Warga meletakkan bunga di depan Masjid Wellington, Kilbirnie, Wellington, Selandia Baru, Sabtu (16/3). Warga Wellington meletakkan bunga sebagai aksi solidaritas pascapenembakan di dua masjid kota Christchurch pada Jumat (15/3). (BP/ant)

Oleh Nyoman Sumantara

Teroris yang melakukan penembakan di Selandia Baru, mengejutkan dunia. Pertama, karena negara ini merupakan negara dengan kehidupan sosial paling rukun antarberbagai golongan. Mereka juga adalah warga yang menduduki posisi paling berbahagia dan kaya di dunia. Kedua, teroris itu tidak meledakkan diri tetapi merekam tindakannya dan kemudian mengunggah ke media sosial.

Seluruh dunia terkena persebaran video tersebut dan kemungkinan besar dilihat oleh kaum perempuan dan anak-anak. Ketiga, serangan ini menyasar maesjid. Secara jujur harus disebutkan bahwa sebelumnya yang sering menjadi sasaran teroris adalah tempat ibadah kaum Kristen.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa terbantahkan sudah bahwa teroris tersebut berasal dari keluarga yang mempunyai kemampuan ekonomi rendah. Teroris di Selandia Baru itu dapat diindikasikan berasal dari mereka dengan kemampuan ekonomi tinggi.

Sekali lagi, Selandia Baru merupakan negara maju dengan penghasilan ekonomi tinggi. Kalaupun dikatakan bahwa teroris yang beraksi itu warga Australia, juga merupakan negara yang mempunyai GNP tinggi. Gambaran di atas juga memperlihatkan bahwa teroris tidak hanya memperlihatkan sikap dan karakter satu kelompok saja tetapi berbagai kelompok  mempunyai karakter-karakter kekerasan dan berani melakukan tindakan seperti itu.

Jika dalam kejadian beberapa tahun yang lalu, di India, teroris tersebut dengan tenang melakukan tindakannya di sebuah pasar swalayan, maka di Selandia Baru, teroris ini dengan tenang memvideokan tindakannya, kemudian mengungahnya di media sosial. Dengan demikian, ada pergeseran pola dan ciri teroris jika dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi di Selandia Baru itu.

Baca juga:  Kualitas Pembelajaran

Ada kecenderungan bahwa teroris itu menembus batas-batas kelas sosial, tidak peduli apakah mereka golongan tertentu, miskin ataupun kaya, tetapi manakala mereka telah terpapar nilai atau kepercayaan tertentu, mereka akan bersedia bergerak dengan pengorbanan maksimal.

Dengan sikap bersedia menjadi korban maksimal itulah, mereka mampu menikmati tindakan brutal itu secara ringan dan santai. Maka memvideokan tindakan brutal tersebut seolah merupakan wisata bagi mereka dan teror tersebut telah dipandang biasa. Inilah sikap yqng harus diwaspadai pada masa mendatang oleh pemerintah dan masyarakat.

Terkesan pula, teroris menjadi pembiasaan dalam menyelesaikan persoalan atau pencapaian tujuan.  Pembiasaan adalah terjemahan tingkat berikut dari terjemahan awal yang keliru. Terjemahan awal itu adalah penafsiran dari nilai atau mungkin ayat yang terlalu subjektif. Padahal, nilai-nilain itu  haruslah disesuaikan dengan konteks sosial.

Di tengah semakin dekatnya dunia global melalui jaringan internet sekarang, justru konteks sosial dari nilai itu, harus ditafsirkan dan diterjemhkan secara lebih luas. Dengan cara itulah maka akan dapat didapatkan rasa solidaritas terhadap berbagai nilai dan kepercayaan di dunia.

Pembiasaan atas teror bukanlah sebuah pilihan. Bukan juga merupakan sosialisasi dan pengenalan ketidaksetujuan terhadap nilai-nilai tertentu. Teror, di mana pun merupakan kejahatan dan tidak ada nilai atau agama mana pun di seluruh dunia yang mengajarkan kekerasan. Karena itulah maka, pembiasaan seperti ini tidak dibenarkan.

Baca juga:  Media dan Budaya Berpikir Kritis

Perekaman video terhadap tindakan kekerasan itu merupakan upaya untuk memperluas jangkauan tindakan kepada seluruh masyarakat di dunia. Pada titik ini, upaya penyebaran itu dapat dikatakan sebagai upaya pembiasaan terhadap cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Jangan dilupakan, sekali tayangan video tersebut akan mampu diulang berkali-kali, dan karena itu akan dapat dipandang sebagai sebuah pembiasaan.

Dengan demikian, hal pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mncegah munculnya pembiasaan terhadap kekerasan. Cara paling awal untuk itu adalah menangkap pelakunya, kemudian menjatuhkan hukuman berat kepada pelakunya tersebut.

Tidak dapat ditinggalkan adalah tantangan kepada teknologi media sosial agar dapat memilih-milih tayangan yang dapat ditayangakan ke seluruh dunia. Meskipun sekarang masih merupakan tantangan dan belum terpecahkan, tetapi kesadaran dampak negatif dari media sosial ini sudah dirasakan di seluruh dunia, baik oleh negara maju.

Hal lain yang dapat dilihat dari peristiwa teror di Selandia Baru, adalah solidaritas dari warga yang berbeda agama sangat kelihatan. Ketika warga Muslim melakukan sembahyang, pada sisi bagian belakangnya diberikan tameng manusia yang berasal dari agama berbeda (paling tidak dalam gambar kelihatan seperti itu).

Di sini, solidaritas merupakan sebuah metode sekaligus simbol dari negara yang menjadi korban. Solidaritas menjadi cara untuk memberikan pesan kepada pelaku kekerasan dan memesankan bahwa negara ini mendukung nilai-nilai pluralis dan tidak memberikan ruang kepada kekerasan.

Tameng manusia di belakangnya itu memberikan arti bahwa mereka bersiap berkorban maksimal terhadap hal itu. Itulah cara warga Selandia Baru untuk menyimbolkan kemultiragaman warganya yang sebelumnya telah berhasil menciptakan kesejahteraan. Ini merupakan cara yang tepat bagi mereka untuk memberikan pesan kepada dunia bahwa kekerasan itu merupakan sesuatu yang salah, yang tidak dapat diterima oleh warga mereka.

Baca juga:  Peristiwa Baku Tembak, Pengembangan Penangkapan Terduga Teroris

Bagaimana dengan kita di Indonesia? Pemerintah telah menyuarakan berbagai cara untuk memperlihatkan rasa prihatin Indonesia terhadap peristiwa yang terjadi di Selandia Baru.

Pesan yang penting disampaikan oleh pemerintah adalah tidak ingin ada balasan terhadap peristiwa itu di Indonesia. Ini perlu disampaikan karena Indonesia telah mengalami peristiwa yang sama lebih dari tiga kali dan menimbulkan banyak korban.

Kendati demikian, kewaspadaan tetap harus dilakukan, terutama di daerah-daerah yang mempunyai destinasi pariwisata. Bali merupakan daerah destinasi pariwisata utama di Indonesia.  Meskipun saat ini turus Tiongkok yang paling banyak datang di Bali, tetapi turis dari Australia (juga Selandia Baru), menempati peringkat tinggi dalam kunjungan tersebut. Destinasi ini tetap harus diwaspadai.

Ada dua potensi yang bisa terjadi, yaitu rembesan peristiwa dari Selandia Baru itu. Teroris tidak pernah mengenal rasa takut. Pada pihak lain dapat saja berupa pembalasan terhadap persitiwa di Selandia Baru. Maka, haruslah para elite politik dan keamanan Bali dapat dengan jeli melihat perkembangan keamanan yang ada di Bali sekarang. Kita ingin kekerasan seperti ini tidak terjadi di Indonesia.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *