Suasana kemacetan di wilayah Kuta, Badung. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bali, khususnya Denpasar memiliki kualitas udara yang buruk setelah dipantau oleh aplikasi AirVisual pada pertengahan Juli 2018. Nilai kualitas udara Bali saat itu, dilansir Greenpeace, mencapai 155 dengan menggunakan pengukuran PM 2,5.

Kondisi ini tentunya berbahaya bagi warga kota karena indeks pencemaran udara di atas 100 memiliki efek buruk bagi kesehatan manusia. Rentang pencemaran udara antara 101-199 dikatakan tingkat kualitas udara yang bersifat merugikan pada manusia ataupun kelompok hewan yang sensitif atau bisa menimbulkan kerusakan pada tumbuhan dan nilai estetika.

Menurut Ketua Pusat Studi Pembangunan Berkelanjutan Universitas Udayana (Unud), Dr. Ketut Gede Dharma Putra, M.Sc., saat ini Bali memang menghadapi ancaman pencemaran lingkungan hidup, salah satunya kualitas udara. “Predikat kualitas udara yang buruk sebaiknya dicermati dengan perbaikan sistem manajemen lingkungan yang baik. Saya setuju kalau Kota Denpasar paling buruk di Bali karena paling padat dengan aktivitas transportasi yang ramai. Oleh karena itu pemanfaatan transportasi umum harus menjadi prioritas pemerintah kota Denpasar,” ujarnya.

Meskipun secara global tidak begitu parah, namun di beberapa kawasan padat lalu lintas, seperti Kota Denpasar dan Kabupaten Badung, terutama Badung Selatan, tingkat pencemaran udara semakin bertambah setiap tahun. Tingkat pencemaran lingkungan yang semakin tinggi sangat mengkhawatirkan apabila dikaitkan dengan ketergantungan ekonomi masyarakat Bali pada pariwisata. “Bila di masa yang akan datang polutan yang masuk ke lingkungan sudah jauh melebihi kemampuan daya dukung lingkungan Bali, pulau yang dikenal sebagai destinasi pariwisata terbaik di dunia ini akan ditinggalkan,” sebutnya.

Baca juga:  Begini Penanganan Arus Balik di Kota Denpasar

Ia mengatakan penyumbang terbesar polusi udara di Bali adalah emisi gas buang kendaraan bermotor yang jumlahnya semakin meningkat setiap tahun. Hal ini dikarenakan semakin bertambahnya kendaraan bermotor yang disebabkan sistem transportasi publik tidak berfungsi dengan baik.

Penggunaan batu bara dan diesel pada pembangkit listrik di Bali juga memberikan kontribusi terhadap perubahan kualitas lingkungan di sekitarnya, seperti pencemaran air, udara, kebisingan dan getaran. “Polutan paling besar dari aktivitas transportasi,” tandas Gede Dharma Putra, Rabu (24/4).

Selain itu, polusi udara di Bali juga diakibatkan oleh asap rokok yang tidak hanya berbahaya bagi penggunanya tapi juga bagi orang-orang yang berada di sekitarnya. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Bali dirasa perlu menerapkan pendekatan pengurangan risiko melalui edukasi produk tembakau alternatif yang dalam penggunaannya tidak melalui proses pembakaran, sehingga asap rokok dapat tereleminasi.

Polusi udara di Bali juga disebabkan semakin bertambahnya penduduk pendatang yang bermukim di kawasan perkotaan yang padat serta masih ditemukannya penduduk miskin di Bali. Hal ini akan berkaitan dengan permasalahan lingkungan, seperti perambahan hutan, pelanggaran tata ruang wilayah, permukiman kumuh, maupun masalah sanitasi yang buruk.

Oleh karenanya, berbagai permasalahan lingkungan hidup yang dihadapi Bali memerlukan pengelolaan dan pengendalian dampak lingkungan yang konsisten dan terpadu. Hal ini terkait dengan upaya meningkatkan partisipasi para pihak dan perubahan perilaku masyarakat dalam memandang laju proses pembangunan.

Baca juga:  RS Unud Tunggak Jaspel Nakes Selama 1,5 Tahun

Turunkan Harapan Hidup

Dikutip dari laporan terbaru Air Quality Life Index oleh Energy Policy Institute at the University of Chicago yang dilansir Associated Press, pencemaran udara menurunkan rata-rata angka harapan hidup orang Indonesia hingga 5 tahun.

Laporan yang disusun Energy Policy Institute at the University of Chicago (EPIC) ini berjudul Indonesia’s Worsening Air Quality and its Impact on Life Expectancy (update March 2019). Para peneliti membandingkan kualitas udara daerah-daerah di Indonesia dengan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait polusi partikulat halus (PM 2,5).

Lonjakan terbesar memburuknya kualitas udara di Indonesia terjadi dalam beberapa tahun ini. Bahkan di periode 2013-2016, jumlahnya meningkat dua kali lipat. Akibatnya beban biaya kesehatan pun menjadi meningkat dan merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, seteah India, Cina Bangladesh, dan Pakistan.

“Polusi udara yang tinggi kini mengancam kesehatan masyarakat Indonesia,” kata peneliti Michael Greenstone dan Qing Fan.

Dikatakan pada 1998, polusi udara hanya sedikit berimplikasi terhadap angka harapan hidup masyarakat Indonesia. Bahkan di 2013, polusi udara hanya menyebabkan turunnya rata-rata angka harapan hidup warga sekitar beberapa bulan. Namun, mulai tahun tersebut hingga tahun 2016, konsentrasi polusi partikulat meningkat 171 persen, membuat negara Indonesia menjadi salah satu dari dua puluh negara berpolusi tertinggi di dunia.

Baca juga:  Dari Tambahan Korban Jiwa COVID-19 hingga Ratusan Pejabat Eselon IV di Karangasem Geser ke Fungsional

Dalam laporan itu disebutkan, salah satu rekomendasi adalah memperketat regulasi pembatasan polusi udara pada cerobong asap PLTU berbahan bakar batubara. Pembakaran batubara tersebut mengemisikan karbon hitam (bentuk dari partikulat halus), sulfur dioksida (SO2), dan nitrogen oksida (NO2) yang akan bereaksi dengan material di atmosfer menjadi partikulat halus.

Meskipun pembangkit listrik dari batubara meningkat lebih dari dua kali lipat sejak 2010 untuk memenuhi permintaan energi yang meningkat, peraturan tentang emisi pabrik batubara masih kurang ketat dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia. Sebagai contoh, batas konsentrasi PM, SO2, dan NOx dalam emisi pabrik batubara Indonesia 3 hingga 7,5 kali lebih tinggi (lebih longgar) dibandingkan aturan di China dan 2-4 kali lipat lebih tinggi dibandingkan pembangkit listrik di India yang dibangun pada 2013-2016.

Tahun 2016, sekitar 80 persen penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 250 juta tinggal di wilayah dengan rata-rata tingkat polusi partikulat tahunan melampaui pedoman WHO. Di Jakarta, kawasan yang ditinggali lebih dari 10 juta orang, harapan hidup penduduk dipangkas hingga 2,3 tahun jika tingkat polusi yang tinggi ini terus berlanjut, dibandingkan jika pedoman WHO dapat dipenuhi. (Winatha/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *