Gubernur Bali Wayan Koster melihat produk lokal saat menghadiri pameran di Buleleng. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Mengangkat buah lokal untuk menjadi tuan rumah dan diperkenalkan ke wisatawan yang berkunjung ke Bali harus dibarengi dengan pemahaman sama dari stakeholders. Sebab, selama ini masalah kualitas dan kontinuitas kerap dipersoalkan pada pemanfaatan buah lokal.

Dari segi kualitas khususnya, buah lokal juga selalu disandingkan dengan buah impor. Padahal, membandingkan buah lokal dengan buah impor justru akan membuat buah lokal selalu kalah bersaing. “Jangan terlalu saklek dengan kualitas, membandingkan kualitas kita dengan impor, karena beda. Orang beda daerahnya, negaranya, masak dibandingkan. Cara bercocok tanamnya beda, cuacanya juga beda,” ujar Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali, I Nyoman Adnyana dikonfirmasi, Kamis (28/3).

Menurut Adnyana, buah lokal terbaik harusnya diukur sesuai ukuran kualitas lokal. Hal ini mesti disadari oleh semua pihak, terutama pengelola hotel dan restoran yang kini diwajibkan menyerap produk pertanian lokal. Termasuk produk perikanan dan industri lokal Bali.

Baca juga:  Restoran Milik WNA di Sanur Terbakar

Ini sesuai dengan amanat Pergub No.99 Tahun 2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan, dan Industri Lokal Bali. “Kalau disandingkan dengan kualitas impor, kalah terus kita. Tidak bisa terwujud Pergub itu,” jelas Anggota Komisi I DPRD Bali ini.

Padahal di daerah lain, lanjut Adnyana, hotel-hotel justru sudah mulai menyajikan buah lokal kepada tamu-tamunya. Seperti ketika politisi asal Bangli ini melakukan kunjungan kerja ke Jakarta. Hotel tempatnya menginap menyajikan jeruk Kintamani. Sementara di Bali, hotel-hotel justru belum melakukan hal itu. “Sebetulnya sederhana. Kalau mau yang seperti kualitas lokal itu, sudah bisa dimana-mana. Tapi kalau dengan alasan dan dalih macam-macam, ya mungkin itu yang menyulitkan. Kita ke Jakarta dikasih itu di hotel buah jeruk Kintamani. Malah di Denpasar, di Nusa Dua itu tidak pakai buah jeruk Kintamani,” paparnya.

Baca juga:  Tren Konsumsi Masyarakat Berubah, Ritel Alami Kelesuan

Adnyana menambahkan, sajian buah di hotel bisa dibedakan sesuai musim. Saat musim salak, bisa memakai salak-salak terbaik dari Bali. Kalau musim manggis, bisa disajikan manggis yang bagus-bagus.

Jadi, tidak harus jeruk atau manggis sepanjang tahun. Sebab, mengatur untuk berbuah memerlukan teknologi dan memiliki konsekuensinya tersendiri. “Kalau alam kan sudah ada ukurannya. Ada konsekuensi yang tidak disadari, kalau diforsir cepat habis, gennya juga cepat mengecil,” tandasnya.

Saat menghadiri dan membuka World Mangosteen Festival (WMF) pertama di Desa Galungan, Sawan, Buleleng beberapa waktu lalu, Gubernur Bali Wayan Koster mengaku sedang mendesain festival untuk memasarkan produk pertanian Bali. “Desainnya nanti akan ada festival dan expo tematik. Ada kuliner, ada buah-buahan,” ujarnya.

Baca juga:  Kesembuhan Pasien COVID-19 Bali Sudah 95 Persen, Hanya Segini Masih Dirawat

Menurut Koster, festival tersebut nantinya akan dilaksanakan sesuai dengan musim untuk menyerap buah-buahan yang sedang panen. “Nanti misalnya di musim salak, di musim jeruk, di musim manggis, di musim apa saja kita akan buatkan festivalnya keliling-keliling di Bali,” katanya.

Koster menambahkan, festival akan dibuat bertaraf internasional dengan mengundang asosiasi eksportir dan para pembeli dari luar negeri. Bukan itu saja, Ketua DPD PDIP Bali ini pun merancang lomba makan buah-buahan yang mengundang para wisatawan. Disamping ada pula yang dijual untuk dibawa pulang.

Menurut Koster, festival semacam ini bisa diselenggarakan tanpa memakai APBD. Namun dengan menggunakan dana CSR perusahaan atau menggandeng pihak ketiga. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *