Hakim praperadilan dalam kasus dugaan korupsi di Yayasan Al-Ma’ruf, Heriyanti, ketika membacakan putusan kasus praperadilan di PN Denpasar. (BP/asa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Heriyanti, S.H., M.Hum., hakim tunggal dalam kasus praperadilan atas penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) oleh Kejari Denpasar terkait perkara dugaan korupsi dana hibah Yayasan Al-Ma’ruf, menolak permohonan pemohon, Selasa (27/8).

Hakim dalam amar putusannya menyampaikan sejumlah pertimbangan. Salah satu yang menggugurkan atau alasan menolak praperadilan karena pemohon dalam hal ini pembina Yayasan Al-Ma’ruf  melalui kuasa hukumnya Esera Gulo, John Korassa Sonbai dkk., disebut tidak punya legal standing dalam mengajukan praperadilan.

Hakim menjelaskan, pemohon selaku ketua pembina Yayasan Al-Ma’ruf Denpasar, berdasarkan akte notaris tidak punya kewenangan dalam kepengurusan yayasan, karena bukan pengurus. Maka dalam amar putusannya, hakim menjelaskan pemohon tidak punya legalitas hukum sebagai pihak ketiga dalam mengajukan permohonan praperadilan. Karena tidak ada korelasi hukum, maka pemohon dinilai tidak berwenang mengajukan praperadilan, sebab pembina yayasan bukan LSM atau penggiat antikorupsi. Oleh sebab itu, permohonan praperadilan atas SKP2 dalam dugaan korupsi dana hibah Pemkot Denpasar itu ditolak hakim Heriyanti.

Baca juga:  Peserta IMF Mendekati 32 Ribu Orang, Selain Sekolah, Jalan Tol Akan Digratiskan

Praperadilan ini memang tidak substansip membahas soal perkara yang dalam audit BPKP Perwakilan Bali, tetapi menyebut ditemukan adanya kerugian keuangan negara (Pemkot Denpasar) hingga Rp 200 juta, lebih pada legal standing pemohon praperadilan. ”Kami sangat menghormati putusan hakim,” tandas pemohon melalui kuasanya John Korasa.

Pihaknya berharap semua lapisan masyarakat, pemerintah, dan penegak hukum konsisten dalam memberantas korupsi. John Korasa juga mengajak semua pihak menghormati dan mentaati UU Tipikor. Jangan sampai ada yang mengesampingkan Pasal 4 UU Tipikor. Jelas dan dengan tegas UU tersebut mengatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapus dipidananya pelaku tindak pidana.

Baca juga:  Korupsi, Dilawan Rakyat Dirangkul Penguasa

“Jika ini diabaikan, jangan salah jika banyak yang akan melakukan korupsi kecil-kecilan. Ya, mari kita korupsi kecil-kecilan, nanti kalau ketahuan kita kembalikan. Kalau tidak ketahuan, habislah uang negara,” tandas John Korasa.

Pada Februatri 2018 dilakukan audit investigasi BPKP saat penyelidikan. Itu atas permintaan Polresta Denpasar. Hasilnya, BPKP Perwakilan Bali menemukan kerugian negara Rp 200 juta. Juni 2018, polisi menetapkan tersangka, dan 3 Juli 2018 dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara. Pada 6 September 2018 dilakukan pelimpahan tahap II dari polisi ke Kejari Denpasar. “Itu artinya berkas sudah dianggap lengkap, dan sudah cukup bukti sehingga berkas, barang bukti, dan tersangka dilimpahkan ke kejaksaan,” sambungnya.

Baca juga:  Rekanan Pasar Melaya Dikenai Pinalti

Akan tetapi  dalam sidang praperadilan, setelah tahap II dan berkas dinyatakan lengkap oleh jaksa, jaksa dinilai berbalik badan dengan mengatakan kasus ini tidak cukup bukti untuk dibawa ke Tipikor. Alasannya, penuntut umum tidak bisa lagi menghitung kerugian keuangan negara karena tersangka sudah mengembalikkan kerugian keuangan negara. Penuntutan pun dihentikan pihak kejaksaan. (Miasa/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *