DENPASAR, BALIPOST.com – Konsep pengurangan risiko sedang marak dilakukan oleh seluruh pihak di Bali, sebut saja melalui berbagai kegiatan bersih-bersih seperti pengurangan risiko sampah, ujaran menggunakan transportasi publik sebagai upaya mengurangi polusi udara, termasuk upaya mengurangi risiko asap rokok.
Pemerintah Provinsi Bali mengakui angka prevalensi merokok di Bali masih cukup tinggi, yaitu sekitar 28 persen. Kepala Dinas Kesehatan dr. Ketut Suarjaya, Selasa (23/4) dalam acara “Temu Media Ekspose Pembangunan Bali” mengatakan Pemerintah Daerah Bali maupun Kabupaten/Kota memiliki komitmen tinggi dalam upaya menurunkan jumlah perokok tersebut.
Ia mengatakan salah satu cara untuk menurunkan jumlah perokok adalah melalui upaya pencegahan pada remaja melalui sosialisasi dan promosi kesehatan yang menyasar komunitas-komunitas. Sosialisasi pada anak muda itu dilakukan melalui Posyandu remaja.
Selain itu, solusi lain yang patut dipertimbangkan oleh Pemerintah Bali adalah edukasi zat-zat berbahaya pada rokok dan pengenalan konsep pengurangan risiko melalui produk tembakau alternatif.
Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Indonesia, Dr. drg. Amaliya, MSc. Ph.D, menjelaskan untuk dapat mengatasi permasalahan rokok di Bali, masyarakat perlu terlebih dahulu mendapatkan edukasi dasar mengenai zat berbahaya yang terkandung dalam rokok. Apabila pemahaman dasarnya telah terbangun, masyarakat diharapkan akan termotivasi untuk berpartisipasi lebih aktif dalam gerakan menurunkan jumlah perokok di Bali.
“Perokok perlu mendapatkan akses terhadap fakta ilmiah dari hasil penelitian yang kredibel, sehingga mereka tidak hanya mengetahui bahaya TAR, zat berbahaya yang dihasilkan dari proses pembakaran rokok, namun juga tahu langkah alternatif yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko kesehatan. Misalnya, melalui konsep pengurangan risiko yang ada pada produk tembakau alternatif,” terangnya.
Merujuk pada hasil penelitian YPKP Indonesia, produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik maupun produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar memiliki risiko kesehatan dua kali lebih rendah daripada rokok. Produk tersebut juga dapat menjadi salah satu solusi bagi perokok aktif yang tidak bisa berhenti secara langsung.
Namun, tetap cara yang paling baik untuk tidak terpapar penyakit terkait rokok adalah dengan cara berhenti merokok sepenuhnya.
Jika diamati dari perspektif sosial, Dosen FISIP Universitas Padjadjaran Dr. Satriya Wibawa Suhardjo menyatakan bahwa masih ada mispersepsi tentang produk tembakau alternatif di masyarakat. Padahal, produk tersebut merupakan sebuah inovasi yang didukung oleh berbagai hasil penelitian yang menyatakan bahwa produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah hingga 95 persen daripada rokok.
Pemerintah, menurutnya, sebagai pembuat dan penentu kebijakan memiliki peran penting. Adanya kerangka regulasi yang tepat pada akhirnya akan membantu Pemerintah dalam menurunkan angka perokok aktif dan pada saat yang bersamaan akan menurunkan risiko kesehatan bagi perokok.
Dengan adanya payung hukum yang jelas terkait produk tembakau alternatif, diharapkan kedepannya akan ada banyak lembaga di Indonesia, termasuk di Bali, yang melakukan kajian dan riset yang mendalam tentang produk tembakau alternatif. Sehingga, pada akhirnya, produk tembakau alternatif dapat menjadi solusi untuk mengurangi masalah rokok di Bali.
Semangat positif dari seluruh pihak untuk bisa mendorong solusi pengurangan risiko diharapkan dapat cepat ditanggapi dengan positif oleh Pemerintah Daerah Bali melalui regulasi yang mendukung. Hal ini diharapkan agar bisa menginspirasi lebih banyak pihak untuk berkontribusi terhadap konsep pengurangan risiko untuk menjaga lingkungan di Bali. (Yudi Karnaedi/balipost)