Suasana pemilihan ketua osis melibatkan seluruh pelajar di SMA N 1 Blahbatuh. (BP/nik)

Dunia pendidikan nasional selalu dijadikan ajang uji coba. Sedikit-sedikit hasil studi banding di luar negeri sudah dijadikan acuan untuk mengubah sistem. Lihat saja soal sistem satuan kredit semester (SKS) yang umum digunakan mahasiswa.

Sejak 2007 lalu, Kementerian Pendidikan Nasional menerapkan SKS pada tingkatan sekolah menengah atas. Uji coba pun dilakukan di sejumlah daerah. Namun sampai sekarang tak jelas hasilnya.

Di Bali belum ada sekolah model dan proyek SKS. Hanya SMAN 1 Mataram yang menjadi proyek percontohan. Akhirnya, kebijakan itu bubar tanpa penjelasan.

Sebenarnya, hal serupa pernah dilakukan ketika kita menerapkan Sekolah Standar Nasional (SSN) dan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional alias SRBI. Belum berjalan optimal sudah dihapus lagi. Saat itu pada sekolah favorit diberikan program kelas percepatan. Siswa yang pintar bisa tamat dalam waktu dua tahun. Namun baru berjalan dua tahun riek alias hilang lagi.

Baca juga:  Menjadi Generasi Paham Budaya

Postitifnya, kita menghargai siswa yabg cerdas secara intelektual, namun sayang masalahanya ada pada proses perekrutan. Jarang siswa dari KK miskin atau yang ekonominya pas-pasan bisa masuk kelas ini jika tidak ditopang oleh ekonomi keluarga. Mereka yang diterima adalah dari kelompok pintar namun juga banyak duitnya.

Pasalnya, siswa kelas percepatan dikenakan biaya lain-lain dengan guru pilihan. Nah, kalau kita sekarang menerapkan sistem SKS jangan-jangan nasibnya juga serupa.

Pertama, akan menyesuaikan gaya mengajar guru dan kuriulum. Kedua, apakah semua sekolah pas dengan model ini, juga belun jaminan.

Baca juga:  Gianyar Mulai Uji Coba Pembukaan DTW Alam dan Desa Wisata

SKS adalah sistem penyelenggaraan program pendidikan yang membebaskan peserta didik untuk menentukan sendiri berapa banyak beban belajar yang akan diikuti pada tiap semester. Namun, karena di sekolah umumnya SKS yang diterapkan dikategorikan “rintisan”, beban belajar untuk setiap semester tak bisa sebebas mahasiswa.

Prinsipnya, sistem SKS tak perlu dipaksakan. Sama saja dengan system PPDB dari seleksi UN menjadi zonasi, pasti akan menimbulkan gejolak dan masalah. Apalagi sistem PBM kita selama ini sifatnya klasikal.

Di SMA Jakarta saja system ini menimbulkan penolakan, apalagi di daerah lain yang kondisinya jauh lebih jelek dari ibu kota. Sepertinya, masyrakat kita belum siap, tak usah dipaksakan. Jangan sampai siswa dan guru menjadi terbebani.

Baca juga:  Diuji Coba 10 Bulan, Transportasi Publik SMART Ubud Minim Pengguna

Jadi, masih ada kekurangan yang dirasakan siswa meski sebenarnya SKS bertujuan mempercepat proses belajar. Contohnya, masalah beban belajar. Kalau biasanya pelajaran matematika di sekolah yang belum menggunakan SKS diajarkan di setiap semester dalam 3 tahun, di SMA SKS pelajaran ini (matematika biasanya diselesaikan dalam 6 semester) diwajibkan selesai dalam 4 semester.

Penjurusan menuju kelas IPA atau IPS pun dilaksanakan pada semester II di kelas X. Ini berarti beban belajar dalam setahun masa kelas X diwajibkan tuntas hanya dalam enam bulan. Nah, ayo kita pikir lagi.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *