Oleh Putu Rumawan Salain
Dampak dari perubahan iklim akan mengubah bentang alam dengan segala isinya, manusia berupaya beradaptasi. Bagaimana dengan aset heritage “pusaka”?
Upaya bagi objek heritage dilakukan melalui preservasi. Preservasi heritage dalam perubahan iklim menjadi tugas mulia dan penting untuk keberlanjutan identitas serta kebanggaan bangsa. Pedoman dan cara Konservasi wajib dipedomani.
Tiada yang kekal di bumi ini demikian para cerdik cendekia berujar! Lahir –hidup – mati adalah kodrat, namun manusia sebagai makhluk berakal berupaya walaupun sudah meninggal agar tetap terlihat hidup dengan cara mengawetkan jazad “mumi” atau melalui pembuatan patung dari batu, logam sampai dengan lilin. Bahkan tidak jarang di antaranya ada yang disertai dengan benda-benda kesayangan masa hidupnya turut serta menemani jazadnya. Temuan-temuan tersebut oleh para akhli banyak dibukukan dan menjadi penuntun kepada kita untuk mengenal masa lalu.
Begitu pentingnya cerita masa lalu di masa kini dapat dijadikan pengetahuan untuk mengetahui berbagai bentuk kehidupan dan penghidupan masa lalu, sehingga sangat berhubungan dengan dunia penelitian, pendidikan, sampai dengan pariwisata. Masa lalu selalu disertai dengan romantisme yang menggugah keingin tahuan kita. Misalnya, tentang Candi Tebing di Tampaksiring di Bali, Candi Prambanan di Yogyakarta, Angkor Wat di Siem Riep, Piramid Agung Giza (Khufu) di Mesir, Great Wall di China, dan lainnya.
Ke lima contoh tersebut di atas adalah merupakan situs bangunan masa lalu yang lazim disebut dengan heritage. Apa itu heritage?
Heritage memiliki dua pengertian yaitu: Pusaka atau Warisan. Pusaka atau Warisan setidaknya memenuhi kriteria: waktu, menyejarah, edukasi, unik, tradisi, dan rekreasi yang oleh karena keberadaannya perlu dilindungi dan diselamatkan.
Pusaka atau Warisan tidak selalu berupa objek fisik semata, akan tetapi dapat juga berupa ideologi, seni, alam, dan lainnya. Keduanya sama-sama berupa asset. Pusaka tidak dapat dibagi-bagi. Namun Warisan memiliki makna dapat dibagi. Indonesia memilih Pusaka sebagai padanan kata Heritage. Organisasi Heritage Indonesia disebut dengan nama Badan Pelestarian Pustaka Indonesia (BPPI) dan JPPI untuk Jaringan Kota Pusaka Indonesia.
Pusaka Indonesia mengacu pada Piagam Ciloto 2013 yang lalu mencantumkan bahwa Pusaka Indonesia terdiri dari tiga yaitu: Pusaka Alam. Pusaka Budaya ada dua yaitu yang intangible (nirraga) dan tangible (teraga), dan Pusaka Saujana populer dengan sebutan Cultural Landscape. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari 500 suku lebih, karena posisi dan hubungannya dengan bangsa dan Negara lainnya memiliki aset Pusaka Budaya yang sangat kaya dan beragam di ketiga klasifikasi tersebut di atas, termasuk Bali dan Kota Denpasar pada khususnya.
Terpilihnya Kota Denpasar untuk perhelatan kota pusaka dunia yang tergabung dalam OWHC (Organization World Heritage Cities) tingkat Asia Pasific tahun 2016 dan Eurasia 2019, mengantarkan Kota Denpasar dan Bali sebagai kota maupun provinsi yang memiliki potensi yang sangat unik, kaya akan aset heritage, dan punya komitmen yang kuat dalam melestarikan aset heritage sebagai identitas dan kebanggaan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dalam pembangunan berkelanjutan, khususnya melalui pariwisata heritage.
Pemerintah menyadari bahwa aset bersejarah dimaksud selain sebagai dokumentasi, dapat dijadikan objek yang dapat memberikan pendapatan, sehingga secara bertahap dan berkelanjutan mulai menata objek-objek heritage. Harapannya tentu dengan diterbitkannya Undang-Undang Pemajuan Budaya Nomor 5 tahun 2017 sentuhan pada objek penguatan budaya berdampak pula pada objek heritage antara lain: bahasa, seni, permainan rakyat, adat istiadat, teknologi tradisional, dan lainnya ke dalam tatanan: Perlindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan, melalui ekosistem budaya.
Upaya untuk penyelamatan objek-objek heritage dapat dilakukan dengan tindakan preservasi. Kata preservasi dan konservasi biasa diterjemahkan dengan kata pelestarian berasal dari bahasa Inggris yaitu “conservation” dan “preservation”. Menurut Echols dan Shadly (2000 : 140, 445) kedua kata ini mempunyai pengertian yang hampir sama. Konservasi berarti perlindungan, pengawetan. Sedangkan preservasi berarti pemeliharaan, penjagaan dan pengawetan. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa upaya preservasi sangat diperlukan untuk mempertahankan eksistensi objek heritage melalui pemeliharaan, penjagaan, dan pengawetan.
Upaya preservasi dibutuhkan mengingat usia objek heritage yang sudah lama (lebih dari 50 tahun) kecuali yang memiliki nilai sejarah, keunikan, akan mengalami kerusakan seperti pada kasus Arsitektur yaitu pada material bangunannya, struktur, konstruksi, warna, ornamen, dan lainnya.
Kerusakan juga dapat terjadi karena kebanyakan pengunjung yang menjadi beban berat, uap keringat dari banyak pengunjung, getaran beban kendaraan, bahkan mungkin saja karena bencana alam berupa gunung meletus, gempa bumi, banjir, longsor, dan lainnya. Di negara empat musim curahan salju dan angin menjadi tambahan perhitungan bagi kekokohan objek heritage.
Dampak dari pesatnya pembangunan berakibat pada padatnya areal pembangunan yang mengubah permukaan air tanah dapat berakibat merusak struktur bahkan bangunan bisa menurun atau miring (Menara Pisa di Italia diduga karena padatnya pembangunan dan turunnya permukaan air tanah disekelilingnya menjadikannya miring).
Kerusakan objek pusaka budaya, khususnya yang tergolong tangible (teraga) akan semakin cepat mengalami penurunan kualitas bahkan mungkin saja demolisi “hancur” karena tekanan pengaruh perubahan iklim yang semakin kritis dan semakin sulit diramal. Perubahan iklim akan memporak porandakan ekosistem kehidupan dan penghidupan manusia di atas bumi tanpa terkecuali, bahkan kian parah ketika gas rumah kaca (GRK) menyelimuti bumi yang kita pijak bersama.
Apa itu Perubahan Iklim sehingga penting dibahas, khususnya bagi kepentingan objek dan aset heritage? Perubahan iklim adalah perubahan jangka panjang dalam distribusi pola cuaca. Perubahan iklim dapat terjadi di seluruh wilayah bumi. Dari sumber yang diperoleh disebutkan bahwa sistem iklim dapat bedakan atas lima bagian yang saling berinteraksi yaitu: atmosfer, hidrosfer, kriosfer (es dan permafrost), biosfer (makhluk hidup), dan litosfer (kerak bumi dan mantel atas). Sistem iklim menerima hampir semua energinya dari matahari. Diduga pergeseran atau tumbukan lempeng bumi yang mengakibatkan gempa maupun tsunami adalah salah satu akibat dari perubahan iklim.
Meningkatnya derajat panas di muka bumi ini menunjukkan kepada kita bahwa terjadi perubahan drastis pada ekosistem lingkungan hidup atas lapisan waktu seperti akibat dari panas yang disumbang oleh kian meningkatnya jumlah kendaraan bermotor, industri, pembabatan hutan, termasuk efek rumah kaca, dan lainnya. Akibat lain yang nyata dirasakan adalah meningkatnya permukaan air laut tahun demi tahun karena mencairnya timbunan es di kedua kutub, secara perlahan namun pasti mengubah bentang pesisir “abrasi” sehingga menggerus lahan dengan segala objek diatasnya.
Beberapa efek yang terjadi akibat dari perubahan iklim adalah: 1). Peningkatan panas, 2) Terjadi badai dan peningkatan muka air di pesisir, 3). Biologi Vektor, khususnya kesehatan, 4). Polusi Udara. 5). Ketersediaan Pangan, dan 6). Konflik dalam masyarakat. Efek-efek tersebut di atas semakin menjadi-jadi ketika rotasi bumi dan jarak dengan planet lainnya terjadi pergeseran jarak.
Namun yang perlu dicermati adalah pola dan tingkah laku manusia dalam mencermati signifikasi perubahan iklim dengan melakukan berbagai upaya terhadap melindungi dirinya dan aset produk budaya mereka agar tidak lebih cepat rusak atau mati. Ingat, peningkatan suhu ekstrem di beberapa kota di Eropa seperti di Prancis dan Inggris berakibat pada kematian! Perubahan iklim juga merekomendasikan agar kita bersiap menghadapi cuaca dingin ekstrem dengan segala dampaknya, seperti yang terjadi pada tahun 2018 terjadi hujan salju di Gurun Sahara.
Jika makhluk hidup bisa meninggal akibat cuaca ekstrem panas maupun dingin, maka situs fisik peninggalan Arsitektur berupa gereja, istana, benteng, taman, jembatan, dan lainnya, tentu akan mengalami perubahan akibat pemuaian ataupun penyusutan material konstruksinya yang ditempa cuaca panas-dingin. Bahkan sangat mungkin berat atap yang terbentuk berbagai macam material akan bertambah berat ketika ada beban salju, air hujan, ataupun terpaan angin yang dapat mengganggu kekuatan bahan maupun struktur konstruksinya. Demikian pula terpaan air hujan pada dinding ataupun rendaman air akibat banjir akan menurunkan kualitas dinding dan pondasi bangunannya.
Untuk mengatasi hal-hal tersebut di atas para ahli konservasi melakukan tindakan preservasi dengan mengenali data perubahan iklim dengan cermat dan bahaya apa yang paling utama dan berakibat fatal yang harus ditangani. Database berupa gambar site dan potensi perkembangan lingkungannya menjadi penting dan perlu. Kemudian gambar denah, tampak, potongan, hingga detail dan jenis bahan sudah dicatat dengan rinci dan benar. Pencatatan juga dapat dan wajib dilengkapi dengan foto dan film.
Demikian pula tentang ornamen, pewarnaan, jenis kayu, batu, bata atau lainnya menjadi tambahan catatan penting lainnya. Resapan air disekitar bangunan hendaknya menjadi perhatian khusus agar tidak merendam bangunan ketika hujan lebat. Lengkapi site aset heritage tersebut dengan saluran drainase yang terhubung kesaluran darinase kota atau dibuatkan sumur resapan khusus. Di lokasi yang badainya menimbulkan sambaran petir yang membahayakan aset hendaknya dilengkai dengan penangkal petir.
Disamping upaya-upaya tersebut wajib dilakukan management site agar kemampuan situs menampung pengunjung tidak terlalu berlebihan dilengkapi dengan petunjuk tentang objek khususnya pada objek yang merupakan living monument. Khusus bagi living monument di Bali agar perlakuan preservasi dalam kaitannya dengan perubahan iklim dimanfaatkan untuk mengganti bahan bangunan yang lebih kuat. Misalnya candi bata diganti dengan batu andesit ataupun dengan beton, karena berujung pada ketidak autentitasan objek. Perbaikan berupa renovasi ataupun rehabilitasi wajib menggunakan kaidah-kaidah konservasi.
Preservasi heritage di arena perubahan iklim adalah upaya mulia dan penting untuk menyelamatkan aset heritage. Seluruh dunia memanfaatkan aset heritage sebagai ikon sekaligus objek kunjungan wisatawan, oleh karenanya Indonesia, khususnya Bali wajib kiranya menyelamatkan aset pusaka alam, pusaka budaya baik yang nirraga dan teraga, serta pusaka saujana agar dapat berguna sebagai perekat bangsa dan memperkokoh Negara, sekaligus bagi sarana edukasi, promosi, rekreasi, ekonomi, pariwisata, dan bermanfaat pula bagi pemuliaan Alam-Manusia-Tuhan dalam hubungan-hubungannya yang harmoni “Tri Hita Karana”. Diperlukan upaya serius untuk menyusun Mitigasi bencana, khusunya yang terkait dengan aset pusaka Indonesia-Bali-Denpasar secara terintegrasi dan berkesinambungan.
Penulis, Guru Besar Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana