Wisatawan mancanegara diantara pedagang di Pantai Sanur, Denpasar.(BP/dok)

Ilmuwan mengatakan perang hanya lahir dari pikiran manusia. Demikian juga untuk mengakhiri perang juga dimulai dari pikiran manusia. Perang dagang antara Amerika Serikat dan China kini memasuki era baru, namun tetap saja memanas.

Sebab, apa yang berlaku di perang militer juga berlaku di perang dagang ekonomi. Semuanya ingin menang dan menang. Ini juga demi gengsi nation alias negara.

Kini, AS dan China saling menerapkan tarif bea masuk tinggi terhadap berbagai produk dari negara rivalnya itu. Teranyar, China berbalik menerapkan pajak barang AS mulai 1 Juni 2019 usai AS menaikkan tarif barang China 25 persen.

Presiden AS Donald Trump bahkan mendeklarasikan larangan masuknya produk Huawei, sebuah perusahaan teknologi asal China yang berbuah ‘cerainya’ kerja sama bisnis Google dan Huawei dengan alasan ancaman keamanan nasional AS meski belum ada bukti yang menunjukkan ke arah sana. Tensi perang dagang AS-Cina yang kian memanas ini membuat ekonomi dunia pun ikut terdampak.

Baca juga:  RUU Pesantren

International Monetary Fund (IMF) bahkan menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2019 ke posisi 3,3 persen karena adanya ketegangan seperti perang dagang AS-China. Pada Januari 2019, misalnya, IMF memproyeksi pertumbuhan ekonomi global 2019 akan menyentuh angka 3,5 persen tahun ini.

Pimpinan negara di dunia mendesak kedua negara menemukan jalan tengah untuk mengatasi perang dagang, karena hal tersebut memengaruhi perekonomian secara global. Jika ketegangan terus meningkat, akan memicu gangguan besar terhadap jaringan suplai global.

Kita di Bali merasakan turunnya daya beli masyarakat karena pariwisata juga terdampak dengan ketegangan ini. Kedua, budaya masyarakat kita sudah dipelajari oleh China dan AS yakni sebagai konsumen produk-produk mereka.

Baca juga:  Ekonomi Sektor Kecil di Bali Perlu Didorong

Kita mengenal China sangat pintar dalam imitasi dan meniru teknologi secanggih apa pun dengan biaya lempar ke konsumen jauh lebih murah dari produk AS. Makanya China masih memiliki seribu cara guna menghadapi tekanan AS.

Salah satu cara kita terutama kalangan UMKM Bali dalam mengatasi masalah ini yakni mendidik secara perlahan masyarakat beralih dari konsumen menjadi produsen. Intinya, kita harus lebih banyak menjadi eksportir daripada importir.

Untuk ukuran seni dan budaya, Bali masih menjadi produsen. Di sektor lain, kita banyak menjadi konsumen. Dampak dari perang dagang ini terutama akan dirasakan oleh negara-negara berkembang alias emerging market. Sebab, China merupakan negara yang menjadi hubungan industri dari banyak negara berkembang. Terguncangnya ekonomi China sudah barang tentu bakal merembet ke negara berkembang, terutama negara-negara yang punya hubungan dagang langsung dengan negara Tirai Bambu itu. Kalau kita lihat dari China salah satu hubungan terpenting di Asia, dan di mana most of emerging market itu sangat bergantung dengan China.

Baca juga:  Disayangkan, BPOM Publikasikan Temuan yang Belum Punya Bukti Kuat

Cara ini bisa membantu RI keluar dari perlambatan ekspor dari negara mitra dagang saat ini atau mitra dagang tradisional. Mestinya Indonesia belajar dari Vietnam soal menangkap peluang perpindahan basis industri imbas perang dagang antara AS-China ini.

Vietnam mengeluarkan banyak kebijakan dalam menyambut investasi asing berupa ketersediaan kawasan ekonomi khusus. UMKM harus dibangkitkan terutama yang berhubungan dengan ekonomi kreatif. UMKM tak hanya menyasar konsumen domestik juga untuk ekspor.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *