Aset
Wisatawan berjemur di pantai. (BP/dok)

Sebagai industri, pariwisata telah memberikan kontribusi kesejahteraan ekonomi bagi masyarakatnya. Namun, pariwisata juga menyumbang pergeseran perilaku masyarakat yang cenderung konsumtif. Bahkan, pariwisata ditengarai berkontribusi bagi munculnya pergeseran budaya di kalangan kaum milenial.

Budaya kerap diangkat ke permukaan untuk menunjukkan identitas dan karakter masyarakat dalam membangun dan mengembangkan pariwisatanya. Di Bali muncul ungkapan, pariwisata Bali adalah pariwisata budaya, pariwisata yang tetap berakar dari warisan nilai budaya masyarakat tradisional Bali.

Pariwisata budaya menjadi jargon untuk menunjukkan masih ada komitmen kuat merawat nilai tradisional itu. Namun ada yang menilai jargon tersebut sekadar pemanis bibir. Sebab, tidak bisa dimungkiri kekuatan Bali dalam bidang budaya dan pertanian makin tergerus. Sementara investor yang merusak lingkungan Bali sering disambut bak pahlawan.

Baca juga:  Survei Sebut Bali Masih Destinasi Favorit, Era Baru Harus Dipersiapkan

Investasi yang tidak tahu tata krama justru menonjol dalam realitas potret pariwisata Bali belakangan ini. Praktik alih fungsi lahan pertanian makin merajalela demi investor. Alih fungsi lahan pertanian produktif terjadi tanpa dibarengi upaya konservasi alam Bali. Alih fungsi lahan itu pun tanpa diikuti adanya jaminan keberlangsungan entitas budaya pertanian Bali.

Ketika alih fungsi lahan pertanian berlangsung marak, budaya bercocok tanam di lingkungan masyarakat makin tergerus. Konsekuensinya, nilai solidaritas atau kesetiakawanan sosial makin menurun. Sebaliknya, budaya baru kesetiakawanan sosial mulai diukur melalui pendekatan status sosial. Celakanya, status sosial yang dibangun untuk merawat solidaritas itu cenderung bermotif ekonomi. Penghargaan terhadap seseorang mulai menggunakan ukuran budaya baru yang bernama uang atau pangkat.

Baca juga:  Lahan Tidur dan Ketahanan Pangan

Akibatnya, pariwisata melahirkan ‘’penghormatan baru’’ yang cenderung lebih mengagung-agungkan gaya hidup modern. Orang yang memiliki kekayaan dipandang sebagai segmen yang lebih dihormati dibandingkan kelompok miskin. Orang miskin cenderung diabaikan, karena dianggap tidak dapat mengikuti laju perkembangan kehidupan budaya modern.

Pariwisata akhirnya cenderung dipandang menjadi momok bagi upaya pelestarian budaya adiluhung yang diwariskan leluhur orang Bali. Kesetiakawanan sosial tidak lagi menjadi perekat kehidupan untuk tolong-menolong dalam kesusahan bersama.

Dampak lanjutannya terasa dalam dinamika perjalanan generasi baru. Anak muda Bali masa kini mulai merasa belum modern jika tidak bekerja di industri pariwisata. Pekerjaan seorang karyawan hotel seolah jauh lebih terhormat dibandingkan pekerjaan petani. Profesi manajer restoran mulai dianggap jauh lebih bermartabat daripada pekerjaan seorang peternak.

Baca juga:  Soal Pembukaan Pariwisata Bali, Wagub Sebut Masih Lakukan Ini

Generasi masa kini sedang berada di persimpangan jalan budaya, berdiri di fondasi nilai budaya Bali atau budaya modern. Di satu sisi, mereka dituntut tetap berperilaku sesuai budaya warisan leluhurnya. Di sisi lain, mereka berhadapan dengan daya tarik budaya baru pariwisata yang mengancam jati dirinya sebagai generasi berbudaya Bali.

Bangunan pariwisata Bali seharusnya mulai direvitalisasi agar kembali menimbang kekuatan budaya adiluhung leluhurnya. Pariwisata Bali jangan sampai menimbulkan gegar budaya bagi generasi baru.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *