Hakikat kehidupan adalah melayani. Pandangan ini juga menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk tetap setia melayani orang-orang di sekitarnya walaupun terkadang tak memiliki hubungan kekerabatan. Prinsipnya, melayani adalah bagian dari swadharma hidup jika kita ingin juga bahagia.
Dalam konteks kekinian, tentu seni dan cara melayani orangtua juga makin variatif. Melayani bukan berarti hanya memberi dukungan makan dan minum. Kasih sayang justru menjadi hal strategis dan sangat penting maknanya.
Khusus terkait dengan tanggung jawab moral melayani orangtua atau lansia, maka anak hendaknya menjabarkan perilaku suputra. Artinya, tak hanya memberikan kebutuhan harian bagi para orangtua kita, kita juga harus siap memberikan kehidupan yang layak bagi orangtua kita. Tetap menjadikan orangtua sebagai panutan dan orang yang dihormati adalah salah satu bentuk penghormatan kepada mereka.
Artinya, bentuk-bentuk perilaku yang berpihak dan pantas dilakukan pada orangtua kita adalah menjaga hubungan harmonis sepanjang masa. Perilaku ini juga layak dibudayakan sebagai identitas kehidupan.
Dalam banyak rujukan, kita juga pahami bahwa hakikat manusia hidup di dunia adalah untuk mencari kebahagiaan. Kebahagiaan timbul sebagai akibat dari terpenuhinya kebutuhan dan harapan. Berbedanya kebutuhan dan harapan setiap individu menyebabkan kebahagiaan dianggap sebagai sesuatu yang relatif.
Berdasarkan berbagai penelitian, lansia juga mempunyai beberapa kebutuhan, yaitu kebutuhan akan rasa aman (the safety needs), kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki serta akan rasa kasih sayang (the belongingness and love needs), kebutuhan akan aktualisasi diri (the need of self actualization). Selain itu, dengan bekerja, seseorang dapat memenuhi kebutuhan fisik seperti sandang, pangan, dan papan.
Bekerja juga akan memenuhi kebutuhan akan rasa aman, tenteram, dan kepastian tentang hari-hari yang akan datang. Aktivitas bekerja memungkinkan lansia berinteraksi dengan orang lain sehingga dapat menimbulkan rasa senang dan tidak kesepian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lansia yang dapat bekerja secara produktif cenderung lebih bahagia daripada yang tidak bekerja lagi.
Namun, fenomena lain yang terjadi di masyarakat adalah terdapat beberapa lansia yang tidak bekerja namun dapat merasakan kebahagiaan dan sebagian lainnya merasakan ketidakbahagiaan. Ketidakbahagiaan tersebut bisa disebabkan oleh kondisi lingkungan, kurangnya perawatan, perhatian maupun kepedulian orang-orang di sekitar lansia, terutama keluarga.
Terdapat beberapa faktor yang dianggap memengaruhi kebahagiaan lansia, faktor-faktor tersebut terbagi ke dalam dua kelompok yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Menurut beberapa penelitian terdapat beberapa faktor eksternal yang memengaruhi kebahagiaan lansia, antara lain faktor pendapatan (kemakmuran), faktor hubungan dengan keluarga, faktor keagamaan, faktor hubungan sosial, faktor aktivitas waktu luang, faktor kebutuhan untuk dicintai dan mencintai, faktor pendidikan dan faktor ketiadaan masalah.
Sementara faktor internal merupakan faktor-faktor yang berasal dari kepribadian (personal resource) seperti harga diri, tipe kepribadian, gaya atribusi, intelegensi, gender, dan optimisme yang menentukan kepuasan subjektif (subjective satisfaction). Kebahagiaan lansia dipengaruhi oleh bagaimana cara lansia untuk menilai kualitas-kualitas yang ada dalam kehidupannya termasuk bagaimana lansia mampu untuk menerima keadaan yang telah dialami sehingga bisa memunculkan ketenangan batin maupun pikiran.
Hal ini juga memperlihatkan kemampuan dari lansia untuk melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di dalam hidupnya. Kehadiran para lansia harus diakui sebagai anugerah, bagaimanapun kehadiran para lansia tetap memberikan sumbangan bagi generasi zaman ini untuk menemukan kembali makna utama kehidupan. Berkat pengalamannya, para lansia mampu menjadikan masyarakat dan kebudayaan lebih manusiawi dan berharga.