Para pemotor harus rela antre berjam-jam di bawah terik matahari untuk mencapai loket penyeberangan di Pelabuhan Gilimanuk saat mudik Lebaran. (BP/dok)

Setiap tahun bangsa Indonesia selalu disibukkan oleh dinamika masyarakat yang disebut mudik. Ini tidak saja dilihat pada masyarakat Jawa, tetapi juga masyarakat lain. Jadi, sudah menjadi ciri dari bangsa Indonesia.

Kita lihat di televisi dan tentu saja di media sosial, berbagai pesan, foto, gambar, guyonan tentang pulang kampung bermunculan. Jika dilihat dari asal katanya ‘’udik’’, maka tidak lain ciri dari masyarakat Indonesia itu adalah kampung, desa.

Sebab, makna dari kata ‘’udik’’ itu adalah desa atau kampung. Di masa lalu, sempat dikatakan kata ini seperti melecehkan. Tetapi kini malah sudah memasyarakat. Mungkin identitas masyarakat kita adalah masyarakat pedesaan.

Karena itulah, dalam hal ini kita salut dengan pemerintah yang sudah mengeluarkan undang-undang dengan masyarakat perdesaan, yaitu Undang-undang No. 6 Tahun 2014. Kita salut karena di dalam undang-undang tersebut pemerintah memberikan perhatian terhadap pembangunan masyarakat di desa, dengan bantuan sarana dan keuangan yang ada.

Baca juga:  Ganti, Gaya Kampanye Model Kolonial

Ini sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia yang memang masyarakat desa, dengan pola kehidupan sosialnya gotong royong. Memaksakan mereka untuk hidup seperti masyarakat perkotaan akan sulit dan tidak pernah berhasil.

Ada beberapa bukti, bagaimana kita gagal dalam hal menjadikan orang desa itu menjadi orang kota. Kumuhnya perkotaan sebagian disebabkan dan merupakan perilaku mereka yang berlatar pedesaan. Kumuh yang dicirikan oleh permukiman padat, merupakan bagian dari akar kehidupan guyub dan gotong royong.

Di desa membuang sampah cenderung ke ladang yang ada di belakang rumah. Di kota, belakang rumah itu adalah sungai. Maka sungai pun menjadi kotor.

Di desa hewan piaraan cenderung liar. Kita lihat di kota banyak hewan liar di jalanan. Sampai ada yang mengatakan bahwa di Indonesia ini sesungguhnya tidak ada kota, yang ada adalah desa. Maka desa terbesar di Indonesia adalah Jakarta dan desa terbesar di Bali adalah Denpasar. Kota seharusnya wilayah yang bersih dan tertib.

Baca juga:  Membiasakan Diri Jadi Pengguna Bahasa yang Bijak

Sekali lagi, Undang-undang tentang Desa seperti yang disebutkan di atas, merupakan salah satu solusi sebagai proses untuk menyadarkan masyarakat agar dapat berkehidupan sosial secara lebih baik. Tantangan di sini ada pada dua pihak, yaitu pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Pemerintah mesti konsisten melaksanakan amanat undang-undang tersebut, memperbaiki kekurangan yang ada.

Bagi masyarakat, mau belajar untuk memperbaiki diri, mengubah sikap dan pada akhirnya bersinergi antara kedua belah pihak ini untuk mencapai kemajuan. Kelemahan dari masyarakat Indonesia adalah kurang sabar dan kurang mengikuti proses. Kekurangsabaran itu misalnya terlihat dari cara-cara mengompas untuk mencapai tujuan, atau justru aparat desa mengundurkan diri karena ketakutan untuk menjalankan amanat undang-undang. Jika bersedia bersabar, pasti akan terjadi perbaikan kehidupan yang lebih baik.

Baca juga:  Para Menteri Diminta Kawal Mudik Lebaran 2024

Kita akui bahwa pemerintah juga melakukan tindakan maksimal untuk memperbaiki kondisi di desa. Dalam skala makro, kita lihat pembangunan jalan tol trans Jawa adalah untuk memudahkan transportasi antara desa dengan kota-kota di Jawa, bahkan sampai di ibu kota Jakarta. Ini merupakan sarana terbaru untuk menghidupkan dan mendinamiskan desa. Dengan cara-cara seperti itu, pembangunan di desa akan semakin maju karena industri akan mudah didirikan dan digerakkan di desa.

Kita berharap di masa depan, jika memang arus urbanisasi itu dapat ditekan, maka peristiwa mudik seperti yang kita saksikan sekarang dapat dikurangi atau minimal ditekan semaksimal mungkin. Kota tidak akan macet, desa tidak akan sepi dan kehidupan sosial antara desa dan kota dapat berlangsung seimbang dan tenang.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *