Petani di Buleleng membudidayakan buah Naga Kuning dan Orange. (BP/dok)

Oleh Made Sri Sumarniasih

Penyusutan lahan pertanian ke nonpertanian di Bali rata-rata berkisar 800-1.000 hektar per tahun. Penyusutan lahan pertanian terjadi terutama di kawasan wisata seperti Kuta, Nusa Dua (Kabupaten Badung), Kota Denpasar, dan Kabupaten Tabanan. Di wilayah Kota Denpasar misalnya, lahan pertanian di wilayah Subak Mergaya, Kecamatan Denpasar Barat menyusut drastis.

Jika pada tahun 1976, lahan pertanian di Subak Mergaya 183 hektar, maka pada tahun 2012 menyusut menjadi 90 hektar (Pemkot Denpasar, 2013). Selain di Subak Mergaya penyusutan lahan pertanian juga terjadi di wilayah lumbung padi Bali, yakni di Kabupaten Tabanan.

Total luasan sawah di Kabupaten Tabanan tahun 2011 adalah 22.435 hektar, turun menjadi 21.962 hektar tahun 2014, dan 21.089 hektar tahun 2017 (BPS Bali, 2018). Sejalan dengan penyusutan lahan pertanian, kontribusi sektor pertanian untuk PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Bali juga menurun. Sumbangan sektor pertanian  untuk PDRB Bali pada tahun 2010 sebesar 17,2 persen menurun menjadi 13,8 persen pada 2018 (BPS Bali, 2018).

Di samping adanya penyusutan lahan, sektor pertanian di Indonesia juga mengalami kemandekan (involusi pertanian), menjadikan pertanian hanya sebagai tempat penampungan penduduk yang terus bertambah. Secara alami fenomena involusi pertanian ini terjadi karena di satu sisi luas lahan pertanian bersifat statis, terbatas, bahkan mengalami penyusutan, di sisi lain jumlah anggota keluarga petani terus bertambah.

Tanah sepetak yang luasnya kecil milik keluarga petani, harus dibagi-bagi lagi menjadi lebih kecil-kecil untuk dibagikan ke anak-anaknya, agar setiap anggota keluarga yang semakin bertambah banyak itu memperoleh haknya, mendapat jatah untuk hidup meski dengan luasan lebih kecil. Inilah yang dimaksud oleh Geertz (1970) sebagai shared poverty atau kemiskinan terbagi.

Fenomena kemiskinan dibagi rata ini diperkuat dengan prinsip mangan ora mangan waton ngumpul (makan tak makan asal kumpul), suatu sistem budaya yang didasari oleh budaya gotong royong, kekerabatan dan semangat komunal yang begitu kental di lingkungan komunitas petani setempat. Budaya petani yang cenderung statis, sulit move on ini menjadikan petani statis, sulit maju dan berkembang.

Baca juga:  Wujudkan Swasembada Pangan, Petani Diganjar Upsus

Petani Milenial

Sejalan dengan menyusutnya lahan pertanian, kini pekerjaan sebagai petani hanya ditekuni oleh generasi tua yang berumur 50 tahun ke atas, sedangkan generasi muda Bali, yaitu anak-anak petani enggan menjadi petani melanjutkan profesi orang tuanya. Bahkan saat panen tiba, petani di beberapa kabupaten di Bali, seperti Denpasar, Badung, Tabanan, dan Jembrana mendatangkan tenaga kerja untuk memanen padi dari Pulau Jawa, misalnya dari Banyuwangi.

Mengapa generasi milenial Bali enggan menjadi seorang petani? Pertama, keengganan generasi milenial Bali menjadi petani disebabkan oleh faktor gengsi, bertani berkubang lumpur, secara perhitungan ekonomi pengelolaan pertanian tradisional selama ini tidak menjanjikan kesejahteraan. Pendapatan usaha tani yang diperoleh petani tradisional Bali lebih kecil dibandingkan dengan penghasilan di sektor jasa pariwisata dan sektor lainnya.

Hal ini secara jelas ditunjukkan oleh perkembangan Indeks Nilai Tukar Petani (NTP). Menurut BPS (2018), perkembangan NTP Bali dalam tiga tahun terakhir  yaitu  tahun 2016 sebesar  106,19 tahun 2017 sebesar 104,69 dan tahun 2018 menurun menjadi 103,48. NTP Bali yang cenderung menurun mengindikasikan kesejahteraan petani Bali cenderung menurun.

Kedua, lebel atau status pekerjaan petani dianggap lebih rendah dan kotor daripada pekerjaan lainnya. Kendati memiliki hektaran sawah atau kebun, atau sebagai petani kaya (tuan tanah) namun merasa statusnya masih rendah, dibanding dengan status profesi lainnya. Akibat dari pelabelan “derajat petani yang rendah” ini, sebagian petani menghendaki agar  anaknya bekerja di sektor lain, misalnya menjadi TNI, guru, ASN, pegawai bank, pegawai swasta, atau sektor jasa lainnya yang dianggap lebih bergengsi. Ironisnya, upaya memperoleh pekerjaan di luar petani tersebut dilakukan dengan menjual sebagian lahan pertaniannya untuk modal.

Agar sektor pertanian tetap eksis atau berkelanjutan, maka dibutuhkan generasi melenial yang mampu menjadi petani masa kini dengan menerapkan teknologi industri 4.0. dan lebih khusus di pertanian dikenal dengan istilah teknologi pertanian 4.0. (Agriculture 4.0). Bali membutuhkan generasi petani milenial yang mampu mengelola sistem pertanian modern sesuai era revolusi teknologi industri 4.0 saat ini yang ditandai dengan digitalisasi dan otomatisasi di segala bidang kehidupan.

Baca juga:  Ribuan Hektare Cengkeh di Buleleng Diserang JAP

Generasi milenial Bali harus mempersiapkan skill, memiliki perilaku yang baik (behavioral attitude), memperbaiki kualitas sumber daya manusia, meningkatkan kompetensi diri di era global. Generasi milenial Bali harus pandai menata diri dan siap berkompetisi secara global. Generasi milenial Bali juga harus mengambil peran aktif, menjadi pemain (subjek) sesuai minat dan bakat masing-masing. Generasi milenial Bali dituntut mampu berkomunikasi, berkolaborasi, berpikir kritis, kreatif, dan inovatif di segala bidang, termasuk mampu mengelola sistem pertanian modern yang lebih berdaya saing.

Agroekoteknologi

Pada era teknologi 4.0, implementasi agroekoteknologi antara lain adalah: (a) Smart Irrigation System. “Sistem irigasi pintar” ini mampu memantau cuaca, kondisi tanah, penguapan, penggunaan air tanaman dengan kondisi aktual lokasi, dan menyesuaikan jadwal penyiraman secara otomatis. Misalnya, saat suhu di luar ruangan meningkat atau curah hujan menurun, maka pengontrol irigasi pintar akan mempertimbangkan variabel spesifik lokasi, seperti jenis tanah, untuk tingkat aplikasi penyiram. Irigasi pintar, dimanfaatkan untuk mengatur kelembaban tanah sehingga tanah tidak gersang lagi dan dapat menjadi lembab sesuai dengan kebutuhan tanaman.

Pengendali sistem irigasi ini secara signifikan meningkatkan efisiensi penggunaan air di luar ruangan; (b) Smart Green House, adalah rumah yang dilengkapi dengan upaya pengaturan terhadap cahaya, air dan hal yang memengaruhi pertumbuhan tanaman dengan kualitas yang terbaik. Keunggulannya adalah dapat diakses menggunakan Smartphone, dapat diakses di mana saja dan kapan saja asal smartphone terkoneksi dengan internet. Smart Green House sudah diterapkan oleh para petani Israel di lahan gurun berpasir yang menghasilkan berbagai macam produk sayuran dan anggur; (c) Mekanisasi pertanian, termasuk yang diwujudkan dalam bentuk teknologi.

Baca juga:  Cuara Buruk dan Abu Vulkanik, Petani Cabai Terpaksa Panen Lebih Awal

Automatic Tractor, sebuah teknologi di mana petani dapat mengontrol traktor dengan menggunakan remote (remote control). Dalam dasawarsa mendatang, pertanian diharapkan akan direvolusi dengan menggunakan traktor dan robot yang dapat mengemudi sendiri yang dapat melakukan tugas-tugas yang menyita waktu yang sekarang dilakukan oleh manusia; (d) Perlu melakukan penelitian dan pengembangan secara berkesinambungan untuk menciptakan produk pertanian yang unggul, berkualitas dan memiliki daya saing.

Untuk menghadapi revolusi industri ini, maka angkatan kerja yang akan menghadapi revolusi industri harus dipersiapkan dengan matang. Caranya dengan meningkatkan keterampilannya untuk memahami penggunaan teknologi atau kemampuan menggabungkan teknologi pada industri nantinya. Hal ini merupakan nilai tambah bagi tenaga kerja sehingga dapat tetap mengikuti perkembangan di industri 4.0.

Oleh karena itu, pelajaran mengenai teknologi atau pengaplikasian teknologi pada berbagai kegiatan di sekolah dan di perguruan tinggi serta di masyarakat harus lebih digencarkan dan disosialisasikan. Jadi, prinsipnya untuk memikat generasi milenial bekerja di pertanian harus menerapkan agroekoteknologi 4.0, yaitu pertanian modern berwawasan lingkungan dan menggunakan kemajuan tekologi industri 4.0.

Bilamana petani Bali mampu menghasilkan produk pertanian berkualitas dan berdaya saing tinggi, serta  mampu memasarkannya di pasar global, maka otomatis kepercayaan diri dan etos kerja kuat petani bisa  terbangun. Label petani yang selama ini dianggap sebagai “jenis pekerjaan atau profesi rendahan” bisa disingkirkan sejalan dengan meningkatkan citra positif petani.

Jadi, untuk menarik minat generasi muda mau bertani, dengan menjadikan pertanian menjadi industri yang menjanjikan seperti sektor lain yang dikelola secara bisnis dan modern, dan yang tidak kalah penting adalah peran pemerintah dalam memfasilitasi industri 4.0 lewat regulasi dan aturan. Alhasil, ada payung hukum bagi pelaku usaha dan generasi milenial.

Penulis adalah doktor pertanian, dosen Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *