Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh Ray Misno

Judul tulisan yang ekstrem ini merupakan kutipan dari buku Negara Paripurna ‘’Historis, Rasionalitas, dan Aktulisasi Pancasila’’ yang ditulis oleh Yudi Latif, mengutip tulisan Kuntowijoyo yang menyampaikan bahwa proses Radikalisasi Pancasila diperlukan dalam arti revolusi gagasan, demi membuat Pancasila tegar, efektif, dan menjadi petunjuk bagaimana negara ini ditata kelola dengan benar.

Proses radikalisasi itu dimaksudkan untuk membuat Pancasila menjadi lebih operasional dalam kehidupan dan ketatanegaraan, dan sanggup memenuhi kebutuhan praktis atau pragmatis dan bersifat fungsional. Radikalisme Pancasila yang dimaksudkannya ialah (1) mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara, (2) mengembangkan Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu pengetahuan, (3) mengusahakan Pancasila memiliki konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial, (4) Pancasila yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila melayani kepentingan horizontal, dan (5) menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.

Radikalisasi Pancasila diperlukan karena kehidupan publik kita selama ini cenderung menampilkan nilai-nilai buruk. Praktik politik di negeri ini telah direduksi sekadar menjadi perjuangan kuasa (demi kuasa) ketimbang sebagai proses pencapaian kebijakan bersama. Politik dan etika terpisah, seperti terpisahnya minyak dan air. Akibatnya, kebajikan dasar kehidupan bangsa, seperti keberadaban, responsibilitas, keadilan, dan integritas runtuh.

Baca juga:  SDG’s dan Pengentasan Kemiskinan

Selanjutnya disebutkan oleh Yudi Latif bahwa kehidupan kebangsaan yang mendera saat ini begitu luas cakupannya dan sangat dalam penetrasinya. Mohandas K. Gandhi menengarai adanya ancaman yang mematikan dari “tujuh dosa sosial”, yaitu politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, sains tanpa humanitas, dan peribatan tanpa pengorbanan. Ketujuh dosa tersebut sekarang seakan menjadi warna dasar kehidupan bangsa. Kehidupan kota (polis) yang mestinya menjadi basis keberadaban (madani) terjerumus ke dalam apa yang disebut Machiavelli sebagai “kota korup” (citta corrottisima).

Di republik korup ini, persahabatan madani sejati perlu dibangun. Tiap warga jangan berlomba mengkhianati bangsa dan sesamanya, bangun rasa saling percaya. Hukum dan institusi hendaknya mampu meredam penyalahgunaan kekuasaan (korupsi), ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela, kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan.

Baca juga:  Nyepi dan Ramadan

Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan bahwa untuk memulihkannya, kita memerlukan radikalisasi Pancasila. Kita perlu visi politik baru, visi yang mempertimbangkan kenyataan bahwa krisis nasional ini berakar jauh pada krisis moralitas dan etos yang melanda jiwa bangsa. Suatu usaha penyembuhan perlu dilakukan dengan memperkuat kembali fundamen etis dan karakter bangsa berlandaskan dasar falsafah dan pandangan dunia bangsa Indonesia sendiri.

Ibarat pohon, sejarah perkembangan bangsa yang sehat tidak bisa tercerabut dari tanah dan akar kesejarahannya, ekosistem sosial budaya, sistem pemaknaan (signification), dan pandangan dunianya sendiri. Pancasila dirumuskan oleh para pendiri bangsa sebagai dasar dan tuntunan bernegara dengan mempertimbangkan aspek-aspek itu, melalui usaha penggalian, penyerapan, kontekstualisasi, rasionalisasi, dan aktualisasinya dalam rangka menopang keberlangsungan dan kejayaan bangsa.

Baca juga:  Koperasi Besar Berorientasi Ekspor

Akibat keteledoran, ketidaktaatan, dan penyelewengan atas nilai-nilai Pancasila oleh bangsa sendiri, pelan-pelan timbul kegelapan dalam rumah kebangsaan. Lantas, anak-anak negeri berusaha mencari kunci jawaban atas persoalan negerinya dan mengupayakan dari luar ‘’rumah’’, pada tempat-tempat yang tampak terang benderang. Seseorang bertanya kepada mereka, ‘’Apa gerangan yang kalian cari?’’ Anak-anak negeri itu pun menjawab, ‘’Kunci rumah.’’ ‘’Memangnya di mana hilangnya kunci itu?’’ Jawabannya, ‘’Di dalam rumah kami sendiri.’’ Lantas, ‘’Mengapa kalian cari di luar rumahmu?’’ Jawabannya, ‘’Karena rumah kami gelap.’’

Kunci jawaban atas krisis kebangsaan itu sesungguhnya bisa ditemukan dari falsafah dan pandangan hidup negara Indonesia sendiri, yang diperlukan adalah mengikuti cara Soekarno, yaitu menggali kembali mutiara yang terpendam itu, mengargumentasikan, dan mengkontekstualisasikan dalam kehidupan semasa, dan mengupayakan aktualisasinya dalam kehidupan masa kini dan masa depan.

Penulis, staf pengajar di Stispol Wira Bhakti 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *