Ketua yayasan Perguruan Rakyat Saraswati Pusat Denpasar, Ida Bagus Ketut Loji menyerahkan piala kepada sejumlah perwakilan pelajar. (BP/wan)

Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.

Berbagai jenis kompetisi yang menyasar sekolah memiliki fungsi tersendiri, yakni sebagai salah satu alat ukur pencapaian prestasi. Karena itulah kompetisi marak melibatkan sekolah, baik kategori siswa maupun guru. Para juara yang membawa nama harum sekolah mendapat pengakuan dan penghormatan.

Namun secara sosiologis para juara yang lahir dari siswa-siswa dan guru-guru petarung ternyata tidak ‘’mewabah’’. Petarung dan juara seolah pilihan dan campur tangan tersembunyi, membawa kesan ekslusif.

Petarung-petarung itu-itu lagi. Juara pun demikian. Artinya, tidak ada guru atau siswa lain yang tergerak atau terpacu menjadi petarung baru untuk merebut posisi-posisi juara baru. Siswa dan guru yang bukan petarung seakan memberi kesempatan penuh pada siswa dan guru petarung tersebut yang sesungguhnya adalah apatisme. Maka setiap kompetisi tidak pernah melahirkan petarung dan juara baru.

Di samping adanya pandangan eksklusif tersebut, secara sosial masyarakat sekolah memberi pengakuan atau apresiasi yang tinggi terhadap prestasi para petarung. Mereka menjadi kiblat atau tiang-tiang pancang yang kokoh dalam hal prestasi sekolah. Tumpukan piala dan sertifikat di lobi sekolah dan dinding kantor adalah milik para petarung dan juara berbagai kompetisi.

Mengingat fungsi kompetisi bagi sekolah sebagai salah satu alat ukur atau indikator kinerja atau pencapaian prestasi, yang secara luas adalah unjuk mutu sekolah, siswa, dan guru, maka akan sampai pada suatu kondisi bahwa ada bias dalam memaknai prestasi lewat kompetisi.

Hal itu terjadi karena para juara adalah segelintir siswa dan guru petarung tangguh, dan orangnya itu-itu lagi, sama sekali tidak merepresentasikan seluruh siswa dan guru. Kualitas sekolah atau prestasi harus diukur secara menyeluruh pada prestasi setiap individu siswa dan guru. Dengan demikian, tidak terjadi hiperbola dalam mengelola sekolah yang lebih mengejar prestise yang dipetik dari berbagai kompetisi menggunakan daya dan dana untuk pembiayaan dan melupakan kondisi nyata yang harus ditangani di sekolah, pada siswa dan guru yang juga seharusnya dengan semangat dan dorongan paling kuat sebagaimana sekolah bersiap mati-matian mengikuti kompetisi.

Baca juga:  Kenapa Nyinyir pada Caleg Artis?

Olimpiade Guru Nasional (OGN) sebuah kompetisi yang berbasis pada segi kompetensi keilmuan guru, misalnya diselenggarakan pemerintah secara rutin, sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas guru. Guru-guru yang lolos melewati berbagai seleksi diharapkan akan membina guru-guru lainnya dalam bentuk berbagi pengalaman berkompetisi, menyiapkan mental jawara, namun kenyataannya guru-guru OGN sibuk dengan dirinya sendiri. Guru-guru ini melihat kompetisi OGN sebagai tujuan dan sampai kepada sebuah kejuaraan adalah pencapaian yang paling nyata.

Sejatinya tidak demikian, OGN yang dilakukan secara terbuka, mengundang seluruh guru untuk ikut berkompetisi membuktikan diri yang hebat sehingga layak dibanggakan oleh siswa, dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas keilmuan para guru melalui belajar lagi dalam persiapan dan memperbarui kompetensi, sebagaimana hampir setiap mata pelajaran tersedia kompetisi OGN. Keikutsertaan seorang guru dalam OGN adalah identik dengan guru-guru berkualitas terbaik di suatu satuan pendidikan. Jumlah mereka sangat sedikit, yang bisa diartikan bahwa prestasi rata-rata guru sangat belum memadai.

Guru menyikapi profesinya secara status quo atau itu-itu saja. Menjadi guru status quo adalah perjalanan puluhan tahun dengan rute datar yang monoton, mekanik, dan cenderung ‘’robotis’’. Dalam kondisi ini, tantangan baru seperti inovasi, apalagi kompetisi adalah perubahan besar yang tidak bisa diterima karena mengganggu kenyaman atau ketenangan mental. Namun hal ini secara sosiologis berdampak buruk bagi siswa, terjadinya stagnasi PBM.

Baca juga:  Rarung, Petugas Loyal

Maka guru-guru OGN adalah segelintir guru hebat yang ada di luar status quo yang ada di luar masyarakat fosil, yang terbuka dengan tantangan apa pun itu, selalu berani mencoba, menerima inovasi, dan menjadi petarung dalam kompetisi yang ditawarkan.

Namun begitu juga adanya harapan tinggi pemerintah yang dibebankan pada pundak guru-guru OGN untuk membantu peningkatan kualitas rekan-rekan guru di satuan kerjanya tidak tercapai. Guru-guru hebat yang sedikit adanya di suatu sekolah, sebaliknya adalah kelompok kecil atau bahkan seorang pribadi yang termarginalkan. Guru-guru lainnya menjauhi dan menarik garis pembeda yang jelas yang menjadi garis demarkasi antara dirinya dan guru yang hebat itu.

Guru-guru dengan kemampuan rata-rata atau ada di bawahnya, justru tidak mau ‘’dekat’’ dan bergaul secara akrab dengan guru-guru berjiwa petarung, guru-guru juara itu karena terhantui oleh asumsi-asumsi sosial dan keilmuan, bahwa mereka akan terseret dalam beban profesi, beban inovasi. Maka jalan aman bagi guru status quo adalah tidak bergaul dengan guru-guru petarung/juara tersebut.

Bagi guru juara/petarung, sikap ini adalah penolakan dirinya sehingga sangat sulit baginya untuk melakukan imbas pengalaman dan membantu guru-guru status quo dalam membangun motivasi dan memiliki mental petarung. Maka semakin jelaslah persoalannya, mana guru yang hebat dan selebihnya adalah guru di bawah rata-rata, yang mendapat tanggung jawab besar konstitusi dasar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Ironisme besar bahwa mana mungkin guru yang tidak cerdas akan sanggup mencerdaskan anak-anak bangsa.

Baca juga:  Pendidikan Merdeka Belajar

Terhadap persoalan ini, utamanya yang ada kaitannya dengan tanggung jawab sosial guru petarung atau guru juara, maka jalan yang dipilih oleh guru-guru ini adalah idealisme yang ditempuhnya sendiri, yang mana menjadi jalan sunyi dan terasing di sebuah sekolah.  Mereka melihat kenyataan di kelas-kelas yang anti idealisme dan menjadi bagian hidup sehari-hari, yang pasti sangat menyiksa namun karena legalitas dan kewenangan ditambah lagi dengan sikap sosial yang mengeksklusifkan itu, guru-guru petarung atau guru-guru juara membangun prinsip sendiri di atas idealisme dan moralitas profesi. Di dalam masyarakat guru status quo, tiada maslahat guru-guru hebat karena mereka tergusur secara sosial.

Bagaimana menyikap persoalan ini? Perubahan cara pandang dan sikap insan sekolah harus diubah. Semua guru harus siap menerima kehebatan guru lainnya dan mau belajar dari rekan sejawat untuk meningkatkan prestasi sosial sekolah secara menyeluruh. Jadi, ukuran dan makna prestasi sebuah satuan pendidikan tidak lagi pajangan piala-piala emas dalam puluhan rak yang membuat ruang tamu atau lobi kian sumpek, piagam atau sertifikat yang menempeli semua dinding ruang kepala sekolah, tetapi prestasi massal, prestasi bersama, walaupun hal ini tidak berwujud piala, medali, dan sertifikat.

Penulis, Dosen Undiksha Singaraja

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *