Oleh GPB Suka Arjawa
Isu utama yang kemudian muncul setelah Komisi Pemilihan Umum menetapkan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024 adalah bagaimana komposisi kabinet yang akan dibentuk oleh pasangan ini untuk mendampigi mereka mengelola Indonesia. Komposisi tersebut dapat saja mengaju kepada jumlah kuantitatif kabinet, kualifikasi yang menyangkut profesional atau politisi, termasuk juga rerata umur dari anggota kabinet yang akan dibangun pemerintahan sekarang.
Kriteria-kriteria di atas perlu dipertimbangkan di Indonesia saat ini mengingat berbagai persaingan di dunia internasional begitu ketat dan tidak dapat diduga. Perkembangan teknologi demikian cepat yang mampu mengubah cara kinerja pemerintahan. Bagi negara maju, inilah yang menjadi patokan mereka untuk berkompetisi.
Akan tetapi, sebagai negara berkembang, apalagi dengan karakter masyarakat yang juga sedang berkembang, faktor sosial haruslah menjadi pertimbangan yang signifikan. Sudah jelas, perkembangan teknologi juga harus diikutkan.
Namun, teknologi ini haruslah menjadi perkembangan ikutan agar masyarakat tidak terbengong-bengong dengan kemajuan teknologi itu, yang akhirnya ditaklukkan oleh penguasa teknologi. Barat dan Asia Timur adalah penguasa teknologi yang “lapar sosial”, menerobos masuk ke wilayah negara lain tanpa diketahui.
Pemerintahan Joko Widodo ke depan harus mempertimbangkan Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang. Pada konteks itulah, komposisi kabinet ini menjadi penting untuk dilihat. Isu yang muncul dari istana adalah bahwa kabinet yang akan dibentuk terdiri dari kabinet dengan anggota yang masih muda-muda usia.
Mudah untuk menduga maksud dari presiden untuk memilih menteri yang berusia muda, yaitu untuk mengantisipasi perkembangan teknologi digital yang kini dipegang oleh para generasi muda dunia, dan tentunya termasuk Indonesia. Diharapkan kegesitan dari para menteri yang berusia muda ini akan mampu mengantisipasi perkembangan dunia digital internasional dan dapat memberikan inspirasi kepada generasi muda Indonesia untuk juga bersikap demikian.
Sudah tentu juga inspirasi tersebut akan memberikan rangsangan kepada generasi muda Indonesia untuk melakukan berbagai inovasi, kemudian menyebarkannya kepada generasi penerusnya. Poin pentingnya, Indonesia menginginkan laju masyarakat yang berbasis industri 4.0. Inilah mantra paling moncer pada saat ini. Dan celakanya di Jepang, konon sudah mulai orang berbicara masyarakat industri 5.0, dengan titik penting yang diperhatikan adalah relasi sosial dalam hubungan bermasyarakat, dengan basis teknologi terbaru.
Akan tetapi yang kemudian perlu dilihat bahwa sebagai negara berkembang, Indonesia tetap mempunyai karakter-karakter lain yang harus dipertimbangkan. Secara sosial, budaya gotong royong dan kompleksitas relasi sosial di Indonesia itu berbeda dibandingkan dengan negara berkembang yang lain.
Di sini nilai sosial yang muncul adalah mengedepankan manusia, intinya pertemuan dan diskusi antarmanusia yang muncul di dalam kehidupan sosial. Sebagian masyarakat Indonesia masih lebih menghargai kedatangan orang untuk mengucapkan selamat pernikahan, ketimbang mengirim gambar lewat video di smartphone.
Budaya itu pula yang membuat bagaimanapun metode absen yang dibuat di berbagai kantor di Indonesia, selalu kedapatan kantornya lengang di siang hari dan kemudian menumpuk kembali menjelang hari kantor usai.
Kesadaran hukum dan kesadaran fungsional dari masyarakat juga mesti dipertimbangkan. Di berbagai bidang, kita masih belum bisa mengatakan bahwa masyarakat Indonesia itu mempunyai kesadaran hukum dan fungsional yang baik.
Contoh yang paling jelas terlihat di jalan raya (silakan cari faktanya). Padahal, untuk mendorong percepatan kinerja dengan teknologi industri 4.0 itu adalah taat pada hukum dan sadar akan fungsi di masyarakat.
Dalam sebuah wawancaranya, Joko Widodo mengatakan bahwa bisa saja nanti anggota kabinetnya berumur antara 20-25 tahun atau berumur 30 tahun. Apabila itu benar, maka pilihan umur ini sungguh luar biasa muda.
Mungkin pada zaman Orde Baru pun belum ada menteri yang berumur antara 20-25 tahun. Atau bisa jadi pernyataan itu merupakan hal spontan yang muncul pada saat Joko Widodo diwawancara kemudian direkam. Pilihan umur 20-25 tahun mungkin cukup berisiko mengingat stabilitas mental manusia pada saat itu masih cukup labil.
Emosinya masih cukup labil. Kalau dilihat di perguruan tinggi, mereka masih baru tamat master atau bahkan ada yang baru tamat sarjana. Proses pematangan itu akan lebih didapatkan setelah menempuh pendidikan S3.
Ahli psikologi mungkin tahu bahwa umur 20-25 tahun itu boleh dikatakan sebagai umur dewasa awal. Proses pematangan manusia baru dimulai dan baru mulai membentuk dan mengkristalkan pengalamannya ke dalam bentuk nilai-nilai ideal dalam tujuan hidupnya.
Jadi, mereka yang berumur terentang itu, boleh masih dalam proses. Sudah tentu kemungkinan sudah ada orang yang matang pada usia tersebut, tetapi boleh dikatakan jarang.
Sedangkan kualifikasi menteri, tidak cukup dengan ahli, profesional atau cerdas saja, tetapi juga matang dalam urusan emosi. Menteri adalah urusan politik, dan politik penuh dengan tindakan yang memancing emosional.
Jadi, yang diperlukan seorang menteri, bukan kecakapan saja tetapi juga kematangan emosi. Indonesia adalah negara dengan emosi politik yang meledak-ledak. Sejarah sudah memperlihatkan hal itu, bahkan sejak zaman kerajaan (perhatikanlah baik-baik bagaimana sejarah Gajah Mada). Kira-kira inilah yang membuat Indonesia yang kaya raya ini, tidak mampu mendayagunakan kekayaan melimpah itu untuk kesejahteraan melimpah kepada masyarakatnya.
Karena itulah, pilihan menteri muda haruslah dialihkan kepada mereka yang berusia di atas 30-tahun, atau mungkin sebaiknya di atas 35 tahun. Usia inilah yang kira-kira di Indonesia sudah boleh dikatakan matang (meski banyak terlihat para preman berusia di atas 50 tahun). Kematangan itu akan mampu membuat keputusan yang memilih secara bijak teknologi yang disebut-sebut industri 4.0 tersebut, yang basisnya internet dengan kecepatan yang tinggi.
Tidak semua orang Indonesia mampu beradaptasi dengan teknologi tersebut. Menteri yang terlalu muda dan kurang matang pengalaman dan pengetahuannya tentang komposisi struktural masyarakat Indonesia, dikhawatirkan terlalu membombardir masyarakat Indonesia dengan perangkat teknologi digital.
Bombardir seperti ini akan berpotensi menghasilkan outcome yang asal-asalan, sekadar jadi dan tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Apa pun bentuk produk tersebut. Gedung bertingkat yang dipaksakan selesai dalam waktu enam bulan, tidak akan mampu menghasilkan gedung yang kuat.
Indonesia adalah negara yang sedang berkembang karena itu menangani persoalannya juga harus dengan hati-hati dan bijak. Dalam wawancara tersebut, Presiden Joko Widodo juga telah mengatakan bagaimana pentingnya peran menteri koordinator. Artinya, dalam konteks ini, presiden memahami bagaimana beratnya tanggung jawab seorang menteri untuk mengurusi negara seluas Indonesia. Disebutkan bahwa jika ada persoalan-persoalan yang rumit soal pengelolaan tersebut, maka menteri koordinatorlah yang akan berperan di dalamnya. Dengan demikian, ke depan, dalam susunan kabinet periode 2019-2024 ini, presiden harus bekerja keras memilih menteri koordinator yang betul-betul nanti mampu memberikan solusi atas berbagai persoalan yang ada di lapangan. Bukan muda hanya untuk mencari perhatian, tetapi muda yang benar-benar matang.
Penulis, staf pengajar Sosiologi FISIP, Universitas Udayana