DENPASAR, BALIPOST.com – Masalah payung hukum menjadi batu sandungan bagi Bali untuk menarik kontribusi dari wisatawan. Pembahasan Ranperda Kontribusi Wisatawan oleh Pansus di DPRD Bali pun masih mentok. Padahal sebelumnya, Pemprov Bali mengklaim sudah mengantongi dukungan dari lima kementerian, yakni Kementerian Perhubungan, Koordinator Bidang Kemaritiman, Pariwisata, Keuangan, dan Dalam Negeri RI.
“Sementara masih di-cooling down karena terbentur aturan payung hukumnya,” ujar Ketua Pansus Ranperda Kontribusi Wisatawan I Ketut Suwandhi dikonfirmasi, Senin (24/6). Ia mengaku masih mencari solusi atas kendala tersebut, termasuk melakukan konsultasi dengan sejumlah kementerian di pusat, antara lain Kementerian Pariwisata, Keuangan, dan Perhubungan.
Masalah payung hukum kembali muncul terutama setelah ada surat dari IATA yang menyebut usulan adanya kontribusi wisatawan bertentangan dengan kebijakan perpajakan yang telah diterima dan dipublikasikan oleh ICAO di bawah naungan PBB. Dalam hal ini, Indonesia turut menandatangani Konvensi Chicago yang di pasal 15 berbunyi “Negara Peserta Perjanjian tidak boleh mengenakan biaya, iuran, atau pungutan lainnya sehubungan dengan hak untuk transit di atau masuk ke atau keluar dari wilayah negara yang bersangkutan yang dimiliki oleh suatu pesawat udara atau penumpang atau properti di dalamnya”.
Selain itu, menurut IATA, penumpang internasional yang berangkat dari bandara Denpasar, Bali, saat ini membayar Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara Rp 225 ribu. IATA merupakan asosiasi dagang global untuk maskapai penerbangan yang beranggotakan lebih dari 290 maskapai dan mencakup 82 persen dari total lalu lintas udara global. “Setelah dicermati lebih mendalam, IATA masih merapatkan barisan untuk membicarakan itu. Siap tidak IATA untuk dititipi,” jelas Ketua Komisi II DPRD Bali ini.
Menurut Suwandhi, kontribusi wisatawan tidak saja mencari dana untuk upaya perbaikan lingkungan dan pelestarian seni budaya Bali, tapi juga harus memikirkan nilai tiket dengan adanya tambahan berupa kontribusi wisatawan. “Sekarang saja (harga tiket pesawat naik-red) masih ribut,” tambah Politisi Partai Golkar ini.
Jika masih dianggap bertentangan oleh IATA, Suwandhi menyebut sudah ada alternatif kedua yakni menitipkan lewat hotel. Hanya, ada risiko kontribusi wisatawan tidak bisa dipungut maksimal. Kecuali di hotel-hotel besar atau BUMN milik pemerintah, kemungkinan tidak ada masalah. “Di hotel menengah ke bawah yang milik-milik pribadi kan susah. Biasa itu, termasuk pajak hotel dan restoran juga kadang-kadang ada benturan di sana,” paparnya.
Sebelumnya, Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati mengatakan, seluruh stakeholder pariwisata di Bali telah setuju dengan adanya kontribusi wisatawan. Terlebih lagi skema pendapatan Pemprov Bali hampir tidak ada satu unsur pun yang berasal dari pariwisata. Sementara beban provinsi cukup besar untuk menata infrastruktur hingga menjaga fasilitas pariwisata. “Mereka memahami dan tidak keberatan. Cuma sekarang yang perlu kita bicarakan adalah di mana akan dikenakan,” ujar pria yang akrab disapa Cok Ace ini.
Cok Ace tak menampik kontribusi wisatawan pernah direncanakan agar dipungut oleh IATA, namun IATA dilindungi oleh Undang-undang Internasional. Oleh karena itu, alternatif lain yang muncul salah satunya membuat booth untuk memungut di pintu masuk dan keluar airport. “Kita lihat yang mana paling gampang. Ataukah mungkin di hotel-hotel. Kalau di hotel langsung misalnya kita pungut di hotel yang pertama, baiknya apa, kelemahannya apa. Semua harus kita cari,” pungkasnya. (Rindra/balipost)