Ilustrasi. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Setiap tahunnya, kasus baru HIV/AIDS selalu ditemukan seiring dengan semakin terjangkaunya layanan kesehatan utamanya dalam hal pemeriksaan HIV. Hingga Maret 2019, tercatat 547 kasus baru HIV/AIDS.

Dari total kasus tersebut, 157 bersatus AIDS dan 390 berstatus HIV. Dengan adanya tambahan 547 kasus baru di 2019, total akumulasi kasus HIV/AIDS di Bali sejak 1987 menjadi 21.108 kasus dengan 12.678 HIV dan 8340 AIDS. Dari total kasus ini, terbanyak ditemukan pada rentang usia 20 hingga 29 tahun. Jumlahnya mencapai 7.980 kasus atau 38 persen.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dr. Ketut Suarjaya mengatakan trend penemuan kasus HIV/AIDS saat ini dari segi faktor usia mulai bergeser ke usia lebih muda. Jika dulu masih dominasi oleh usia 30-39 tahun, kini sudah mulai bergeser ke usia 20-29 tahun.

Untuk rentang usia 30 hingga 39 tahun sendiri menduduki peringkat ke dua dari segi faktor usia yaitu sebanyak 7348 kasus atau 35 persen. Mulai bergesernya kasus HIV/AIDS ke kelompok usia lebih muda dijelaskan Suarjaya karena penularan pada usia dewasa (30-39 tahun ke atas) saat ini mulai menurun dan melandai grafiknya.

Baca juga:  Denfest 2018, Usung Permainan Anak

Penurunan penularan kasus pada usia dewasa ini karena adanya program pencegahan masif yang dilakukan pemerintah maupun lembaga lainnya, mulai dari sosialisasi di masyarakat populasi kunci, pembagian kondom di wilayah resiko tinggi, testing HIV baik pada ibu hamil, pasien infeksi menular seksual, pasien TB, warga binaan permasyarakatan maupun penawaran tes pada pasien yang dicurigai.

Sementara mengenai kenaikan kasus pada usia yang lebih muda, dalam hal ini rentang usia 20-29 tahun, kata Suarjaya fenomena ini tidak hanya terjadi di Bali tetapi seluruh Indonesia bahkan Internasional. Hal ini dikarenakan fenomena penularan HIV yang ditemukan pada remaja mengalami peningkatan.

Baca juga:  Jaga “Engagement," Astra Motor Bali Gelar "Honda Bikers Adventure Camp"

Di sisi lain program pencegahan penularan HIV ke remaja masih berkembang. Selain itu juga adanya hambatan testing pada remaja dibawah umur dimana agar bisa melakukan testing ini berdasarkan UU perlindungan anak, harus ditemani orangtua/wali, sehingga infeksi HIV yang seharusnya bisa dideteksi saat remaja baru ketahuan saat usia 20-29 tahun.

Untuk bisa menekan angka infeksi pada remaja ini, Bali sendiri sedang mengembangkan program dengan nama lolipop linkage of quality care for young key population. Program ini berpusat pada petugas kesehatan dimana petugas dilatih untuk membuka komunikasi untuk remaja, berbicara sebagai teman, tidak menghakimi dan membaca kebutuhan remaja terkait masalah kesehatannya. “Petugas kesehatan jika menghadapi remaja tidak hanya melihat keluhannya saja. Contohnya, saat remaja yang mengeluh sakit kepala tidak hanya memberikan obat sakit kepala tetapi menanyakan bagaimana kondisi rumahnya, bagaimana pendidikan, pola makan dan olahraga, aktivitas hobby, hubungan dengan teman sebaya, bagaimana penggunaan obat-obatannya, bagiamana aktivitas seksual, serta adakah terbersit ide hendak bunuh diri, mendeteksi adanya depresi kesehatan dan mental serta lainnya,” jelas Suarjaya.

Baca juga:  Kematian Warga di Bali Terpapar COVID-19 Per 23 Agustus, 71 Persen Tak Berkomorbid

Jika dalam pemeriksaan secara menyeluruh ini ada yang dicurigai atau potensi ke arah adanya infeksi HIV, dilakukan pendekatan untuk dilakukan tes HIV. Menurut Suarjaya, dari segi layanan, saat ini seluruh Puskesmas yang ada di Bali di masing-masing Kabupaten/Kota sudah bisa melakukan tes HIV atau memiliki layanan VCT.

Diharapkan dengan adanya layanan VCT di setiap puskesmas ini akan lebih memudahkan pasien dengan faktor risiko untuk melakukan pemeriksaan. Sehingga lebih cepat terdeteksi dan lebih cepat menjalani pengobatan. (Wira Sanjiwani/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *