DENPASAR, BALIPOST.com – Semua pihak mesti berkolaborasi untuk menjaga kualitas lingkungan hidup di Bali tetap baik. Pemerintah khususnya Pemprov Bali sudah mengeluarkan sejumlah regulasi untuk mengatasi masalah-masalah lingkungan.
Salah satunya, Pergub tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Tinggal sekarang mengimplementasikan regulasi tersebut, karena kerusakan lingkungan berbanding lurus dengan taraf hidup masyarakat.
“Bicara kualitas udara pun sangat menyangkut hal itu. Kalau sampah ada dimana-mana akan terjadi fermentasi, gas metannya naik,” ujar Kelompok Ahli Pemprov Bali, Luh Kartini di Denpasar, Sabtu (27/4).
Menurut Kartini, gas metan tentu dapat menyebabkan pencemaran udara yang mempengaruhi kualitas lingkungan. Sampah yang dibakar pun berbahaya bagi kesehatan karena menghasilkan dioksin.
Di samping dari asap kendaraan bermotor, bahkan hal-hal kecil seperti asap rokok. Oleh karena itu, gubernur kini juga tengah mempersiapkan rancangan perda tentang penggunaan motor dan mobil listrik.
Dari aspek energi, penggunaan batu bara pada pembangkit listrik juga diinstruksikan agar diganti menjadi gas yang lebih ramah lingkungan. “Termasuk juga seperti penanaman pohon di telajakan-telajakan, di pinggir jalan itu kan sekarang sedang dibuat juga pergubnya. Semakin banyak tanaman bisa mereduksi pencemaran udara,” jelas akademisi Universitas Udayana ini.
Terlebih saat ini, lanjut Kartini, keberadaan hutan baru sekitar 23,59 persen dari keseluruhan luas Bali. Artinya, Bali masih belum bisa memenuhi minimal 30 persen.
Untuk memenuhi kekurangan tersebut, sekarang tengah disusun program tematik terkait kebun raya di beberapa titik. “Kita juga sedang menggerakkan bagaimana penutupan lahan. Masalah lingkungan ini akan sangat mendukung permasalahan bagaimana kualitas udara kita, bagaimana kualitas air kita, dan bagaimana kemudian tutupan lahan,” imbuhnya.
Kartini menambahkan, sampah turut berperan menyumbang masalah lingkungan tersebut. Sampah sendiri terdiri dari sampah organik dan sampah anorganik.
Sampah organik mestinya diselesaikan di tingkat desa atau banjar. Yakni dengan mengolahnya sebagai pupuk. Sampah anorganik yang bisa didaur ulang bisa dibawa ke bank sampah, atau dikumpulkan di desa agar industri atau produsen sampah tersebut yang mengambilnya.
“Konsumen dan produsen (industri, red) harus bertanggung jawab terhadap sampah. Kalau industri tidak mampu menyelesaikan, buatlah kemasan yang ramah lingkungan,” tegasnya.
Bicara produk ramah lingkungan, Direktur Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Bali, I Putu Armaya meminta pemerintah agar mendorong industri tembakau mengeluarkan produk yang lebih ramah bagi lingkungan dan memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah daripada rokok seperti produk tembakau alternatif. Mengingat, asap rokok juga turut menyumbang pencemaran udara.
“Saya menyambut baik jika pihak pemerintah, baik pusat maupun daerah melakukan terobosan-terobosan dengan membuat produk tembakau alternatif. Tujuannya untuk melindungi konsumen,” ujarnya.
Selama ini, lanjut Armaya, masyarakat yang menggunakan tembakau atau rokok konvensional melalui pembakaran memiliki risiko kesehatan yang jauh lebih tinggi. “Penyakit yang disebabkan akan lebih tinggi dibandingkan dengan tembakau alternatif. Bisa saja dikurangi dengan produk tembakau alternatif yang memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah, ini perlu dibahas lebih lanjut,” jelasnya.
Selain itu, kandungan yang ada dalam produk tembakau alternatif ini juga harus memberikan kenyamanan dan keamanan untuk konsumen. Jika mengacu pada UU nomor 4 pasal 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen disebutkan konsumen memiliki hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan. “Maka dari itu perlu dihadirkan produk tembakau alternatif ini sebagai pilihan alternatif buat konsumen,” jelasnya. (Rindra Devita/Citta Maya/balipost)