SEMARAPURA, BALIPOST.com – Puluhan warga dari Desa Adat Sampalan, Kecamatan Dawan, mengadu ke Komisi ASN. Upaya tersebut ditempuh, setelah tanah yang mereka tempati selama bertahun-tahun, diduga disertifikatkan oleh Desa Adat Sampalan.
Warga setempat marah, karena upaya pensertifikatan itu, dilakukan tanpa sosialisasi. Atas pengaduan tersebut, Komisi ASN mendatangi kediaman Ketut Puspawati, Rabu (31/7), salah satu warga yang keberatan dengan upaya pensertifikatan tersebut. Di belakang Puspawati, ada sebanyak 81 orang yang mengajukan keberatan serupa ke Komisi ASN.
Kepada Komisi ASN, Puspawati menceritakan persoalan ini mengemuka ketika pihaknya hendak mengurus izin homestay ke desa dinas setempat. Ternyata permohonannya tidak dilayani oleh desa dinas, karena dirinya tidak ikut mebanjar.
Puspawati mengaku tidak tinggal diam. Dia melaporkan situasi itu kepada Ombudsman. Pihak Ombudsman sempat turun ke lokasi. Hasilnya, ternyata tanah yang hendak dipakai homestay seluas 300 meter persegi itu sudah disertifikatkan.
Tidak hanya itu, tanah waris lainnya seluas 800 meter persegi yang ada di wilayah Desa Adat Sampalan, juga dikatakan sudah disertifikatkan. Puspawati mengaku kaget dan berupaya menggali permasalahan serupa terhadap kerabat lainnya.
Setelah ditanyakan, rupanya warga lain juga mengaku tidak tahu ada upaya pensertifikatan tanah tersebut.
“Melihat persoalan ini, akhirnya saya berkesimpulan bahwa upaya pensertifikatan tanah warga ini dilakukan tanpa sosialisasi,” kata Puspawati, seorang Konsultan Pemerintah Daerah ini.
Pihaknya bersama warga sekitar sempat menanyakan upaya pensertifikatan itu ke BPN Klungkung. Di sana, warga mendapat informasi bahwa memang benar ada upaya pensertifikatan. Sehingga Puspawati bersama warga lainnya melayangkan surat keberatan kepada BPN Klungkung.
Setelah dilakukan mediasi dengan Bendesa Adat,ternyata benar, proses pensertifikatan itu dikatakan sudah dilakukan sejak 2017, tanpa sosialisasi dan tanpa proses pengukuran. Atas dasar itu, akhirnya pihaknya melapor ke Komisi ASN (Aparatur Sipil Negara), karena diduga ada ketidaksesuaian prosedur.
“Pensertifikatan itu diatur Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Penunjukkan Desa sebagai Subjek Hak Kepemilikan Bersama (Komunal) atas Tanah, sesuai Permen 276 Tahun 2017.
Tetapi, kenapa sudah ada sertifikat terbit 30 Desember 2017. Berarti desa adat sudah mampu memproses sertifikat dalam waktu satu bulan tujuh hari? Ini tidak mungkin,” sorot Puspawati.
Puspawati meminta sertifikat itu dibatalkan. Kalaupun masih proses, agar segera dihentikan, karena dinilai cacat hukum. Hal serupa juga disampaikan warga lainnya, seperti I Nengah Tarjana dan Nyoman Triguna. “Nanti kami akan melakukan proses sendiri dan atas nama warga yang menempati. Kami ingin mensertifikatkan sendiri, kalau pun nanti kena pajak, tidak menjadi masalah,” tegas Tarjana.
Atas aspirasi warga itu, Asisten Komisioner Bidang Pengaduan, Komisi ASN, Sumardi, sengaja turun langsung untuk mencari pemecahan masalah. Setelah menginput seluruh data warga yang mengajukan pengaduan, pihaknya langsung menyusun BAP (Berita Acara Pemeriksaan), untuk selanjutnya dapat diklarifikasi kepada BPN Klungkung.
Pihaknya mengaku kaget, rupanya proses pensertifikatan ini dilakukan tanpa sosialisasi terhadap warga sekitar.
Dihubungi terpisah, Bendesa Adat Sampalan Ketut Sujana, belum bisa memberikan penjelasan. Dihubungi beberapa kali melalui HP-nya, Rabu (31/7), dia memilih tidak memberi tanggapan. Sementara Petajuh (Wakil Bendesa) Desa Adat Sampalan, Dewa Gede Anom, juga enggan menjelaskan lebih jauh.
Tetapi, dia menegaskan terkait dengan keberatan warga, BPN Klungkung dikatakan akan turun ke Sampalan, Kamis (1/8), guna mengklarifikasi surat keberatan yang disampaikan warga. Pertemuan akan dilangsungkan di Kantor Perbekel Sampalan Klod. “Silahkan nanti bagi warga yang keberatan, disampaikan langsung dengan BPN,” katanya. (Bagiarta/balipost)