DENPASAR, BALIPOST.com – ForBALI mengirim surat terbuka kepada Presiden RI Joko Widodo terkait desakan penghentian megaproyek di Kawasan Rawan Bencana (KRB) Bali Selatan, Kamis (1/8). Surat ini menyikapi pernyataan Jokowi yang menyebut Indonesia berada di kawasan cincin api (ring of fire) rawan bencana.
Kalau di satu lokasi di daerah rawan gempa atau banjir, Jokowi menegaskan agar jangan dibangun bandara, bendungan, dan perumahan di lokasi itu. “Kebijakan Jokowi ini bagus, walaupun sangat terlambat sebetulnya karena kalau kami sendiri di ForBALI sudah memberikan kajian. Baik di diskusi publik amdal TWBI, maupun dalam surat-surat kami selama proses advokasi rencana reklamasi Teluk Benoa oleh TWBI,” ujar Koordinator ForBALI, I Wayan “Gendo” Suardana dalam keterangan pers di Denpasar.
Senada dengan pernyataan Jokowi yang disampaikan pada saat pembukaan Rakornas BMKG di Istana Negara, Gendo menyebut Teluk Benoa sejatinya ada di zona merah. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bahkan telah menyatakan Teluk Benoa sebagai kawasan rawan tsunami dan likuifaksi.
Kawasan ini juga rawan amblesan karena struktur tanahnya adalah pasir sampai kedalaman 15-30 meter. “Dalam penelitian LIPI sekitar tahun 2010-2011, itu jelas tidak merekomendasi pembangunan infrastruktur di Teluk Benoa dan sekitarnya karena kalau terjadi gempa minimal 7 SR, itu berpotensi terjadi bencana tsunami dan likuifaksi,” jelasnya.
Tapi di Teluk Benoa dan sekitarnya sekarang, lanjut Gendo, justru telah banyak dibangun infrastruktur dan akan dibangun lagi infrastruktur baru. Diantaranya, rencana reklamasi Teluk Benoa seluas 700 hektar, reklamasi perluasan bandara Ngurah Rai hingga 147 hektar, serta reklamasi Pelabuhan Benoa oleh Pelindo yang seluruhnya bertentangan dengan pernyataan Presiden Jokowi.
Selain itu, ada pula rencana Pemkab Badung mereklamasi seluas 50 hektar untuk pembangunan sport tourism berkedok normalisasi pesisir di Tanjung Benoa. “Rencana reklamasi berkedok normalisasi oleh Pemkab Badung adalah rencana yang juga bertentangan dengan kebijakan Presiden karena tidak adaptif terhadap Teluk Benoa sebagai kawasan rawan bencana, baik gempa, tsunami, maupun likuifaksi,” paparnya.
Menurut Gendo, di dalam surat terbuka, ForBALI meminta Presiden Jokowi untuk menghentikan rencana reklamasi Teluk Benoa. Kemudian memerintahkan Menteri Susi Pudjiastuti agar mencabut ijin lokasi reklamasi, serta membatalkan Perpres No.51 Tahun 2014 dan mengembalikan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi. Presiden juga agar memerintahkan Kementerian Perhubungan untuk tidak menerbitkan Rencana Induk Bandara yang mengakomodir perluasan bandara dengan cara reklamasi, serta mencabut Rencana Induk Pelabuhan untuk perluasan dengan cara reklamasi dan menghentikan kegiatan reklamasi yang sedang berlangsung di kawasan Pelabuhan Benoa.
Selanjutnya, Presiden pun diminta agar memerintahkan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk tidak menerbitkan izin lokasi maupun pelaksanaan reklamasi untuk pembangunan sport hub yang digagas Pemkab Badung.
Dewan Daerah WALHI Bali, Suriadi Darmoko mengatakan, ada 19 desa/kelurahan di Kecamatan Kuta Selatan, Kuta, dan Denpasar Selatan yang masuk dalam daftar desa kelas bahaya tinggi tsunami yang diterbitkan BNPB. Bali Selatan juga memiliki potensi gempa hingga 9,0 SR.
Ini berdasarkan studi yang dilakukan oleh Observatory Singapura pada 2017. Dikatakan bila gempa yang terjadi pada 22 Maret 2017, berpotensi membangunkan naga tidur.
Ini karena letak gempanya berada di kedalaman 118 km di bawah Bali. Saat itu, kekuatan gempa sesuai peringatan dini BMKG kurang lebih 6 SR sebelum dimutakhirkan menjadi 5,5 SR. “Dari hasil studi Observatory Singapura, gempa itu bisa memicu terjadinya gempa yang lebih besar di masa yang akan datang. Mereka menyebutnya future (masa depan, red), dengan potensi 8,5-9,0 SR,” ujarnya.
Hasil studi ini, menurut Suriadi, selaras dengan keterangan BMKG yang menyebut zona megathrust di selatan Bali mempunyai potensi gempa hingga 8,8 SR. Oleh karena itu, megaproyek yang direncanakan di Bali Selatan lebih baik dibatalkan.
Apalagi, Presiden Jokowi juga menyatakan tidak mempunyai beban masa lalu. “Kalau Teluk Benoa dipaksakan jadi reklamasi dan sport tourism menampung banyak orang, lalu perluasan Pelindo dengan kepentingan properti di dalamnya, maka sebenarnya ini menciptakan Teluk Benoa sebagai kuburan massal kalau bencana itu terjadi. Ini harus diantisipasi presiden,” jelasnya. (Rindra Devita/balipost)