KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) sepertinya sudah menjadi penyakit bahkan budaya yang susah dihilangkan dari bumi Indonesia. Jika kasus korupsi belakangan banyak diungkap dan dibongkar, sepertinya susah untuk dua saudaranya, kolusi dan nepotisme.
Karena, keduanya teroganisir begitu rapi, begitu rahasia sehingga sangat sulit dibongkar apalagi diberangus. Bahkan, praktik kolusi dan nepotisme ini sudah mirip dalam dunia Mafioso yang melahirkan para mafia. Sebut saja dengan munculnya “mafia peradilan” dan kini “mafia pendidikan.”
“Mafia peradilan” mencuat dari berbagai kasus hukum di masyarakat. Ada indikasi permasalahan hukum yang dihadapi masyarakat dipermainkan justru oleh para “pakar” dan praktisi hukum. Masyarakat menjadi korban dan serasa sulit mendapatkan keadilan hukum.
Sementara “mafia pendidikan” mungkin hal baru. Tetapi yang jelas, dalam modus dan praktiknya mirip dengan mafia pada umumnya. Yang pasti, jaringan yang terorganisasi rapi dan sangat rahasia. Paling tidak, indikasi ini diungkapkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarief.
Dia menyebutkan, pihaknya menerima banyak laporan terkait jalur-jalur khusus untuk masuk universitas negeri. Jalur-jalur khusus tersebut terindikasi tindak pidana korupsi. Bahkan, secara menukik Syarief menyebut, banyak laporan terkait indikasi korupsi untuk masuk pendidikan spesialis seperti di fakultas kedokteran.
Dugaan praktik korupsi ini terjadi saat hendak masuk pendidikan spesialis hingga mendapatkan gelar kesarjanaan. Modusnya, pelaku memberikan uang pelicin agar bisa diterima di fakultas terkait. Tak hanya uang pelicin, tetapi juga harus mendapatkan rekomendasi guru besar (profesor) terkait.
Di masyarakat sendiri ada istilah, untuk masuk (dokter) spesialis tidak cukup hanya pinter, tetapi juga harus punya koneksi dan uang yang banyak. Seseorang yang pinter jika tidak punya uang cukup, akan sangat sulit menembus “mafia pendidikan” ini.
Dalihnya cukup manusiawi, tanpa uang yang memadai dikhawatirkan mereka akan putus di tengah jalan. Jadi, sia-sia pengorbanan waktu dan biaya yang telah dikeluarkan serta menutup peluang yang lain untuk bisa masuk di sana. Demikian halnya koneksi. Ini terkait informasi, formasi, dan rekomendasi yang lebih erat hubungannya dengan nepotisme.
Tanpa punya koneksi, informasi yang dicari seperti sangat tertutup hanya kalangan tertentu (sanak family dan kerabat dekat). Dalih lain, agar jelas setelah menyelesaikan pendidikan spesialis bertugas atau praktik di mana, tidak lagi masih mencari-cari atau bahkan menganggur. Bahkan di salah satu pendidikan spesialis tertentu, ada semacam kesepakatan, setelah tamat mereka tidak “berebut lahan” di wilayah kota para seniornya. Mereka harus menyepakati untuk bertugas di luar daerah.
Bagaimana mengungkap dan menghentikan praktik “mafia pendidikan”, itu menjadi pertanyaan dan tugas bersama. Mengingat, hak setiap anak bangsa untuk menikmati pendidikan di negara ini. Pertama dimulai dari kesadaran setiap warga untuk tidak lagi melakukan KKN dalam urusan apa pun.
Tunjukkan prestasi diri sebagai modal utama. Jika mempunyai prestasi, kewajiban pemerintah untuk memfasilitasi, baik dengan beasiswa maupun bantuan fasilitas lainnya. Untuk memutus jaringan mafianya, peran petugas KPK dan penegak hukum menegakkan hukum seadil-adilnya. Jangan lagi ada “mafia hukum” di antara “mafia pendidikan’’.
Budaya masyarakat untuk melaporkan indikasi “mafia pendidikan” ini harus dibangun terus. Tentu saja dengan sebuah jaminan perlindungan seperti halnya perlindungan saksi dalam kasus-kasus hukum yang ada.
Tanpa sinergitas ini, masyarakat akan lebih memilih diam daripada tersangkut “mafia hukum”. Ini justru yang sangat berbahaya, diamnya masyarakat akan menjadi sebuah pembiaran bagi praktik “mafia pendidikan” dan “mafia hukum” di negeri ini. Hasilnya, tidak hanya melahirkan monopoli dalam dunia pendidikan, tetapi makin bodohnya bangsa ini karena pendidikan dikuasai segelintir orang.