Ilustrasi

Oleh Dewa Gde Satrya

Pidato ”Visi Indonesia” Presiden Jokowi di Sentul International Convention Center, Bogor, Minggu (14/7) lalu, menegaskan lima visi pemerintahannya lima tahun mendatang. Poin kedua dalam visi tersebut memberi penekanan pada pembangunan sumber daya manusia (SDM). Hal konkret terkait pembangunan SDM adalah pentingnya vocational training, vocational school, dan lembaga Manajemen Talenta Indonesia.

Presiden berjanji akan memfasilitasi dan mendukung pengembangan talenta-talenta Indonesia. Yang tak kalah penting adalah, diaspora yang bertalenta tinggi, akan diperhatikan dan dilibatkan dalam peningkatan daya saing SDM Indonesia.

Visi pembangunan SDM sekurangnya terkait dengan tiga aspek berikut ini. Melalui ketiga aspek ini akan tampak bahwa meletakkan tujuan pembangunan SDM memiliki relevansi tinggi, baik dalam sejarah masa lalu yang membuktikan bahwa SDM merupakan kunci utama, maupun proyeksi masa depan.

Pertama, tercermin dari model THIO yang dikembangkan Prof. Nawaz Sharif dari Pakistan pada tahun 1990-an yang terdiri dari technoware (T), humanware (H), infoware (I), dan orgaware (O). Empat dimensi ini saling berkaitan. SDM (humanware) melekat dan menjadi fondasi. Terkait hal ini teringat pada masa-masa awal pembangunan SDM perhotelan di Indonesia.

Hotel Indonesia (HI) dikenal dan dikenang sebagai wadah pendidikan, sebuah “kawah candradimuka”, tempat para hotelier mendapat gemblengan, pelajaran, dan pengetahuan tentang bisnis dan administrasi perhotelan (Arifin Pasaribu, 2014). Maka tak heran, HI telah melahirkan hotelier yang tangguh dan tersebar di seluruh Indonesia hingga mancanegara.

Baca juga:  Seni sebagai Puncak Kesadaran

Pada tahun 1956, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Dewan Turisme Indonesia mengirim enam mahasiswa Indonesia ke Lucerne, Swiss, untuk studi pariwisata selama dua tahun. Mereka berenam nantinya adalah generasi awal yang mengabdikan diri di HI.

Kedua, menjadi cerminan government entrepreneurship dari pemerintahan Jokowi. Hermawan Kartajaya (2005) menyatakan, ada tiga klasifikasi ’pelanggan’ yang harus dilayani pemerintah. Pertama, penduduk lokal. Kedua, trader-tourist-investor. Ketiga, talent (SDM yang berkualitas), developer (pengembang), organizer dan seluruh pihak yang memiliki kontribusi dalam membangun keunggulan bersaing negara.

Dengan kapasitasnya, pemerintah dapat mendorong keterlibatan pihak ketiga untuk semakin mendinamiskan dan melakukan percepatan kemajuan daya saing produk, SDM maupun negara sebagai destinasi, yang eksplisit dalam pidato Jokowi tentang “Visi Indonesia”. Di samping keuletan menggali keterlibatan berbagai pihak dalam percepatan kemajuan daya saing segenap komponen di Tanah Air, government entrepreneurship telah diimplementasikan melalui kemampuan menyatukan dan menggerakkan segenap potensi bangsa yang tersebar di berbagai negara. Presiden Jokowi menyatakan, by design akan melibatkan komunitas ‘Indonesia diaspora’ dalam percepatan kemajuan daya saing SDM.

Baca juga:  Pariwisata Danau Toba Agar Dikelola Seperti Bali

Koordinasi, integrasi, sinergi, dan sinkronisasi antara pemerintah dengan stakeholder di dalam maupun di luar negeri, merupakan perwujudan government entrepreneurship yang penting bagi kemajuan segenap komponen di Tanah Air. Selain kompetisi segenap anak bangsa untuk menjadi yang terdepan di bidangnya, yang sama pentingnya adalah semangat kooperasi untuk memperkuat nilai sebagai bangsa di antara bangsa-bangsa di dunia.

Kinerja pemerintahan yang mencerminkan semangat entrepreneurship dapat dimonitor lewat dinamikan ’koopetisi’ antarkementerian, lembaga di pusat, hingga pemerintah daerah, yang ujung-ujungnya akan memajukan daya saing daerah, negara dan bangsa. Lebih-lebih guna mewujudkan impian pembangunan berkelanjutan Indonesia yang bertumpu pada empat pilar strategis atau triple track strategy plus, yakni pro-pertumbuhan ekonomi, pro-penciptaan lapangan kerja, pro-pengentasan kemiskinan, dan pro-lingkungan hidup, government entrepreneurship teramat penting. Pembangunan SDM yang didorong oleh pemerintahan yang entrepreneurial menjadi salah satu medan riil pembuktiannya.

Ketiga, kesadaran akan pentingnya meningkatkan kualitas SDM sehingga tidak terjebak pada persaingan berdarah-darah (red ocean), melainkan mampu menciptakan inovasi untuk masuk dalam samudera biru yang memiliki dimensi persaingan baru (blue ocean).

Dalam bukunya yang berjudul “Blue Ocean Strategy” (2005), Profesor Kim dan Profesor Mauborgne membedakan antara samudra merah dan samudra biru. Kriteria pertama menandaskan adanya kompetisi dalam pasar yang telah ramai oleh produsen produk-produk yang sama. Oleh karena sama-sama memiliki produk dengan jenis, kriteria, dan pengembangannya (fitur produk) yang serupa, pasar diramaikan oleh kompetisi antarpengusaha. Dalam samudra merah, pasar diramaikan oleh persaingan produsen produk-produk lama. Situasi inilah yang sedang terjadi saat ini.

Baca juga:  Kampanye dan Ancaman Sampah

Sebaliknya, konsep samudra biru lebih menekankan pada tantangan untuk berinovasi dan ke luar dari pasar persaingan produk-produk lama. Oleh karena itu, pelaku usaha dalam klasifikasi ini adalah para inovator. Nantinya, mereka pasti akan diikuti oleh pelaku usaha yang lain.

Pasar dalam peradaban dunia senantiasa diciptakan oleh pelaku usaha dengan strategi samudra biru. Pelaku usaha dengan ketertarikan yang tinggi untuk berinovasi, semakin mendesak dibutuhkan oleh bangsa kita dewasa ini. Bukan semata-mata untuk meraup keuntungan personal, namun lebih dari itu, untuk menciptakan bisnis yang semakin membantu manusia untuk mencapai taraf kebahagiaan hidup yang tinggi.

Pembangunan SDM Indonesia diproyeksikan akan melahirkan inovator-inovator baru di Tanah Air. Segenap rakyat Indonesia mendukung dan bersyukur dengan Visi Indonesia, khususnya pada elemen pembangunan SDM.

Penulis, dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *