Ilustrasi. (BP/Dokumen Swara Tunaiku)

DENPASAR, BALIPOST.com – Hunian vertikal kini sedang dikaji secara hukum oleh Pemprov Bali. Agar tidak bertentangan dengan masyarakat dan pelaku industri pariwisata, DPD Real Estate Indonesia (REI) Bali terus membuat kajian, forum dan seminar dengan berbagai pihak terkait rencana ini. Demikian disampaikan Sekretaris DPD REI Bali Tino Wiyaya, Rabu (17/7) malam saat acara OSBIM BI tentang Survei Perkembangan Properti.

Ia mengatakan saat ini Pemkab Badung sudah mengeluarkan Perbup yang mengatur untuk hunian vertikal yang disebut apartemen hunian. “Progresnya positif, mudah-mudahan  mampu menjawab tantangan hunian yang terjangkau bagi masyarakat di perkotaan,” ungkapnya.

Meski rencana tersebut terus bergulir, namun dikatakan masih ada beberapa kendala seperti respon MUDP dan PHDI. Menurutnya rumah susun yang digagas secara bersama-sama ini adalah untuk mencari solusi kebutuhan hunian, namun REI Bali juga berupaya mencegah agar tidak terjadi pergeseran tujuan pariwisata.

Baca juga:  PMK di Bali 3L, Virus Sulit Dikendalikan

Ia pun mengatakan sudah menggandeng PHRI untuk melakukan pemetaan zonasi. “Dengan rekan–rekan PHRI, Kadin, kita mengaturnya dengan zonasi yang tepat. Jadi supaya hunian rusun dan apartemen, tidak bertabrakan market dengan hotel  bintang 3 dan hotel melati,” terangnya.

Ia khawatir hunian yang dibuat malah dihuni oleh wisatawan sehingga tidak tepat sasaran. “Yang tepat sasaran adalah hunian vertikal, rumah susun dihuni oleh pekerja-pekerja pariwisata yang membutuhkan lokasi yang dekat dengan tempat tinggal dan tempat bekerja,” imbuhnya.

Tino juga menyampaikan bahwa aturan terbaru dari rumah bersubsidi di Bali maksimal seharga Rp 158 juta. “Kalau lebih dari itu bukan rumah subsidi,” tegasnya.

Baca juga:  Warga Pandak Gede "Nampah" Kerbau Jelang Galungan

Tino juga menegaskan bahwa yang disubsidi oleh pemerintah adalah bunga KPR konsumen. Pembeli juga harus memenuhi syarat yang harus dilengkapi yaitu merupakan rumah pertama, rumah tidak boleh disewakan, dan tidak boleh dijual kembali.

Satu lagi yang ditegaskan terkait aturan baru rumah bersubsidi adalah batasan penghasilan seseorang yang membeli rumah subsidi diatur oleh Peraturan Menteri PUPera, batasan penghasilannya tidak boleh lebih dari Rp 6 juta. “Kalau lebih dari Rp 6 juta dianggap bukan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR),” tandasnya.

Berdasarkan Survei Perkembangan Properti yang dilakukan Bank Indonesia Kantor Perwakilan (KPw) Bali, harga properti residensial (rumah tinggal) primer di Kota Denpasar pada triwulan II 2019 mengalami peningkatan sedikit lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Kondisi ini diperkirakan akan berlanjut pada triwulan III 2019.

Baca juga:  Ratusan Naker Migran Pulang dengan Rute Doha-Denpasar

Kondisi serupa juga terjadi pada harga properti residensial sekunder. Pertumbuhan harga tanah dan rumah di pasar sekunder pada triwulan II 2019 masih relatif landai dan belum mengalami perubahan yang signifikan. Pertumbuhan harga rumah sekunder pada triwulan II 2019 mengalami kenaikan rata-rata 0,37 persen (qtq) atau turun tipis dari 0,53 persen (qtq) pada triwulan sebelumnya.

Kepala BI KPw Bali Causa Iman Karana mengatakan, perkembangan properti mempengaruhi lapangan usaha yang lain karena turunan properti sangat banyak bahkan bisa mencapai 6 lapangan usaha. “Sehingga kami memiliki concern khusus terhadap properti, karena dapat menggerakkan ekonomi di beberapa daerah,” ungkapnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *