalan arif dan bijaksana sehingga makin bergairah krama Bali menjalankan tradisi, adat, dan budayanya. Baru pas dengan pernyataan dan pujian Presiden Joko Widodo bahwa Bali dikenal, dikagumi seluruh dunia karena budayanya, budaya yang hidup dan berkembang di desa-desa pakraman (desa adat) Bali akan tetap menjadi contoh bagaimana harmoni perbedaan di Bali namun tetap menjaga akar-akar tradisi budaya.