Presiden Joko Widodo menggunakan busana Raja-raja Bali saat Peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI ke-74, Sabtu (17/8). (BP/ant)

Oleh Supartha Djelantik

Hadirnya politik dinasti, oligarkis, dan fragmatis mendorong tampilnya preman politik di pentas publik, melahirkan demokrasi dan hukum transaksional yang menjauh dari kepentingan rakyat. Masalah kerakyatan hanya riuh sebatas selebritasi dalam perdebatan di mass media.

Kebutuhan hidup rakyat dan pengentasan kemiskinan, tersentuh sebatas pinggiran tidak pada akar masalahnya. Maka, menghadapi tantangan masa depan tidak mudah untuk mentransformasi sebagai negara maju diperlukan perubahan pola pikir dan sikap tindak yang berbasis karakter baik, pengetahuan, profesionalisme, politik bersih (bebas korupsi dan nepotisme) mendahulukan kepentingan rakyat, dan tercapainya hakikat cita-cita kemerdekaan.

Suka tidak suka reformasi partai-partai politik tidak dapat dielakkan, partai politik harus berdiri di depan menghadirkan pemimpin andal, negarawan ke panggung kekuasaan.

Kemerdekaan adalah rangkaian panjang perjuangan dari sejak kehadiran bangsa asing yang melakukan eksploitasi  kekayaan bumi pertiwi yang melimpah dan menindas  yang dibangun di atas kesadaran kolektif seluruh rakyat Indonesia yang tumbuh dari penderitaan, ketertindasan, marginalisasi dan ketidakadilan dari berabad-abad lamanya untuk menuju kehidupan yang bebas (merdeka), berkeadilan, dan kesatuan bangsa (Liberte, egalite, unite nationale), maka itu perlawanan terhadap penjajahan menjadi tidak terelakkan.

Tetesan darah para pejuang seperti perang puputan di (Jagaraga dan Denpasar) Bali, perlawanan Patimura di Maluku, perang Diponegoro, Perang Aceh dll., telah mengeraskan tekad dan semangat perlawanan bahwa kemerdekaan adalah hak bangsa, kegagalan bukan menyiutkan nyali, tapi justru mengeraskan tekad untuk bersatu, dan pembelajaran bagi para tokoh bangsa untuk melakukan rekonsepsi desain dan konsep perlawanan melalui organisasi pemuda dan kesadaran kebangsaan yang melahirkan Budi Oetomo (1908) sebagai awal kebangkitan nasional, kemudian diikuti berdirinya perkumpulan pelajar di Belanda Indische Vereniging yang memberikan warna baru bagi pergerakan kebangsaan dengan mengeluarkan pernyataan politik Indonesia Merdeka (1923) yang berdikari (self help) dan tidak meminta-minta (not-mendicancy) melalui persatuan dan partisipasi, melakukan gerakan antipati dan non-kooperatif dengan Belanda.

Selanjutnya lahir Indische Partij, ISDV (Indische Social Democratische Vereniging/1914) yang kemudian menjadi PKI (1920). Maka perkembangan politik di Indonesia semakin kuat dan tumbuh subur dan semakin terang-terangan.

Baca juga:  Kasus Desa Adat Renon, Polresta akan Lakukan Penegakan Hukum

Sejak September 1919 hak berserikat diakui penuh, termasuk mendirikan partai-partai politik. Tetapi cara menggunakan hak itu dapat dibatasi oleh keputusan raja (koninklijk Besluit).

Kesempatan ini digunakan dengan mendirikan organisasi politik nasional, seperti: Perhimpunan Indonesia, Partai Nasional Indonesia (1927), Pergerakan wanita RA. Kartini (1879-1904) sampai Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Gelora kemerdekaan semakin kuat seiring bangkitnya kesadaran nasionalisme bangsa-bangsa Asia-Afrika dan kalahnya Jepang dari sekutu dalam perang dunia II.

Kesempatan itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para tokoh bangsa untuk bersatu-padu dalam tekad untuk Indonesia merdeka dengan meninggalkan ego sektoral/identitas, menjauhkan diri dari sikap pecah belah (adu-domba).

Gagal Paham

Adalah ironis, tekad bulat para tokoh pemimpin bangsa masa kemerdekaan ternoda oleh segelintir penumpang gelap (free rider) yang mengambil kesempatan dalam pemilu 2019 menampilkan politik identitas dan menjustifikasi demokrasi sebagai bentuk kekuasaan mayoritas untuk mengatur, mengendalikan dan memerintah yang minoritas sebagai kebenaran. Menyandingkan agama dengan ideologi Pancasila, merebut kekuasaan dengan cara-cara memecah belah bangsa antara elemen bangsa, semuanya itu seharusnya telah ditinggalkan.

Kemerdekaan NKRI sudah final dan membawa konsekuensi kepada seluruh rakyat untuk menundukkan diri pada ideologi Negara Pancasila yang dirumuskan dalam alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945 yang merupakan landasan aksiologis (sumber nilai) bagi sistem politik nasional yang menyatakan “… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara  Republik Indonesia yang Berkedaulatan Rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Lebih lanjut Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) menyatakan, “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan menurut UUD” dan “Negara Indonesia adalah negara hukum”, dan “berdasarkan kedaulatan rakyat” sebagai pengakuan bahwa kekuasaan Negara diselenggarakan berdasarkan hukum yang demokratis, bukan negara hukum otoriter.

Baca juga:  Kenapa Nyinyir pada Caleg Artis?

Mengartikulasi nilai-nilai filosofis Pancasila sebagai landasan ideologi bangsa, tidak jarang menimbulkan persepsi yang beragam dan bisa gagal paham tentang konstitusionalitas hakikat bangsa dan negara yang sendi-sendinya dirumuskan dalam UUD 1945. Keterbatasan dan kesalah-pemahaman yang didorong kemiskinan nilai kemerdekaan dan ego-sektoral (gagal paham), mendorong konsolidasi kebangsaan terhambat dan pergolakan yang berdarah-darah melalui perlawanan bersenjata seperti DI/TII Karto Suwiryo di Jabar, Kahar Muzakar di Sulawesi, RMS di Maluku, gerakan Aceh dan Papua merdeka tidak terelakkan.

Kemudian krisis politik kekuasaan silih berganti, Orde Lama digantikan Orde Baru dan Reformasi 1998 mengakhiri kekuasaan otoritarian Orde Baru yang sarat dengan nepotisme dan korupsi. Hal tersebut menyebabkan hilangnya kesempatan emas (golden age) periode I 1970-1995 yang seharus  menempatkan Indonesia sebagai Negara maju.

Reformasi dan Korupsi

Reformasi menjadi pintu masuk perubahan ketatanegaraan melalui amandemen UUD yang dilakukan sampai empat kali, yaitu: (1) Perubahan terhadap wewenang eksekutif yang dinilai terlalu besar, yaitu  pembatasan jabatan presiden menjadi  dua kali masa jabatan, dan  presiden  menyusun undang-undang bersama DPR; (2) perkuatan pemerintahan daerah melalui otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab, pemilihan kepala daerah (pilkada) serta DPRD lewat pemilu, pengakuan HAM melalui perluasan Pasal 28;

(3) pemilu presiden langsung melalui rakyat, mengubah kewenangan MPR yang tak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan mengatur mengenai mekanisme pencopotan presiden atau impeachment dan pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial; dan (4) pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai unsur di MPR dan dipilih melalui Pemilu, penghapusan lembaga DPA.

Pasca-amandemen UUD partai politik  memiliki posisi strategis sebagai lembaga yang memiliki mandat kedaulatan rakyat, penyalur aspirasi rakyat dengan hak menempatkan wakilnya di DPR. Hadirnya partai-partai politik yang bertarung dalam pemilu, mewarnai demokrasi yang lebih  seimbang terbuka, keseimbangan kekuatan politik tercermin dari perolehan kursi partai politik di legislatif, dan menguatnya posisi DPR dalam kebijakan legislasi, anggaran (APBN) dan pengawasan. Sayangnya menguatnya posisi tersebut telah menggeser nafsu korupsi kaloboratif ke ranah politik, sebagai contoh Korupsi wisma atlet Hambalang, E-KTP, Pembangkit listrik, Impor daging, bawang, dll. Triliunan uang rakyat menjadi bancakan politik transaksional.

Baca juga:  Membentuk Kepemimpinan "Digital Minded"

Sekalipun pemberantasan korupsi dijadikan agenda besar dalam penyelenggaraan anggaran, namun kuatnya nafsu dan keserakahan telah mengantarkan ribuan koruptor ke dalam jeruji besi. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah dan DPR mengesahkan UU No. 29 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN.

Wacana pembentukkan badan baru kemudian berkembang saat pembahasan RUU Pemberantas Tindak Pidana Korupsi pada pertengahan 1999. kemudian dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi (TGPK) yang bersifat otonom dengan kewenangan terbatas.

Kemudian UU KPK No. 30 Tahun 2002 disahkan sebagai lembaga superbody yang memiliki kewenangan penuh serta independen dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi. Pemberantasan korupsi semakin gencar dilakukan KPK, namun korupsi lajunya semakin kencang dan konspiratif, lintas kelembagaan dan profesional.

Demokrasi yang diharapkan sebagai instrument menyempitkan ruang korupsi, malah menebar virus korupsi konspiratif (DPR-Birokrasi) dengan merampok uang rakyat (APBN) dan menjadikan politik sebagai ajang perjudian melalui politik uang antara caleg dengan masyarakat. Semakin massif-nya korupsi pada setiap jenjang kekuasaan menghadirkan preman politik ke pentas publik.

Demokrasi telah men-generate benih korupsi sampai ke sumsum tulang politik dan kekuasaan. Sehingga pemberantasan korupsi harus memakai upaya hukum super extraordinary melalui pembangunan sistem pemberantasan korupsi terintegrasi (integrated eradication corruption system), dengan pemberatan  hukuman dengan hukuman maksimal, dan perluasan hukuman melalui pencabutan hak-hak tertentu (politik), dan/atau hukuman kerja sosial, sehingga penjeraan dapat terwujud.

Penulis, pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Warmadewa

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *