Kontruksi
Ilustrasi. (BP/dok)

Sumber daya manusia (SDM) Bali sering menjadi sorotan. Bermental priyayi, pilih-pilih pekerjaan dan banyak libur, merupakan ‘’cap’’ untuk mereka. Alasan itu pula yang dipakai para investor luar berpaling dari SDM Bali. Mereka memilih menggunakan naker luar.

Banyak yang menilai itu hanya alasan yang dicari-cari. Jangan sampai itu menjadi ‘’skenario’’ menyisihkan naker lokal di rumahnya sendiri. Itulah yang mesti diwaspadai. Jangan sampai generasi muda Bali lebih banyak menganggur karena ‘’digagalkan’’ syarat berbau SARA.

Tentu ini bukan hal yang sepele. Sudah sering terjadi di Bali, pengusaha yang beroperasi di Bali mengutamakan tenaga kerja luar. Ini harus dihentikan. Mereka para investor juga mesti disadarkan, bahwa mereka wajib ikut menyejahterakan rakyat Bali. Bukan semata mencari keuntungan di Bali.

Itu dari sisi investor. Lalu dari SDM Bali, apa yang mesti dilakukan. Mereka harus mawas diri. Mental priyayi dan pilih-pilih pekerjaan (kalau memang itu ada) harus dihapus. Generasi muda Bali harus jengah. Generasi muda Bali harus bangkit untuk membuktikan diri sebagai SDM unggul, SDM yang disiplin dan SDM yang jujur. Ketiganya; unggul, disiplin dan jujur penah menjadi ‘’merek’’ orang Bali di luar sana. Maka sudah semestinya ‘’merek’’ itu dikembalikan kepada jati diri orang Bali.

Baca juga:  Kerja Keras yang Membuahkan Hasil

Sebab, tantangan yang kita hadapi saat ini adalah persaingan yang demikian ketat. Tak hanya sesama warga bangsa, juga dengan SDM internasional. Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah awal dari keterbukaan yang memberikan ruang yang lebih luas kepada pekerja asing yang mempunyai kualifikasi tertentu. Kini keluar Perpres tentang tenaga kerja asing.

Kebijakan Presiden ini dinilai akan semakin memperketat persaingan ketenagakerjaan di dalam negeri. Sekaligus berpotensi menyisihkan tenaga kerja yang punya kemampuan ‘’pas-pasan’’. Terlebih lagi banyak investasi yang membawa serta pekerjanya ke Indonesia. Tentu hal ini ‘’kabar buruk’’ bagi pekerja yang belum memiliki skill dan kompetensi.

Baca juga:  Indonesia Darurat TPPO, Perlu Penegakan Hukum Revolutif

Bali ibarat gulanya Indonesia, akan diserbu oleh tenaga kerja asing. Mereka mempelajari bahasa dan budaya kita. Padahal sebenarnya mereka mulai melirik pasar kita dengan pendekatan sosiologis sebelum memasukkan produk dan jasanya. Oleh karenanya, SDM Bali harus jengah. Jangan sampai kalah bersaing.

Adalah menjadi kewajiban pemerintah untuk terus meningkatkan SDM Bali lewat pendidikan, utamanya di sektor pariwisata. Sebab, sektor pariwisata saat ini masih menjadi andalan penerimaan negara. Pariwisata harus tetap survive dan meningkat. Untuk itu pemerintah harus membantu pengembangan lembaga vokasi, khususnya bidang pariwisata.

Penting juga bagi pemerintah untuk memelihara budaya, sebagai ikon pariwisata. Sebab, masyarakat Bali kini babak belur menghadapi persaingan di tengah pariwisata budaya. Mereka bertahan untuk menjadikan Bali tetap menjadi daya tarik. Lingkungan mereka jaga. Budaya juga tetap menjadi warna keseharian mereka.

Namun sayang, mereka hanya ditonton. Mereka hanya dikagumi. Namun tidak memberi manfaat yang setimpal terhadap jerih payahnya sebagai pengusung budaya. Semestinya pemerintah hadir menanggulangi secara totalitas beban pelestarian, dengan melakukan perhitungan yang lebih memihak pada masyarakat Bali terkait hasil dari pariwisata, termasuk ikutannya.

Baca juga:  Pemimpin Buleleng Harus Pecahkan Masalah Pendidikan, SDM dan Kesehatan

Pemerintah juga harus hadir memberikan porsi yang lebih kepada masyarakat dan pengusaha Bali untuk hidup di rumahnya sendiri. Sebab, selama ini SDM Bali dikalahkan SDM dari luar, hanya karena alasan Bali banyak libur. Ini fakta yang sering terjadi.

Berkaca dari keadaan tersebut, tentu kita sangat miris. Pelestari budaya sekaligus pelaku budaya terpinggirkan di daerahnya sendiri. Ke depan pemerintah khususnya pemerintah daerah harus hadir. Kini sudah saatnya Bali menuntaskan persoalan dengan memperjuangkan apa yang menjadi hak Bali. Pemerintah harus memahami kesulitan rakyat dengan beratnya beban sebagai pelestari budaya yang selama ini menjadi ‘’jualan’’ para elite untuk menarik minat wisatawan.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *